0
Kedua terdakwa sebelum sidang
Surabaya, bk – Tak heran, bila masyarakat menuding Kejaksaan masih ada tebang pilih dalam penanganan kasus dugaan korupsi yang sedang ditangani.

Diantaranya, kasus Korupsi promosi pariwisata (Road Show) Kota Batu ke Kota Balikpapan Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) pada tahun 2014 lalu, yang menelan anggaran sebesar Rp 3,7 M yang bersumber dari APBD Pemkot Batu. Dalam kasus ini, nama Eddy Rumpoko selaku Wali Kota Batu dan Susetya Herawan, Kepala Inspektirat Kota Batu, hanya dijadikan sebagai saksi biasa oleh penyidik Kejari Batu. Bisa jadi, Kejari Batu “takut” memeriksa dan menjadikannya sebagai tersangka, karena Eddy Rumpoko mencalonkan Wali Kota yang diusung oleh PDPI.

Yang mengejutkan, nama Wali Kota Batu Eddy Rumpoko dan Kepala Inspektorat Susetya Herawan bersama Dua Staf Kota Batu, diesebutkan dalam putusan Majelis Hakim Tipikor (Jumat, 29 April 2016), turut bersama-sama dengan Uddy Syaifudin, Santonio dan Samsul Bahri melakukan kegiatan promosi pariwisata (Road Show) Kota Batu ke Kota Balikpapan Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) pada tahun 2014 lalu, yang menelan anggaran sebesar Rp 3,7 M yang bersumber dari APBD Pemkot Batu dan merugikan negara sejumlah Rp 1,3 milliar.

Tidak hanya itu, Majelis Hakim juga menyatakan, bahwa Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Batu, Uddy Syaifudin hanya dikadikan alat oleh Eddy Rumpoko. Kasus yang hampir sama juga terjadi di Kejari Sidoarjo, dalam kasus dugaan Korupsi dana bantuan sosial (bansos) pembelian sapi betina pada tahun 2012 lalu, sebesar Rp 500 juta yang dari APBN lewat Pemprov Jatim, dengan terdakwa anggota Kelompok Tani (Poktan) Tani Bangkit Bersama (TBB) Desa Sarirogo, Sidoarjo, dengan terdakwa Samsul Huda dan Rudi.

Dalam kasus ini, terungkap dalam persidangan yang digelar di ruang sidang Cakra Pengadilan Tipikor, yang diketuai Majelis Hakim HR. Unggul Warso Murti, dengan agenda mendengarkan keterangan Lima orang saksi yang dihadirkan JPU, pada Selasa, 10 Mei 2016. Kelima saksi tersebut yaitu, Bambang Sudarto, Solikin, Romli, Ratna dan Nunig. Kelimanya adalah Staf di Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Sidoarjo.

Keterngan kelima saksi ini dalam persidangan saat JPU mengajukan beberapa pertanyaan, masih terlihat biasa-biasa saja, bahkan ada juga yang membaca. Timbul kecurigaan, sepertinya “ada koordinasi” sebelum persidangan. Sebab, antara pertanyaan JPU dengan jawaban para saksi hanya biasa-biasa saja. Namun, ada yang mengejutkan. Akibat kejelian Ketua Majelis Hakim, yang menyidangkan kasus ini, terungkaplah sebuah “benang hitam” alias saksi yang “disembunyikan” oleh Kejari Sidoarjo. Sebab, nama saksi tersebut tidak tercantum dalam daftar saksi-saksi yang akan dihadirkan oleh JPU dalam persidangan berikutnya.

Nama yang dimaksud adalah, Darno. Ketua Majelis Hakim pun, heran karena nama Daro tidak dijadikan sebagai saksi dan langsung meminta kepada JPU untuk menghadirkan sosok Darno dalam persidangan berikutnya. Bisa jadi, menurut Majelis Hakim, Darno, berperan penting untuk mengungkap kasus korupsi dana bansos untuk pembelian sapi sebesar Rp 500 juta itu. Tidak hanya itu, Ketua Majelis Hakim juga sempat mengingatkan Saksi Bambang Sudarto atas keterangannya yang berbeda dengan keterangannya sebelumnya dengan terdakwa/terpidana Abdul Kodim, selaku Ketua Kelompok Tani (Poktan) Bangkit Bersama.

Dari keterangan saksi-saksi atas pertanyaan Majelis Hakim juga terungkap, bahwa para saksi tidak melakukan tugasnya untuk melakukan pengawasan terhadap ternak sapi yang didanai dari uang rakyat itu. Sehingga, dari jumlah sapi sebanyak 57 ekor yang dibeli dari anggaran sebesar Rp 500 juta, hingga kini habis tanpa “jejak”.
“Berarti saudara tidak melaksanakan tugas anda,” kata Ketua Majelis Hakim.

Terdakwa Samsul Huda dan Rudi, terseret dalam kasus Korupsi dana bantuan sosial (bansos) pembelian sapi betina pada tahun 2012 lalu, sebesar Rp 500 juta yang bersumber dari APBN lewat Pemprov Jatim. Sebab, pada tahun 2012 lalu, Kelompok tani Bangkit Bersama mendapatkan bantuan dari Pemprov Jatim sebenar Rp 500 juta. Dana itu dicairkan lewat rekening Abdul Kodim (terpidana) selaku ketua kelompok tani. Uang sebesar Rp 500 juta, kemudian dibelikan sapi betina sebanyak 57 ekor. Kedua terdakwa selaku anggota Kelompok Tani Bangkit Bersama kebagian beberapa ekor sapi.

Anehnya, sapi yang dibeli dari uang bantuan pemerintah pusat itu, sudah tidak ada lagi. Menurut terdakwa, Ketua Poktan Abdul Kodim, memberikannya 9 ekor sapi tapi yang diterimanya hanya 7 ekor sementara yang dua, diambil Abdul Kodim sendiri. Karena yang 7 ekor tersebut tidak produktif, selanjutnya terdakwa menjual dan membeli 1 ekor sapi yang produktif sebagai pengantinya.

“Kami diberikan 9 ekor Sapi produktif oleh Abdul Kodim. Tapi yang kami terima hanya Tujuh, sedang yang Dua diambil Abdul Kodim. Kalau produktif kan bisa belahirkan, ini nggak. Karena tidak produktif, saya jual terus saya beli gantinya. Sampe sekarang masih ada,” kata terdakwa kepada media ini sebelum persidangan.
Saat ditanya sejumlah sapi bantuan tersebut, terdakwa mengatakan, ada yang mati, ada juga yang dijual dengan kondisi sakit.

“Sapinya ada yang mati, ada yang sakit terus dijual. Uangnya ya sama Abdul Kodim itu,” kata terdakwa kemudian. Kasus dugaan korupsi bansos sapi ini, bermula saat Kejari Sidoarjo menerima laporan dari masyarakat, terkait penyalahgunaan dana bansos pembelian sapi betina pada tahun 2012 lalu, sebesar Rp 500 juta oleh Kelompok TAni Bangkit Bersama.

Dari uang tersebut, Ketua Koptan Bangkit Bersama, membeli 57 ekor sapi, dengan harga Rp 7,5 juta per ekor. Dan sisanya digunakan untuk membuat kadang serta biaya perawatan kandang . kemudian, kasus itu dilaporkan karena ada dugaan pelanggaran yakni, bahwa sapi-sapi tersebut dibagi-bagi kepada anggota Kelompok Tani dan ada juga yang dijual.

Akibat dari perbuatannya, Kedua terdakwa pun dijerat dengan ancaman pidana penjara paling lama 20 tahun sesuai pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 jo pasal 18 UU Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.   (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top