0
Terdakwa Slamet Untung Irredenta (kanan)
Surabaya, br – “Doa dan harapan tidak selamanya terkabul, sebab kehendak Tuhan bukan kehendak manusia, namun semangat berusaha haruslah tetap ada”.

Itulah yang dialami dan yang akan dilakukan Ke Enam terdakwa dalam kasus dugaan Korupsi dana Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) pada tahun 2008 hingga tahun 2012 lalu, yang bersumber dari kementerian BUMN lewat PT Garam (Persero) Indonesia sebesar Rp 93,8 miliar, yang merugikan keuangan negara senilai Rp 3,9 milliar.

Sebab, Empat dari Enam terdakwa telah melakukan perlawanan atas penetapannya sebagai tersangka dengan mempraperadilkan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim), namun upaya itu gagal. Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, menolak gugatan permohonan Praperadilan yang dilayangkan para tersangka saku pemohon melalui Kuasa Hukumnya, Wijono Subagyo, kepada Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, selaku termohon melalui PN Surabaya, pada Senin 7 Maret 2016.

Empat dari Enam terdakwa yang mengajukan praperadilan saat itu diantaranya, Julian Lintang (mantan Direktur Utama) dan Ahmad Fauzi Isyofwani, Muchsin HB serta Sudarto (satu perkara/Ketiganya mantan Kepala Bagian PKBL PT Garam). Para terdakwa didampingi Wiyono Subagio selaku Kuasa Hukum maupun sebagai Penasehat Hukumnya. Pengacara Wijono Subagyo, bukanlah orang baru dikalangan direksi PT Garam milik plat merah itu. Sebab, Wiyono Subagio, sejak 1998 sudah dipercayakan untuk mengurusi kasus-kasus yang ada di perusahaan negara itu. Dan pada tahun 2004, Wijono Subagyo, juga sebagai Kuasa Hukum/Penasehat Hukum Slamet Untung Irredenta yang menjabat selaku Derektur Keuangan PT Garam saat itu, untuk menyelesaikan beberapa kasus pidana maupun perdata di wilayah hukum Surabaya maupun diluar Pulau Jawa, berdasarkan surat perjanjian Kerjasama Hukum Nomor : 06001/HK/I/2004 tanggal 5 Januari 2004.

Bahkan, saat penyidik Kejati Jatim memeriksa dan menetapkan Slamet sebagai tersangka dalam kasus Korupsi penjualan Garam 10 ribu ton (Slamet telah divonis 1,2 tahun penjara), Wijono Subagyo sempat mendampinginya sebelum berpindah tangan ke Arif Sulaiman, keponakan Slamet sendiri. Gagal disidang praperadilan, bukan berarti membuat Wiyono Subagio Cs, mundur. Sebaliknya tetap berusaha untuk membebaskan Empat kliennya dari jeratan hukum. Untuk yang Kedua kalinya, setelah kasus ini disidangkan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, pada Senin, 16 Mei 2016, Ke Enam terdakwa berharap bisa bebas bersama-sama dari jeratan hukum dengan mengajukan keberatan (Eksepsi). Namun lagi-lagi gagal.

Pada Senin, 23 Mei 2016, Majelis Hakim Tipikor yang diketuai Hakim Tahsin, menolak keberatan Penasehat Hukum para terdakwa atas surat dakwaan JPU. Terdakwa Slamet Untung Irredenta, yang terseret untuk yang Kedua kalinya, didampingi PH-Nya Arif Sulaiman. Untuk terdakwa Syaiful Rahman, selaku Dirut UD Mega Rahman, didampingi PH-nya F. Arif. Semenatara, Julian Lintang (mantan Direktur Utama) dan Ahmad Fauzi Isyofwani, Muchsin HB serta Sudarto (satu perkara/Ketiganya mantan Kepala Bagian PKBL PT Garam) didampingi PH-Nya Wiyono Subagio.

“Menolak keberatan terdakwa melalui Penasehat Hukumnya. Memerintahkan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk menghadirkan saksi-saksi maupun bukti-bukti,” ucap Ketua Majelis Hakim Tahsin, dalam sidang dengan agenda pembacaan putusan sela.

JPU Arif Usman dari Kejari Surabaya, meminta waktu seminggu kepada Majelis Hakim untuk menghadirkan saksi. “Mohon waktu satu minggu,” minta JPU Arif.

Usai persidangan, Wayono Subagio, Penasehat Hukum Empat terdakwa, saat diminta tanggapannya terkait ditolaknya Eksepsi yang diajukannya mengatakan, kecewa. Alasannya, dalam Eksepsinya terkait kerugian negara yang belum dilakukan audit investigasi.

“Dalam Eksepsi kita, terkait kerugian negara yang belum dalakukan audit investigasi,” ujar Wiyono Subagio.
“Sudah jatuh ketimpa tangga, juga menimpa orang lain”. Barang kali kalimat itu tepat bagi kasus dugaan korupsi di PT Garam (Persero) Indonesia, perusahaan ber pelat merah itu.

Sebab, Satu dari Enam terdakwa yakni Slamet Untung Irredenta, sudah di divonis 1 tahun 2 bulan pada tahun lalu, dalam kasus korupsi penjulan Garam sebanyak 10 ribu ton tanpa prosedur pada tahun 2011 lalu yang merugikan negara sekitar Rp 2 milliar.

Saat ini, Selamt Untung Irredenta, terseret lagi dalam kasus yang Kedua, yakni dugaan Korupsi dana Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) pada tahun 2008 hingga tahun 2012 dari kementerian BUMN lewat PT Garam (Persero) Indonesia sebesar Rp Rp 93,8 miliar, yang merugikan keuangan negara senilai Rp 3,9 milliar.

Slamet Untung Irredenta adalah mantan Direktur Utamata (Dirut) PT Garam (Persero) Indonesia, yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Keuangan saat Leo Pramuka sebagai Dirut. Jabatan Leo Pramuka kemudian digantikan Slamet, sementara Direktur Keuangan dijabat Yulian Lintang. Selanjutnya Yulian lintang menduduki posisi sebagai Dirut menggantikan Slamet yang menjadi Komisiaris di PT Garam.

Pada tahun 2008, Kementerian BUMN mengeluarkan kebijakan, agar BUMN yang mengalami surplus memberikan bantuan pinjaman ke BUMN yang masih lemah. Salah Satu dari 13 perusahaan yang ada dibawah Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu, adalah PT Garam. Dalam program tersebut, PT Garam (Persero) Indonesia memperoleh bantuan pinjaman berupa dana sebesar Rp 93,8 miliar untuk Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKLB) sejak tahun 2008 hingga 2012. Bantuan pinjaman sebesar Rp 93,8 milliar tersebut, untuk dipergunakan dalam program bantuan kepada masyarakat bernama PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan) program penguatan petani Garam.

Namun dari pelaksanaannya, ternyata dana sebesar 93,8 milliar itu tidak dipergunakan sebagaiamana mestinya. Dari hasil penghitungan Tim Badan Pemeriksa Keuangan Dan Pembangunan Perwakilan (BPKP) Jawa Timur, ditemukan adanya penyimpangan sebesar Rp 3,9 milliar. Kemuadian, dari hasil penyidikan Tim penyidik Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Timur ( Jatim) pada tahun 2015 lalu, menetapkan 6 orang tersangka, diantaranya, Slamet Untung Irredenta, Yulian Lintang (keduanya mantan Dirut PT Garam), Ahmad Fauzi Isyofwani, Muchsin HB dan Sudarto (Ketiganya mantan Kepala Bagian PKBL PT Garam) serta Syaifur Rahman, selaku Dirut UD Mega Rahman.

Terseretnya Syaifur Rahman, Dirut UD Mega Rahman terkait aliran dana yang diperoleh atas program PKBL sebesar Rp 1,7 milliar. Pada lal, UD Mega Rahman tidak terdaftar sebagai perusahaan maupun petani garam yang menerima dana konsinyasi untuk program PKBL. Atas perbuatannya, ke Enam terdakwa diancam dengan ancaman pidana penjara paling lama 20 tahun, berdasarkan pasal 2 ayat (1) atau paling rendah 1 tahun penjara berdasarkan pasal 3 jo pasal 18 UU Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 65 KUHP.

Namun, dari kasus perkara dugaan Korupsi dana PKBL PT Garam (Persero) Indonesia, yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 3,9 milliar itu dari total anggaran sekitar Rp 93 milliar lebih, masyarakat menunggu proses peridangan. Apakah aliran dana itu hanya “dilingkaran” ke Enam terdakwa, atau masih ada yang lain ? Apakah benar kerugian negara sebesar itu atau melebihi atau juga dibawahnya ? Apakah ada orang-orang yang “terselamatkan atau diselamatkan ?”.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top