0
Terdakwa Yusak dan Bambang Santoso
Surabaya, bk – Program pemerintah, Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) untuk sertifikat gratis bagi masyarakat yang tidak mampu, sudah banyak “menghantarkan” Kepala Desa/Lurah ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk diadili.

Kasus yang ditimbulkanpun sama. Yaitu, tuduhan adanya pungutan liar (pungli) alias penarikan dana (uang) dari pemohon secara tidak resmi, yang dilakukan oleh perangkat Desa/Lurah tersebut. Tak peduli, apakah itu karena ada dasar sukarela sejak awal. Namun bila ada satu orang saja yang keberatan dikemudian hari setelah proses sertifikat itu selesai, maka Penegak Hukum dari ke Polisian maupun Kejaksaan, dengan secepatnya melakukan proses penyidikan.

Seperti yang dialami Yusak dan Bambang Santoso, yang saat ini sedang menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Keduanya dituduh melakukan Korupsi dengan cara menarik dana dari masyarakat untuk biaya pengurusan Sertifikat gratis atas Program Pemerintah Prona.
Yusak, adalah Kepala Desa (Kades) di Desa Tulungrejo, Kecamatan Karangrejo, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Sementara Bambang Santoso, sebagai Ketua Pokmas (Kelompok Masyarakat) di desa yang sama.

Bambang Santoso membantu Kades Kades Yusak, dalam pelaksanaan Prona yang di danai dari APBN lewat Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Tulungagung, pada awal tahun 2014 lalu, di Desa Tulungrejo sebanyak 600 bidang/pemohon dalam hal pengurusan sertifikat gratis.

Dalam pelaksanaan Prona tersebut, pengurusan Sertifikat memang bukan gratis 100% dibiayai dari anggaran Prona. Namun, sebagian masyarakat beranggapan lewat berbagai informasi yang didapat, bahwa biaya sertifikat adalah gratis. Pada hal, ada biaya yang harus ditanggung pemohon diantaranya, biaya sebanyak 6 hingga 10 prangko dengan harga satuan Rp 6000 dikali 600 per pemohon/bidang, pembelian patok sebayak 4 buah dengan harga sekita Rp 10 ribu dikali 600 pemohon/bidang, biaya foto copy. Sehingga, pada saat dilaksanakannya sosialisasi kepasa Masyarakat tentang Prona tersebut, disitulah awal mula seseorang Panitia Prona “diintai” Undang-Undang Korupsi.

Seperti yang dialami Kades Yusak dan Ketua Pokmas Bambang Santoso. Karena Keduanya menarik biaya dalam pelaksanaan Prona untuk sebanyak 600 pemohon/bidang sertifikat, sebesar Rp 300 ribu untuk biaya pembelian Prangko Patok (batas tanah), foto Copy dan lain-lain. Akibatnya, Kades Yusak dan Ketua Pokmas Bambang Santoso pun diancam hukuman pidana penjara minimal 1 tahun dan paling lama 5 tahun. Berdasarkan pasal 12 huruf e UU Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau pasal 11 UU Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Ancaman pidana penjara bagi Kedua terdakwa (Kades Yusak dan Bambang Santoso) tersebut, dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yuda A, dan Harimurti H. Haskoro (Kepala Seksi Pidana Khusus) dari Kejari Tulungagung dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, pada Kamis, 26 Mei 2016.
“Perbuatan terdakwa I, Yusak bin Muhye dan terdakwa II, Bambang Santoso bin sali sebagaimana diancam dalam pasal pasal 12 huruf e UU Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” ucap JPU Yuda dihadapan Majelis Hakim yang diketua Hakim Sukadi.

Penanggapi surat dakwaan JPU, Penasehat Hukum (PH) Kedua terdakwa akan menyampaikan keberatan (Eksepsi) kepada Majelis Hakim pada persidangan berikutnya. “Ada Eksepsi yang Mulia,” kata PH terdakwa.

Usai persidangan, Sahroni, selaku Penasehat Hukum terdakwa Kades Yusak, kepada media ini menjelaskan, bahwa kasus ini terkesan dipaksakan dan ada muatan politiknya.

“Dakwaan JPU kita anggap Keterlaluan. Kenapa, karena pelaksanaan Prona sudah sesuai dengan petunjuk dan sesuai dengan sosialisasi yang dihadiri oleh Kejari, Kapolres, Camat, Polsek, BPN dan Dispenda,” kata Sahroni. Terdakwa Yusak menambahkan, bahwa kasus yang menipa dirinya karena ada muatan politik dari pendukung lawan politiknya saat Pilkades (Pemilihan Kepala Desa) pada September 2013 lalu.

“Ini ada pelapornya karena Pilkades. Pelapornya adalah pendukung Calon saat Pilkades pada September 2013. Saat sosialisasi, biaya 300 ribu itu atas kesepakatan semua warga. Namun beberapa saat kemudian, muncul di Koran, ada yang keberatan. Sehingga, saya pun kembali mengumpulkan semua Masyarakat pemohon yang mengajukan sertifikat. Saat saya sampaikan tentang berita di Koran, tak satu pun yang keberatan. Biaya tambahan 300 ribu atas sukarela pemohon. Mereka datang membayar ke Balai Desa tempat Panitia bukan ditarik,” tutur Yusak.

Dalam kasus seperti ini, agar tidak terjadi “pemenjaraan” Kepala Desa/Lurah akibat Program Pemerinta tentang Prona, Pemerintah maupun BPN, seharusnya membuat Surat Edaran terkait biaya tambahan yang harus ditanggung oleh pemohon Prona.   (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top