![]() |
Terdakwaa saat membacakan pembelaan di Persidangan |
Surabaya – Berbagai “Penyakit” yang dialami terdakwa Khusunya Kasus Korupsi sudah tidak mengeherankan lagi, sehingga sidangpun kerap kali harus tertunda.
Seperti dialami terdakwa mantan Direktur RSUD Nganjuk, Dr Eko Sidharto, dalam Kasus dugaan korupsi pengadaan barang farmasi RSUD Nganjuk, tahun 2012 lalu, yang merugikan negara senilai Rp 950 juta rupiah.
Terdakwa Dr Eko Sidharto, sedianya akan menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya, dengan agenda pembacaan putusan oleh Ketua Majelis Hakim, Martua Rambe, pada Senin, 13 April 2015 namun harus tertunda hingga tanggal 27 April mendatang.
Pasalanya, terdakwa mantan orang nomor Satu di jajaran RS milik Pemkab Nganjuk itu dikabarkan sakit “Stres” karena mengalami Hipertensi (HTN) hingga 200mmHg (millimeter raksa). Hal itu seperti yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum, Choirul Arifin dari Kejari Nganjuk, usai mengikuti sidang Kasus Korupsi yang sama dengan terdakwa, Lilis Setyorini (perkara terpisah).
“Agenda Hari ini sebenarnya putusan. Tapi sidangnya ditunda tanggal 27 karena terdakwa sakit, ada surat keterangan dokter. Tensi darahnya naik hingga 200,” ujar Choirul. Sementara sidang dengan terdakwa Kasubag perbendaharaan Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk, Lilis Setyorini tetap berlangsung di ruang sidang Cakra, dengan agenda replik dari JPU.
Sidang tersebut dipimpin Ketua Majelis Hakim Martua Rambe. “Kalau begitu, sidang ditunda hingga tanggal 27 dengan agenda pembacaan putusan,” kata Martua, setelah terdakwa menggapi replik JPU secara lisan, bahwa tetap dalam dulplik (pembelaan)-nya.
Terdakwa Dr Eko Sidharto dan Lilis Setyorini, sama-sama dituntut pidana penjara selama 2,6 tahun Dan denda 50 juta. Selain itu, keduanya juga dikenai hukuman tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp 500 juta, untuk terdakwa Dr Eko dan Rp 400 juta, untuk terdakwa Lilis.
JPU mendakwa keduanya dengan dakwaan primer pasal 2 ayat (1) dan dakwaan subsider pasal 3 dan lebih subsider pasal 8 Undang-Undang RI nomor 31 tahun 1999, sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2001, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. Kasus ini berawal dari penyidikan Polisi Polres Nganjuk pada pertengahan 2013 lalu.
Saat itu, penyidik menemukan indikasi adanya menyelewengkan anggaran farmasi, pada RSUD Nganjuk sebesar Rp 950 juta rupiah. Dana sebesar Rp 950 juta tersebut, disiapkan untuk jatah setoran kepada stageholder penting, yang memiliki akses untuk mengatur anggaran daerah.
Namun dalam persidangan, terdakwa enggan untuk membeberkannya. Hal itu dijelaskan pula oleh JPU. JPU Choirul Arifin menjelaskan, terdakwa Eko (Dr Eko Sidharto) tidak mengakuinya.
“Kalau Lilis, ada catatannya bahwa uang itu diminta terdakwa untuk anggota dewan tapi Dr Eko tidak mengakui. Jadi sulit untuk membuktikannya,” ujar Jaksa Choirul, Senin 13 April 2015. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :