0
#Terbukti Rugikan negara sebesar Rp 581.883.860,38 sen dalam pembangunan gedung KPU Kab. Nganjuk tahun 2013 dengan anggaran APBN Rp 2,48 M#

 beritakorupsi.co – Berani berbuat berani bertanggung jawab, inilah sikap seorang kastria. Dan sikap ini pula yang ditujunkkan Suhariyono kepada Majelis Hakim dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kamis, 11 Januari 2018.

Sebab, terdakwa Suharyono yang divonis pidana penjara selama 6 tahun dan denda sebesar Rp 200 juta subseder 4 bulan kurungan, serta membayar kerugian negara senilai Rp 257 juta lebih oleh Majelis Hakim yang dikaetuai Dede Surayaman, terdakwa langsung mengatakan menerima.

Tak banyak terdakwa yang diadili di gedung pengadil para Koruptor itu langsung menerima begitu saja putusan Majelis Hakim, sekalipun terdakwa itu terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK seperti mantan Bupati Pamekasan Achmat Syafi’i. Biasanya para terdakwa itu mengatakan pikir-pikir dulu selama 7 hari dan tak sedikit yang melakukan upaya banding. Namun terdakwa Suharyono tidak demikian, justru langsung mengatakan menerima.

Terdakwa Suharyono, terseret dalam kasus Korupsi proyek pembangunan KPU (Komisi Pemilihan Umum) Kabupaten Nganjuk tahun 2013 lalu, yang menelan anggaran sebesar Rp 2,48 M dan merugikan keuangan negara senilai Rp 581.883.860,38 sen.

Pada saat pelaksanaan proyek pembangunan gedung KPU Kab. Nganjuk tahun 2013 lalu, terdakwa Suharyono menjabat sebagai Sekretaris KPU yang juga sebagai PPK sekaligus KPA (Pejabat Pembuat Komitmen Kuasa Pengguna Anggaran) Kemudian menjadi Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasat Pol PP). Sementara perusahaan yang menjadi pemenang lelang sekaligus sebagai pelaksana proyek adalah PT Trisenta Sarana Konstruksi (TSK) Mojokerto.

Dalam penyidikan kasus ini, penyidik Polres Nganjuk membutuhkan waktu selama 1.095 hari atau 4 tahun untuk bisa menuntaskan. Setelah 4 tahun, penyidik Polres Nganjuk baru dapat   menetapkan 4 tersangka, diantaranya Suharyono sebagai PPK sekaligus KPA, Direktur PT TSK Nurhadi, pelaksana teknik lapangan dari PT TSK Sumarjoko dan Komisiaris PT TSK Siti Khotijah. Lamanya penyidik Polres Nganjuk menuntaskan kasus ini bisa jadi……….(terserah pembaca menyimpulkannya).



Tidak hanya itu. Konsultan pengawas, PPHP (Penjabat Peneriam Hasil Pekerjaan) dan PPTK (Pejabat Pelaksana Teknik Kegiatan) hanya dijadikan penyidik sebagai saksi.
 

Kemudian JPU Deris, Kristina, Andi, Heni dan Tri dari Kejari Nganjuk “menyeret” Suharyono, Sumarjoko, Nurhadi dan Siti Khotijah (perkara masing-masing terpisah) ke Pengadilan Tipikor untuk diadili dihadapan Majelis Hakim atas perbuatannya.

Dalam amar putusan Majelis Hakim menyatakan, pekerjaan pembangunan gedung KPU Kab. Nganjuk itu, tidak sesuai dengan beberapa aspek, diantaranya item pekerjaan fisik gedung yang dihilangkan, dan tidak sesuai dengan dokumen kontrak, pembangunan mushola dan gudang yang tidak beratap, lis atau bingkai plafon, list pembatas pintu dengan kusen tak layak pakai, paving halaman, rancangan tujuh unit taman di halaman gedung, hingga atap galvalum.

Majleis Hakim menyebutkan, bahwa hal itu sesuai dengan temuan tim ahli konstruksi dari Universitas Brawijaya (UB) Malang dan juga dari hasil penghitungan kerugian negara (HPKN) oleh tim BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) Perwakilan Jawa Timur yang menyebutkan, adanya kerugian negara sebesar Rp 581.883.860,38 sen.

Dalam pertimbangan Majelis Hakim menyebutkan, atas perbuatan terdakwa patutlah dijatuhi hukuman badan maupun hukuman denda yang setimpal dengan perbuatannya.

Dalam amar putusan Majelis Hakim menyatakan, bahwa terdakwa (Suharyono, Sumarjoko, Nurhadi dan Siti Khotijah) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama sebagaimana diantur dan diancam dalam pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

“Mengadili; Menghukum terdakwa Suharyono dengan hukuman pidana penjara selama 6 tahun dan denda sebesar Rp 200 juta, apabila terdakwa tidak membayar maka diganti dengan kurungan selama 4 bulan. Juga menghukum terdakwa untuk mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 157.441.930,19 sen. Apabila terdakwa tidak membayar selama 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap (Incrah), maka harta bendanya disita oleh Jaksa untuk menutupi kerugian negara. Apabila harta benda terdakwa tidak mencukupi, maka diganti penjara selama 2 tahun,” ucap Hakim Dede.

Vonis pidana badan, denda maupun pidana membayar uang pengganti, juga diberikan Majelis Hakim terhadap terdakwa Sumarjoko. Sementara terdakwa Nurhadi dan Siti Khotijah, dihukum pidana penjara masing-masing selama 4 tahun dan denda sebesar Rp 200 juta subsidair 4 bulan kurungan. Vonis majelis Hakim ini sama dengan tuntutan JPU.

“Atas putusan ini, saudara punya hak yang sama dengan Jaksa Penuntut Umum apakah menerima, banding atau pikir-pikir,” lanjut Hakim Dede.

“Saya menerima Pak Hakim,” jawab terdakwa Suharyono singkat.

Sementara JPU Andi dkk juga mengatakan hal yang sama. Karena putusan Majelis Hakim sama dengan tuntutan Jaksa.

Terpisah. Penasehat Hukum terdakwa Nurhadi, Setiyo Busono mengatakan kepada media ini akan melalukan upaya banding. Alasannya, karena terdakwa hanya dipinjam nama dan tidak tahu menahu tentang pembangunan gedung KPU. Menurutnya, yang mengendalikan adalah Siti Khotijah selaku Komisiaris PT TSK.


“Banding. Kenapa banding, karena Nurhadi tidak tahu apa-apa. Namanya hany dipinjam oleh Siti, semua yang menangani adalah Bu Siti selaku Komisiaris,” kata Setiyo menjelaskan.

Saat ditanya yang menandatangani dokumen kontrak, apakah terdakwa Nurhadi atau bukan. Setiyo mengakui, bahwa yang menandatangani dokumen adalah Nurhadi atas suruhan Siti.

“Yang menandatangani dokumen kontrak adalah Nurhadi atas perintah Bu Siti. Nurhadi tidak tahu apa-apa, dia hanya seoarang tukang. Dia pun tidak meneriam uang sepeserpun, semua Bu Siti,” ujar Setiyo.

Apapun yang dikatakan PH terdakwa, yang jelas dalam dokumen kontrak maupun rekening PT TSK pada saat pencairan uang muka maupun pembayaran termin, yang tercantum adalah nama terdakwa. Artinya, mau dicantumkan namanya sebagai Direktur dalam sebuah Akta pendirian perusahaan dan menandatangani sebuah dokumen, berate harus siap menanggung segala resiko yang ditimbulkannya.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top