0
#Dr. Abdul Salam : Terdakwa tidak banding tapi akan PK, karena sulit menemukan keadilan di Pengadilan Tinggi maupun di Mahkamah Agung#

beritakorupsi.co - Keadilan ! Kata yang sangat singkat namun mengandung makna yang sangat penting, karena menentukan nasib seseorang yang terjerat dalam kasus hukum baik Tindak Pidana Umum Khususnya Tindak Pidana Korupsi karena ancaman hukuman penjara yang akan dijalaninya.

Dan bila seseorang yang terjerat hukum merasa hukuman yang dijatuhkan terhadap dirinya tidak sesuai keadilan, maka berbagai upaya akan dilakukannya. Ada yang tersenyum karena usahanya berhasil, namun tak sedikit yang menangis dan harus pasrah hidup dipenjara setelah usahanya kandas.

Dan keadilan bukan hanya bagi seseorang yang terjerat dalam hukum, namun bagi Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang mewakili negara, sudah pasti menuntut hukuman bagi setiap orang yang melanggar hukum demi keadilan pula.

Dan itupula yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Katrin Sunita dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjung Perak yang melakukan upaya hukum Banding atas putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Khusus Surabaya terhadap 3 (tiga) dari 4 (empat) terdakwa dalam kasus Korupsi Proyek fiktif sebesar UD$3.963.725 di PT PT Dok dan Perkapalan Surabaya (PT DPS) Persero, yaitu Ir. M. Firmansyah Arifin (Dirut PT DPS), Nana Suryana Tahir (Direktur Administrasi dan Keuangan PT DPS), dan I Wayan Yoga Djunaedi (Direktur Produksi PT DPS) kecuali Muhammad Yahya (Deriktur Pemasaran dan Pengembangan Usaha)  PT Dok dan Perkapalan Surabaya (PT DPS).

“Karena terdakwa banding, kamipun banding. Dan menurut kami, Vonis terhadap terdakwapun tidak sesuai dengan tuntutan kami,” kata JPU Katrin Sunita kepada beritakorupsi.co, Selasa, 22 Oktober 2018.

Keempat terdakwa ini diseret oleh JPU dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjung Perak dalam kasus dugaan Korupsi proyek fiktif pengadaan tengki pendam di Muara Sabak, Jambi pada tahun 2010 lalu, senilai UD$20.216.645 atau setara dengan nilai rupiah sebesar Rp179.928.140.879 yang merugikan keuangan negara sejumlah UD$3.963.725 atau sebesar Rp35.063.047.625 berdasarkan hasil penghitungan kerugian negara (HPKN) oleh BPKP RI Nomor SR-1205/ D5/2/2017 tanggal 28 Desember 2017.

Baca juga : Mantan Dirut PT DPS (Persero) Divonis Penjara “7.2” Tahun Dalam Kasus 
                      Korupsi  UD$3.963.725 

Dalam tuntutan JPU terhadap Terdakwa Ir. M. Firmansyah Arifin selaku Direktur Utama (Dirut PT DPS) adalah 7 tahun pidana penjara. Namun oleh Majelis Hakim, terdakwa divonis 4 tahun dan 8 bulan dan denda sebesar Rp100 juta atau diganti dengan kurungan selama 6 bulan bila tidak membayar. Dan pidana tambahan berupa mengembalikan kerugian negara 28 persen dari total kerugian negara sejumlah UD$3.963.725 atau sebesar UD$1.109.843. Bila tidak dibayar, Jaksa akan menyita harta bendanya setelah 1 bulan putuan Majelis Hakim berkekuatan hukum tetap atau Inckrah. Kalau harta bendanya tidak mencukupi, maka diganti dengan penjara selama 2 tahun lamanya dari tuntutan JPU selama 3 tahun.
Sidang Putusan tanggal 8 Oktober 2018
Untuk terdakwa Nana Suryana Tahir selaku Direktur Administrasi dan Keuangan PT Dok dan Perkapalan Surabay (PT DPS), dan Terdakwa I Wayan Yoga Djunaedi (Direktur Produksi) divonis pidana penjara masing-masing 4 tahun dan 3 bulan dari tuntutan JPU selama 5 tahun. Hukuman dendanya pun sama, yaitu masing-masing sebesar Rp Rp100 juta atau diganti kurungan selama 2 bulan jika tidak membayar. Hukuman pidana tambahan pun sama yaitu masing-masing 24 persen dari total kerugian negara yaitu masing-masing senilai UD$951.294. Dan apabila terdakwa tidak membayar dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita oleh jaksa dan lelenag untuk menutupi kerugia negara. Bilamana harta benda terdakwa tidak mencukupi, maka diganti penjara selama 1 tahun.

Sementara terdakwa Muhammad Yahya selaku Deriktur Pemasaran dan Pengembangan Usaha PT DPS, divonis sama persis dengan terdakwa Nana Suryana Tahir dan I Wayan Yoga Djunaedi. Namun  Muhammad Yahya tidak melakukan upaya hukum bading melainkan PK (Peninjauan Kembali), seperti yang disampaikan Penasehat Hukum terdakwa, Dr. Abdul Salam.

Menurut Dr. Abdul Salam yang juga salah satu Caleg (Calon Legislatif) DPR RI dari Partai Perindo ini, bahwa keadilan sulit ditemukan di Pengadilan Tinggi (Banding) maupun di Mahkamah Agung (Kasasi). Yang menurutnya bahwa keadilan itu akan didapatkannya dalam upaya hukum PK.

“Yahya (Muhammad Yahya) tidak banding, tapi PK. PK kan boleh kalau putusannya sudah Inckrah. Karena sulit mendapatkan keadilan di PT maupun di Mahkamah Agung, makanya kita akan PK,” jawab Dr. Abdul Salam saat dihubungi media ini melalui telepon selulernya, Selasa, 23 Oktober 2018.

Keberatan para terdakwa atas Vonis Majelis Hakim (sidang pada Jum'at, 12 Oktober 2018 untuk terdakwa M. Firmansyah Arifin dan Muhammad Yahya, dan sidang putusan pada tanggal 8 Oktober 2018 untuk terdakwa Nana Suryana Tahir dan I Wayan Yoga Djunaedi) adalah bukan hanya karena pidana penjara, melainkan pidana tambahan berupa uang pengganti.

Karena menurut para terdakwa ini, kerugian negara dalam kasus yang menjeratnya tidak ada yang dinikmati sepeser pun. Namun para terdakwa diwajibkan untuk menggantinya.

Berita lainnya : Majelis Hakim Tipikor Surabaya Perintahkan JPU Melakukan 
                             Penuntutan Terhadap 2 Perusahaan Asal Singapur

Berita yang sama :  2 Pengusaha Singapur “Masuk DPO Interpol” Karena Kasus 

                                   Korupsi

Memang, dalam pertimbangan Majelis Hakim pun hal itu disampaikan, bahwa tidak ditemukan adanya aliran dana yang dinikmati oleh terdakwa. Namun menurut Majelis Hakim, karena uang senilai UD$3.963.725 atau sebesar Rp35.063.047.625 yang ditransfer oleh terdakwa kesalah satu perusahaan asing di Singapur dianggap abal-abal alias fiktif, maka kerugian negara pun dibebankan kepada ke- 4 terdakwa.

Dan tidak hanya itu. Majelis Hakim pun memerintahkan JPU untuk melakukan penuntutan terhadap perusahaan asing di Singapur yang yang tidak diketahui alamatnya, dan juga memerintahkan JPU untuk memasukkan pemilik perusahaan asing itu ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) bekerjasama dengan Interpol.

Yang menjadi catatan serta tugas terpenting dan paling berat adalah di tangan Jaksa Penuntut Umum Kejaskaan Agung RI, untuk melaksanakan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya.

Atau putusan itu hanya cukup di ucapkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya dalam persidangan, yang kemudian dituangkan dalam memori putusan karena alasan perusahaan asing itu tidak dketahu keberadaannya ?

Lalu apakah penegakan hukum itu ada di tangan Majelis Hakim Pengadilan/Tipikor atau di tangan parat Penegak Hukum Kejaksaan/Kepolisian ?.
Sidang Putusan tanggal 12 oktober 2018
Kasus ini bermula pada tanggal 26 Agustus 2009 lalu, di mana Gembong Primadjaya selaku Direktur Utama PT Berdikari Petro bersama dengan Afrizal Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina, menandatangani perjanjian Nomor 010/F00000/2009-S3 tentang jasa penerimaan, penyimpanan  dan penyaluran Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jobber, Muara Sabak, Jambi dengan jangka waktu pelaksanaan selama 18 bulan dimulai sejak ditandatangani yaitu tanggal 26 Agustus 2009 sampai dengan 26 Februari 2011 dengan lingkup pekerjaan jasa penerimaan, penyimpanan dan penyaluran Bahan Bakar Minyak di Jobber, Muara Sabak, Jambi Tanjung Jabung Timur, dengan  nilai kontrak untuk pekerjaan tersebut sebesar Rp141.800.00.000

Hingga pada tanggal 27 April 2009, PT Berdikari Petro sebelum mendapatkan perjanjian jasa dari PT Pertamina, karena belum pernah melaksanakan kegiatan baik konstruksi maupun investasi. Sedangkan isi kontrak antara PT Berdikari Petro dengan PT Pertamina tersebut Nomor 010/F00000/2009-S3, untu melaksanakan pembangunan tangki pendam di Muara Sabak, Jambi akan dipergunakan untuk menyimpan BBM di tangki pendam tersebut PT Pertamina dengan sistem membayar sewa kepada PT Berdikari Petro

Bahw dalam kontrak Nomor 010/F00000/2009-S3, antara PT Berdikari Petro dengan PT Pertamina tentang jasa penerimaan, penyimpanan dan penyaluran BBM di Jobber, Muara Sabak, Jambi tersebut adalah, Pihak Kedua (PT Berdikari Petro) wajib mendapatkan perizinan sesuai ketentuan yang berlaku untuk pembangunan tengki pendem di Jobber, yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, diantaranya ; 1. AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan),  sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 perjanjian ini,; 2. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)atau izin prinsip yang dikeluarkan oleh instansi berwenang yang menyatakan pembangunan Jobber  dapat dilaksanakan,; 3. Izin pengelolaan pelabuhan yang dikeluarkan oleh Menteri Perhubungan selambat-lambatnya 180 hari, terhitung sejak penandatanganan dengan menyerahkan fotokopi perjanjian kepada pihak Pertama PT Pertamina),” kata Majelis Hakim Dr. Andriano.

Majelis Hakim menjelaskan, apabila pihak Kedua belum menyerahkan fotokopi seluruh perjanjian, maka pihak Kedua tidak mempunyai hak untuk melaksanakan pembangunan tengki pendem di Jobber, dan pihak pertama mempunyai hak untuk melakukan pemutusan perjanjian secara sepihak dan diterima oleh pihak kedua tanpa tuntutan berupa apapun kepada pihak pertama.

Selain persyaratan Administrasi tersebut di atas, PT Berdikari Petro berkewajiban untuk menyerahkan jaminan pelaksanaan kepada PT Pertamina berdasarkan kontrak Nomor 010/F00000/2009-S3 tentang jasa penerimaan, penyimpanan dan penyaluran BBM di Jobber, Muara Sabak, Jambi yaitu pihak kedua wajib menyerahkan kepada pihak pertama jaminan pelaksanaan selama masa pembangunan Jobbel yang diterbitkan oleh Bank umum atau lembaga keuangan non Bank, yang direkomendasikan pihak pertama sebesar 5% dari nilai capex Jobber sebesar Rp141.800.00.000 yang berlaku untuk jangka waktu 18 bulan, dan ditunjukkan kepada Vice President Keuangan Hilir Direktorat Keuangan pihak pertama.

Namun hingga batas waktu yang telah ditentukan selama 180 hari sesuai kontrak Nomor 010/F00000/2009-S3 antara PT Berdikari PT dengan PT Pertamina tentang jasa penerimaan,  penyimpanan dan penyaluran BBM di Jobber, Muara Sabak, Jambi, PT Berdikari Petro tidak dapat memenuhi dua persyaratan tersebut khususnya pengurusan Izin pelabuhan, serta tidak pernah menyerahkan jaminan pelaksanaan kepada PT Pertamina.

Anehnya, karena PT Berdikari Petro tidak memiliki kemampuan dan modal untuk melaksanakan pekerjaan pembangunan tangki pendam di Muara Sabak Jambi, justru mencari investor modal yang mau untuk mengerjakan pembangunan pembuatan tangki pendam tersebut.

Dan pada tahun 2010, Gembong Primadjaya selaku Direktur PT Berdikari bertemu dengan Frederick dan Luke L. Tumboimbela yang maminta Gembong Primajaya untuk datang ke PT Dok dan Perkapalan Surabaya untuk melaksanakan pekerjaan pembangunan tangki pendam di Muara Sabak Jambi pada tahun 2010 sebesar Rp141.800.00.000.

Kemudian terdakwa M. Firmansyah Arifin selaku Direktur Utama PT Dok dan Perkapalan Surabaya bersama dengan Direksi lainnya, yaitu Nana Suryana Tahir (Direktur Administrasi dan Keuangan PT Dok dan Perkapalan Surabay,; I Wayan Yoga Djunaedi (Direktur Produksi) dan Muhammad Yahya Yahya selaku Deriktur Pemasaran dan Pengembangan Usaha, telah menyetujui untuk menerima pekerjaan pembuatan tangki pendam di Muara Sabak, Jambi dari PT Berdikari Petrol dengan menggunakan sistem pembayaran Turn Key, yaitu seluruh biaya pembangunan yang timbul dalam pekerjaan tangki pendam dibebankan kepada PT Dok dan Perkapalan Surabaya.

Dan setelah tangki pendam tersebut beroperasi, maka PT Berdikari Petro mendapatkan pembayaran sewa dari PT Pertamina, yang selanjutnya uang sewa tersebut digunakan oleh PT Berdikari Petrol untuk pembayaran kepada PT Dok dan Perkapalan Surabaya dengan cara diangsur tanpa adanya pembayaran uang muka oleh PT Berdikari Petro.

Kemudian terdakwa M. Firmansyah Arifin selaku Dirut PT Dok dan Perkapalan Surabaya  menandatangani kontrak dengan PT Berdikari Petro yang diwakili Gembong Primadjaya Nomor : 09/VII/ /PS-BP/2010 pada (tidak tanggal) Agustus 2010 senilai UD$20.216.645 atau setara Rp179.928.140.879 dengan estimasi Rp8.900 per Satu Dolar AS, sedangkan Direksi lainnya, yaitu Muhammad Yahya, Nana Suryana Tahir dan I Wayan Yoga Djunaedi turut menyetujui dengan menandatangani seolah-olaholah sebagai saksi pada kontrak tersebut.

Padahal kontrak antara PT Berdikari Petro dengan PT Pertamina Nomor 010/F00000/2009-S3 tanggal 26 Agustus 2009, adalah sebagai dasar pembuatan kontrak antara PT Dok dan Perkapalan Surabaya dengan PT Berdikari Petro yang sudah tidak berlaku, karena PT Berdikari Petro tidak memenuhi izin pengelolaan Pelabuhan sebagaimana dalam kontrak antara PT Pertamina dengan PT Berdikari Petro.

Selain itu, terdakwa Firmansyah Arifin bersama direksi PT Dok dan Perkapalan Surabaya lainnya, yaitu Nana Suryana Tahir, I Wayan Yoga Djunaedi dan Muhammad Yahya tidak melakukan klarifikasi kepada PT Pertamina sesuai dengan prinsip kehati-hatian untuk memastikan, bahwa legalitas termasuk keberlakuan dari kontrak PT Berdikari Petro dengan PT Pertamina, karena skema pembayaran pembangunan tangki pendam digantungkan kepada kontrak tersebut, sehingga perbuatan terdakwa M. Firmansyah Arifin telah bertentangan dengan Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN.
Dari kiri, Joedy Punggih H selaku senior Manager engineering PT. Dok Perkapalan Surabaya, Afrizal (Direktur Pemasaran dan Niaga PT. Pertamina) dan Gembong Primadjaya (Dirut PT. Berdikari Petrol)
Walaupun PT Dok dan Perkapalan Surabaya tidak memiliki pengalaman dibidang pembangunan tangki pendam, namun terdakwa Firmansyah Arifin selaku Direktur Utama PT DPS bersama Direksi lainnya, yaitu Nana Suryana Tahir, Muhammad Yahya dan I Wayan Yoga Djunaedi tetap melakukan kontrak dengan PT Berdikari Petro yang dalam pelaksanaannya, terdakwa M. Firmansyah Arifin bersama dengan Direksi lainnya melakukan penunjukan langsung kepada perusahaan AE Marine Pte Ltd di Singapura sebagai subkontrak, untuk melaksanakan pekerjaan EPC (engginering, procrutmen,  conttuksi) pembangunan tangki pendam Muara Sabak Jambi tanpa melalui proses pengadaan barang yang berlaku di PT DPS, sedangkan Pte Ltd bukan Mitra dari PT Dok dan Perkapalan Surabaya.

Selain itu, terdakwa M. Firmansyah Arifin beserta Direksi lainnya, yaitu Nana Suryana Tahir, Muhammad Yahya dan I Wayan Yoga Djunaedi tidak pernah meminta penawaran kepada rekanan lainnya sebagai Mitra dari PT DPS untuk pembanding harga. Namun terdakwa Firmansyah Arifin tetap menandatangani kontrak dengan AE Marine Pte Ltd  Nomor 0100/Proc/ AEMarine/DPS/2010 tanggal 24 Agustus 2010 dengan nilai UD$19.032.011 yang juga disetujui oleh Muhammad Yahya, Nana Suryana Tahir dan I Wayan Yoga Djunaedi selaku Diriksi yang bertindak sebagai saksi dalam kontrak tersebut, dan dalam kontrak pembangunan tangki pendam dengan AE Marine Pte Ltd tersebut tidak ada pasal persyaratan untuk AE Marine Pte Ltd sebagai kontraktor tidak memiliki perwakilan di Indonesia untuk menyerahkan jaminan pelaksanaan kepada PT DPS sebesar 5% dari biaya pekerjaan

Terdakwa M. Firmansyah Arifin bersama Direksi lainnya yaitu Muhammad Yahya, Nana Suryana Tahir dan I Wayan Yoga Djunaedi tetap menyetujui untuk melakukan pembayaran uang muka dengan cara transfer kepada AE Mariane Pte Ltd di Bank OCBC Singapore dengan Nomor rekening 503-009979-8301 secara bertahap sebanyak 4 tahap dengan jumlah seluruhnya sebesar UD$3,963, UD$75.000 tanpa adanya jaminan atau Bank garansi, serta bukti pendukung lainnya, diantaramya kuitansi, laporan fisik pekerjaan dan berita acara terima barang dari AE Mariane Pte Ltd, melainkan hanya berupa invoice penagihan AE Mariane Pte Ltd.

Majelis Hakim menjelaskan, bahwa terdakwa M. Firmansyah Arifin bersama Direksi lainnya yaitu Muhammad Yahya, Nana Suryana Tahir dan I Wayan Yoga Djunaedi menandatangani dokumen pencairan berupa invoice penagihan dari AE Mariane Pte Ltd sebagai persetujuan untuk dilakukan pembayaran kepada AE Mariane Pte Ltd, serta Nana Suryana Tahir juga menandatangani aplikasi bukti transfer uang kepada AE Mariane Pte Ltd melalui Bank BII  Surabaya dan Bank UOB Surabaya tanpa Ada progres pekerjaan yang dilakukan oleh AE Mariane Pte Ltd di lapangan. Adapun pencairan pembayaran sebanyak 4 kali melalui transfer kepada AE Mariane Pte Ltd terjadi sebagai berikut ;

1. Tahap pertama pada tanggal 15 November 2010 sebesar UD$ 800.000 ekuivalen Rp 7.148.800.000 yang dibayarkan melalui Bank UOB Buana Jalan Embong Malang Surabaya, dan yang menandatangani aplikasi transfer AE Mariane Pte Ltd adalah Direktur Administrasi dan Keuangan yaitu Nana Suryana. Sedangkan yang memberikan paraf pada invoice penagihan dari AE Marini Pte Lld sebagai persetujuan pembayaran adalah semua Direksi PT Dok dan Perkapalan Surabaya, yaitu terdakwa Firmansyah Arifin bersama dengan Muhammad Yahya,  Nana Suryana dan I Wayan Yoga Djunaedi.

2. Tahap ke- II Pada tanggal 17 Februari 2011 sebesar UD$ 100.000 ekuivalen Rp 903.818.510, dibayarkan melalui bank BII Jalan Pemuda Surabaya yang menandatangani aplikasi transfer AE Mariane Pte Ltd adalah Direktur Administrasi dan Keuangan Nana Suryana Tahir  dan Direktur Produksi I Wayan Yoga Junaedy. Sedangkan yang memberikan para pada invoice penagihan dari AE Mariane Pte Ltd sebagai persetujuan pembayaran adalah semua Direksi PT Dok dan Perkapalan Surabaya.

3. Tahap ke- III pada tanggal 21 Februari 2011 sebesar UD$ 2.563.7215 ekuivalen Rp 22.676.147.625 yang dibayar melalui Bank UOB Buana Buana Jalan Embong Malang Surabaya yang mendatangani aplikasi transfer AE Mariane Pte Ltd adalah Direktur Administrasi dan Keuangan yaitu Nana Suryana Tahir dan Direktur Pemasaran dan Pembangunan Usaha yaitu Muhammad Yahya. Sedangkan yang memberikan para pada invoice penagihan dari AE Mariane Pte Ltd sebagai persetujuan pembayaran adalah semua Direksi PT Dok dan Perkapalan Surabaya.

4. Tahp ke IV pada tanggal 11 April 2011 sebesar UD$ 500.000 ekuivalent Rp 4.335.500.000  yang dibayar melalui Bank UOB Buana Jalan Embong Malang Surabaya yang menandatangani aplikasi transfer AE Mariane Pte Ltd adalah Direktur Administrasi dan Keuangan yaitu Nana Suryana Tahir dan Direktur Pemasaran dan Pembangunan Usaha yaitu Muhammad Yahya.  Sedangkan yang memberikan para pada invoice penagihan AE Mariane Pte Ltd sebagai persetujuan pembayaran adalah semua Direksi.

Pembayaran dari PT PDS ke AE Mariane Pte Ltd tersebut tidak sesuai dengan kontrak antara PT PDS dengan AE Mariane Pte Ltd yang seharusnya dengan cara Letter of Credit (L/C) dan tidak ada kewajiban PT PDS untuk melakukan pembayaran uang muka kepada AE Marine Pte Ltd.

Bahwa pada bulan Desember 2010, Joedy Punggih H selaku senior Manager engineering bersama dengan Agus Hadi Utomo selaku Project monitoring atas perintah Muhammad Yahya,  menandatangani progres fisik sebesar 25% atas pekerjaan tangki pendam di Muara Sabak Jambi, seolah-olah di lapangan sudah ada pekerjaan dengan progress sebesar 25%, dan Muhammad Yahya selaku Direktur Pemasaran dan Pengembangan Usaha membuat debet nota invoice kepada PT Berdikari Petro Nomor 28/DPS-F1/10 tanggal 30 Desember 2010 dengan nilai Rp52.247.000.000 yang mengacu kepada bobot fiktif tersebut seolah-olah PT DPS akan melakukan penagihan kepada PT Berdikari Petro yang tujuannya agar progres dan invoice tersebut digunakan oleh terdakwa Firmansyah Arifin bersama dengan 3 Direksi lainnya untuk dijadikan pengakuan pendapatan perusahaan. Sehingga para Direksi PT DPS mendapatkan tantiem atau bonus akhir tahun terhadap prestasi kerja PT DPS atas pekerjaan tangki pendam di Muara Sabak Jambi.

Bahwa pembayaran yang diterima oleh AE Mariane Pte Ltd dari PT DPS tersebut tujuannya bukan untuk pembayaran pekerjaan pembuatan tangki pendam di Muara Sabak Jambi, melainkan digunakan untuk menutupi kekurangan pembelian bahan material pembuatan Dua kapal tanker milik PT Pertamina kepada Zhan Hong Pte Ltd sebesar UD$ 3,830,150 sebagaimana surat Protocol of agreement nomor 180/BA/DS/9/III/11 tanggal 19 September 2011 antara PT DPS  dengan yang Zhang Hong Pte Ltd dan AE Marine Pte Ltd yang ditandatangani oleh Muhammad Yahya dari pihak PT DPS, dan Wong Cheng Lim dari pihak Zhang Hong Pte Ltd serta Chia Lee Mee dari pihak AE Marine Pte Ltd. Pada hal untuk pembuatan kapal tanker milik PT Pertamina telah mempunyai kontrak antara PT DPS dengan PT Pertamina serta telah mempunyai anggaran tersendiri.

Penunjukan Zhang Hong Pte Ltd sebagai supplier tunggal untuk pembelian bahan material pembuatan 2 unit kapal tanker milim PT Pertamina tidak melalui mekanisme yang berlaku sesuai Surat Keputusan Direksi PT Dok dan Perkapalan Surabaya Nomor 025/kpts/DS/2/I/08 tentang peraturan pengadaan barang PT Dok dan Perkapalan Surabaya, yang seharusnya dengan RAB (rencana anggaran biaya) untuk pembelian bahan material pembuatan kapal tanker milik PT Pertamina dengan nilai UD$9,535,418 untuk 1 Kapal, PT DPS sudah mendapatkan keuntungan jika pembelian kepada mitra-mitra PT DPS.

Namun karena terdakwa Firmansyah Arifin bersama dengan 3 Direksi lainnya melakukan penunjukan langsung kepada Zheng Hong Pte Ltd  sebagai supplier tunggal untuk pengadaan bahan material pembuatan kapal milik PT Pertamina tersebut yang mengajukan penawaran senilai US$ 12, 607,750 untuk 1 unit kapal melampaui senilai UD$9,535,418, sehingga harga barang untuk pemenuhan satu kapal menjadi sebesar UD$12,607,750 atau lebih mahal dari pada pembelian kepada mitra-mitra PT DPS.

Dan selisih kekurangan biaya tersebut oleh terdakwa Firmansyah Arifin yang disetujui oleh Direksi lainnya, diambil dari pembayaran pekerjaan pembuatan tangki pendam di Muara Sabak Jambi kepada AE Marini Pte Ltd senilai UD$3,963,721 yang beralamat di Singapur dan tidak memiliki perwakilan di Indonesia, yang saat ini tidak diketahui alamatnya. Begitu juga dengan Wong Cheng Lim dan Chia Lee Mee tidak diketahui keberadaannya.

Bahwa akibat perbuatan terdakwa Firmansyah Arifin bersama dengan 3 Direksi lainnya, yakni Muhammad Yahya, Nana Suryana Tahir dan I Wayan Yoga Djunaedy telah mengakibatkan kerugian terhadap keuangan negara sebesar UD$3,963,725 (atau sekitar Rp35.063.047.625)  sebagaimana laporan hasil audit BPKP RI dalam rangka penghitungan kerugian keuangan negara Nomor SR-1205/ D5/2/2017 tanggal 28 Desember 2017. (Rd1)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top