Ke- 8 terpidana kasus Korupsi Prona di Deas Ploso Sidoarjo saat menjalani sidang putusan tanggal 24 Nopember 2017 (Dok. BK) |
Ke- 8 terpidana itu adalah Saiful Efendi selaku Kepala Desa Ploso, Kecamatan Krembung, Abdul Rofiq (Sekdes Ploso) dan 6 perangkat Desa yang menjadi panitia Prona PTSL adalah Moch Ali Imron, Basuki, Muhammad Fuadz Rosyadi, Mochammad Ja’far, Samsul, sera Siti Rosyidah.
Anehnya, setiap terdakwa yang “diseret” JPU Kejari Sidoarjo ke Pengadilan Tipikor Surabaya, tak Satupun yang lolos dari penjara. Namun entah mengapa, Kejari Sidoajo berbaik hati membiarkan Ke- 8 terpidana itu melenggak-lenggok melangkahkan kakinya seakan tak mengingat bila dirinya seorang terpidana Korupsi.
Jaksa beralasan, bahwa petikan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya belum selesai. Belum selesai atau memang Jaksa yang tidak serius meminta petikan putusan setelah 7 hari dari putusan, JPU maupun terdakwa tidak melakukukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi – Jawa Timur ? Atau Panitra Pengganti (PP) Pengadilan Tipikor yang membantu Majelis Hakim menangani perkara tersebut belum mengerjakannya ?
“Salinan putusan belum selesai, ini tadi saya sudah minta, kata PP (Panitra Pengganti)-nya hari Senin.,” kata Jaksa Wahid saat ditemui di Pengadilan Tipikor, Jumat, 12 Januari 2018.
Pada tanggal 24 Nopember 2017, Majelis Hakim yang diketuai Hakim I Wayan Soesiawan dan dibantu 2 Hakim Ad Hock yakni Hakim Moch. Mahin dan Hakim Sudariwanto, menjatuhkan hukuman terhadap 8 terdakwa itu dengan hukuman pidana penjara masing-masing 1 tahun.
Majelis Hakim menjerat para terpidana itu dengan pasal 3UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Hanya saja, hukuman yang dijatuhkan Majelis Hakim lebih ringan 6 bulan dari tuntan JPU Kejari Sidoarjo.
Atas putusan Majelis Hakim tersebut, JPU maupun ke- 8 terpidana itu awalnya menyatakan pikir-pikir, dan setelah 7 hari Kalender tak ada yang melakukan upaya hukum banding alias menerima.
Kasus ini berawal, pada saat Desa Ploso, Kecamatan Krembung, Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur, mendapat kucuran dana dari APBN melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Sidoarjo untuk memberikan sertifikat gratis bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah melalui program Prona PTSL (Proyek Operasional Nasional Agraria dalam Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) tahun 2017.
Untuk program Prona PTSL tersebut, sebanyak 800 KK di Desa Ploso terdaftar sebagai peserta atau pemohon untuk mendapatkan sertifikat gratis melalui panitia yang sudah dibentuk, antara lain Moch Ali Imron, Basuki, Muhammad Fuadz Rosyadi, Mochammad Ja’far, Samsul, serta Siti Rosyidah
Memang proses sertifikat tidak seluruhnya grais, sebab ada beberapa aitem yang ditanggung oleh pemohon, antara lain Materai, pembelian Patok batas tanah dan biaya foto kopy dokumen termasuk biaya pemisahan satu pidang tanah yang dimiliki oleh 2 orang.
Namun ternyata dalam pelaksanaan program Prona di Desa Ploso, para pejabat Desa Ploso memanfaatkan pelaksanaan program Prona untuk menambah “pundi-pundi” pribadinya dari 800 KK tersebut, dengan cara menarik biaya sebesar Rp 500 ribu per KK.
Penarikan biaya oleh pejabat Desa dan panitia Prona itu tak ada aturannya, sehingga bertentangan peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk sumpah jabatan, apalabgi melanggar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 5, pasal 11, pasal 13 (bagi si pemberi janji atau hadiah) dan pasal 12.
Pada hal, sebagai pejabat pemerintah, mereka sudah digaji dari APBD dan juga ada biaya bagi panitia dalam pelaksanaan Prona, yang sudah tentu anggaran tersebut berasal dari masyarakat pula. Sebab APBD/APBN juga berasal dari masyarakat.
Akibat dari “ulah nakal” para pejabat Desa Ploso ini, masyarakat yang tidak mengerti hukum apalagi peraturan mengenai pelaksanaan Prona karena kurangnya informasi dari pejabat terkait, akhirnya menajdi korban. Yang mereka pikirkan adalah, memperoleh sertifikat dengan biaya yang sangat murah bila dibandingkan mengurus sendiri.
Duit yang terkumpul dari 800 pemohon Prona sekitar 500 juta rupiah, dan sebahagian sudah dipergunakan oleh pejabat “nakal” itu untuk biaya jalan-jalan ke luar kota. Dan setelah Polres Sidoarjo memperoleh informasi adanya penarikan biaya diluar kentuan, kemudian penyidik Polresta Sidaorjo melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada September 2017.
Agar pelayanan masyarakat di kantor Desa Ploso tidak “lumpuh” karena seluruh pejabatnya ditetapkan menjadi tersangka, Polresta Sidoarjo maupun Kejaksaan Negeri Sidaorjo tidak melakukan penahanan Rutan (rumah tahanan negara) alias penjara.
Tindakan penyidik Polresta Sidoarjo dan JPU Kejari Sidaorjo yang tidak melakukan panahanan terhadap para tersangka/terdakwa/terpidana itu “didukung” oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Surabaya, karena tidak mengeluarkan surat penetapan penahanan.
Tak salah, bila Ke- 8 terdakwa/terpidana itu tersenyum melangkahkan kakinya keluar dari ruang sidang dan meninggalkan gedung Pengadilan Tipikor untuk berkumpul bersama keluarganya masing-masing, setelah Majelis Hakim selsai membacakan suart putusannya. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :