Mantan Direktur PT IMMS, Vita |
Hal itu terungkap setelah mantan Direktur PT Indo Modern Minning Sejahtera (IMMS) di tahun 2008 hingga 2012 itu menjadi saksi di Persidangan Pengadilan Tipikor dalam perkara, kasus dugaan Korupsi penambangan pasir besi oleh PT Indo Modern Minning Sejahtera (IMMS), pada Jumat, 3 Juni 2016. Sebab, yang dipermasalahkan penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur (Jatim) dalam kasus dugaan Korupsi penambangan pasir milik PT Indo Modern Minning Sejahtera (IMMS) adalah, salah satunya karena tidak memilik ijin AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) namun sudah melakukan kegiatan.
Sementara, Vita Alfiana, selaku mantan Direktur PT IMMS sejak 2008 hingga 2012 itu, dihadirkan oleh JPU dari Kejati Jatim sebagai saksi untuk terdakwa, Lam Chong San, selaku Dirut PT IMMS, menerangkan dalam persidangan yang diketuai Majelis Hakim H.R Unggul Warso Murti, bahwa pada tahun 2010 seperti dalam surat dakwaan JPU, PT IMMS belum ada kegiatan eksploitasi atau prodoksi basir besi. Vita Alfiana, dihadapan Majelis Hakim menjelaskan, ijin AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dilaksanakan pada saat Ekploirasi bukan Eksploitasi. Terkait dengan ijin penambangan yang dilakukan oleh PT IMMS. Dia mengakui telah menerima kuasa dari Lam Chong San, selaku Dirut PT IMMS untuk menanda tangani kontrak kerja dengan konsultan, keran untuk mengurus ijin AMDAL harus menggunakan konsultan.
“Pada Januari 2010, karena untuk mengurus AMDAL itu harus menggunakan konsultan, saya diberi kuasa oleh Pak San, untuk menandatangani. Konsultannya Abdul Rahem Faqih dari CV Lintas Sumberdaya Lestari dengan kontrak kerja senilai Rp 265 juta, dengan waktu 60 hari kerja,” jelas Vita. Setelah itu, lanjut Vita, mulailah mereka menyusun dokumen AMDAL yang terdiri dari ANDAL, RKL, RPL dan RE yang selesai pada Maret 2010. Dia (Vita) mengakui, adanya pengembalian dokumen AMDAL saat PT IMMS mengurus ijin IUP-OP produksi ke Pemda karena beberapa persyaratan belum lengkap. Tetapi setelah diperiksa oleh Tim Teknis penilai AMDAL, dimana terdakwa Gofur sebagai Ketua, sementara Ketua komisi penilaian AMDAL adalah Plt. Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Nining.
“Mei 2010 dibawa ke sidang Komisi penilaian AMDAL. Tanggal 24 Juni 2010, keluarlah ijin Kelayakan dari Pemda yang ditandatangani Bupati Lumajang,” jelas vita.
Tahun 2008 – 210 Tidak Ada Penambangan Kecuali Eksplorasi Atau Penelitian.
Terkait kegiatan penambangan yang dilakukan oleh PT IMMS pada tahun 2010, Vita mengatakan tidak ada kegiatan. 2008 sampai 2010 kegiatan hanya Eksplorasi. Karena belum keluar ijin penggunaan lahan dari Dinas Pengairan. Kegiatan penambangan yang dilakukan oleh PT IMMS baru pada tahun 2012 tapi belum ada eksport. PT IMMS bekerjasa sama dengan CO yang ada. Sehingga PT IMMS menjual ke CO. Namun Vita menjawab tidak tahu atas pertanyaan JPU Adam, tentang kemana CO tersebut menjual hasil tambang tersebut.
Namun ada dua pertanyaan JPU Lili kepada saksi Vita yakni, mengenai Dua unit alat berat berupa
Excavator dan tanggungan PT IMMS kepada Masyarakat penambang sebesar Rp 1,5 milliar yang disebut dana tambang. Sementara dua alat Excavator itu adalah milik Halim, adik dari terdakwa Lam Chong San.
“Kalau Mobil terano itu punyanya Pak San. Kalau Excavator, itu milinknya Pak Pak Halim,” jawab Vita bingnung. Dari keterangan saksi Vita terungkap, bahwa dua alat bukti berupa Excavator yang disita penyidik Kejati Jatim dari kantor PT IMMS di Jember adalah milik Salim selaku adiknya terdakwa. PT IMMS menyewa kantor dari salim. Sementara Excavator milik PT IMMS sendiri hingga sekarang ada dalam penguasaan Masyarakat. Berdasar informasi, pengacara Salim, telah mengajukan keberatan ke pohak Kejati namun tidak digubris.
PT IMMS Pernah Melaporkan Penambangan Ilegal di Lokasi PT IMMS Kepihak Kepolisian
Menjawab pertanyaan Majelis Hakim terkait kariyawan dari excavator, kegiatan yang dilakukan oleh PT IMMS maupun oleh Masyarakat dimilik PT IMMS, Vita menjelaskan, bahwa PT IMMS telah melaporkannya ke pihak kepolisian pada tahun 2012. “tidak boleh melakukan kegiatan karena dilarang oleh Masyarakat. Sudah pernah melaporkan ke Polisi tahun 2012,” jawab Vita kepada Majelis. Apa yang dijelaskan Vita dalam persidangan sama seperti dalam berita acara pemeriksaan (BAP) saat dipenyidik Kejati Jatim. Namun, apapun yang dijelaskan oleh saksi Vita Alfiana, maupun nantinya bukti-bukti yang akan diajukan oleh terdakwa, sepertinya tidak berarti. Karena bisa jadi, kasus ini hanyalah menutupi kasus yang sebenarnya terjadi ibarat teka teki dimata masyarakat.
Sebelum persidangan,Vita Alfiana menjelaskan kepada wartawan media ini terkait kebeadaannya dan kegiatan PT IMMS. Menurutnya yang sudah bekerja di PT IMMS sejak 2008 hingga 2010 bahwa PT IMMS telah memiliki semua ijin lengkap sejak 2012 baik dari Pemda Lumajang maupun dari Kementerian. Bahwa wanita berjilbab itu mengatakan, PT IMMS telah membayar iuran tetap melalui Kementerian sejak 2008 hingga sekarang, yang besarnya diatas 100 juta rupiah.
“Saya di PT IMMS sejak 2008 hingga 2012. Ijin yang dimiliki PT IMMS, IUP-OP, CNC, ET dan SPE. Ijin IUP-OP dari Pemda kalau CNC, ET dan SPE langsung dari kementerian. SPE rekomondasi dari Kementerian ESDM, kalau ET dari Kementerian Perdagangan. Pada saat PT IMMS melakukan Eksplorasi, masyarakat tidak memperbolehkan, buktinya mereka melakukan pembakaran pabrik, alat dan sampai sekarang ada Dua alat Excavator yang ditahan masyaraka. Kita dipaksa, masyarakat yang harus menambang,” turur Vita.
Vita melanjutkan, pada 2010, belum semua ijin dimiliki PT IMMS. Pada 2011, baru ada ijin dari Pengairan Pemda. Sementar ijin dari pihak Perhutanan maupun PTPN tidak ada ijin karena lokasi tersebut adalah milik Pemda. “Pada 2010, kita mengajukan ijin IUP produksi Eksploitasi, salah satu syarat untuk mengajukan IUP-OP harus ada persetujuan AMDAL dari Bupati. Setelah itu kita baru mengajukan IUP-OP. Ijin AMDAL keluar Juni 2010 dan ijin IUP-OP keluar pada Juli 2010. Jadi selama tahun 2010 sampai 2011, tidak ada kegiatan, nggak boleh karena belum ada ijin dari Pengairan. Penambangan yang ada dilokasi milik PT IMMS itu dilakukan oleh masyarakat sejak dulu. Pada tahun 2012, PT membeli dari masyarakat yang melakukan penambangan dilokasi PT IMMS. Kalau nggak, ia nggak ada kegiatan.” ungkap Vita.
Saat ditanya, mengenai kegiatan PT IMMS sejak 2008 hingg 2010 dan tindakan Pt IMMS atas ulah Masyarakat, Vita menjelaskan, kegiatan yang dilakukan oleh PT IMMS hanya Ekplorasi (penelitian dan pengambilan samples.
“Pada tahun 2011 baru keluar ijin dari Pengairan. Kita bisa Eksport setelah ijin SPE keluar pada tahun 2012. Jadi semua ijin lengkap yang dimiliki PT IMMS baru pada tahun 2012. Tahun 2013, PT IMMS baru makukan penambangan. Tapi tahun 2012, kita pernah melaporkan tindakan Masyarakat ke Kepolisan bahkan sampai ke Mabes,” kata Vita, seperti menyimpan seseuatu hal yang sulit diungkapkan terkait laopran itu.
Terkait kasus dugaan korupsi yang dituduhkan oleh Jaksa kepada PT IMMS karena makukan penambangan Ilegal alias tidak memiliki ijin AMDAL dan tidak membayar loyalti kepada Pemerintah, mantan Direktur PT IMMS itu menjelaskan kepada media ini, bahw PT IMMS melakukan penambangan setelah memiliki ijin lengkap dari Pemda Lumajang maupun dari kementerian.
PT IMMS Memiliki Ijin Lengkap Termasuk CNC Tahun 2012 Dan Melakukan Ekspor 2013 Dan Membayar Royalti 3,75%. “PT IMMS memiliki ijin lengkap pada tahun 2012, dan baru melakukan eksport pada tahun 2013 setelah ijin lengkap tahun 2012. Tapi Masyarakat masih tetap melakukan penambangan di lokasi PT IMMS. Royalti yang kita bayar kepemrintah sebesar 3,75% dikali harga per to. Kalau iuran tetap dibayar pertahun. Semuanya dibayar ke rekening kementerian. Kalau ke Pemda, itu dari yang 3,75% itu, tapi itu dari kementerian bukan dari kita. Kalau yang dipermasalahkan Salim Kancil (alm) itu adalah pasir cor atau galian C bukan pasir besi atau galian B (miniral logam). Salim Kancil tidak pernah memprotes PT IMMS karena yang di protesnya di Desa selokawar-awar sedangkan lokasi PT IMMS di Desa Bades, jadi masih ada Tiga Desa perbatasan,” ungkap Vita.
Terdakwa Mengatakan ; Sebagai Investor Asing, Saya Adalah Korban Hukum Negara Indonesia
Sementara, terdakwa Lam Chong San, selaku Dirut PT IMMS kepada media ini mengkatan, bahwa dirinya adalah sebagai korban. Pengurusan Ijin ternyata tidak cukup hanya dari Pemerintah maupun dari Masyarakat. Menurut Lam Chong San, pengurusan ijin resmi dari Pemerintah tapi belum tentu bisa dipergunakan bila tidak ada ijin dari Masyarakat yang melakukan penambangan di lokasi milik perusahaan yang dipimpinnya itu.
“Sejak 2008 PT IMMS sudah memiliki ijin. Tapi ijinnya itu kan banyak. Kalai ijin AMDAL itu hanya sedikit. Tahun 2010, AMDAL. Tahun 2012, mulai ada persiapan penambangan, masyarakatnya loh ya bukan kita. Tahun 2013, baru betul-betul eksploitasi, gali, proses dan eksport. Kegiatan tahun 2011 tidak ada, tahun 2012 ada tapi ilegal karena kita laporkan. Ada yang ditangkap tersangkanya H.Tohir dan ada yang lari (DPO) yaitu Subeni, bukan PT IMMS yang melakukan penambangan liar,” kata San panggilan terdakwa Lam Chong San.
Masyarakat, lanjut terdakwa San, yang melakukan penambangan, itu tananhnya sendiri, tanamannya sendiri tapi kita yang bayar sama masyarakat. Satu ton ada yang 25 ribu, 55 ribu. Bayar kepemilik lahan 250 ribu, bayar Desa 150 ribu, portalnya 70 ribu.
“Apa bukan perhutani yang nyolong (mencuri) punya kita, LMDH (lembaga Masyarakat Desa Hutan.red) apa itu dia bukan punya orang ? Superno, Parno, Paino, Pasuti apa bukan orang LMDH ? Perhutani bilang itu bukan tanahnya dia, ia sudah. Saya sebagai investor asing menjadi korban hukum negara Indonesia. Kan perhutani sendiri yang nangkapn dikasih beli malah kita yang masuk penjara, hukum apa ini ?,” kata dengan nada kecewa.
Dari hasil pembicaraan wartawan media ini dengan Yayak, salah seorang teman dekat almarhum Salim Kacil terungkap, bahwa penemu pasir besi di Lumajang adalah alm. Salim Kacil. Dia menjelaskan bahwa dirinya berteman dengan alm. Salim Kacil sejak 2009 dan aktif sebagai penambang. “Saya kenal Salim Kacil sejak 2009 sampai sebelum dia itu meninggal. Saya juga heran. Yang menemukan pasir besi di Desa Dampar itu ia Salim Kacil tahun 2009, tapi yang menambang Masyarakat, dia nggak ikut,” ungkap Yayak. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :