0
Gedung Pengadilan Tipikor Surabaya

 Catatan Akhir Tahun 2016

beritakorupsi.co – Kasus Tindak Pidana Korupsi (TPK) di Indonesia Khususnya di Jawa Timur, semakin tahun bukannya semakin berkurang, melainkan “tumbuh pesat”, sekalipun Pemerintah dan berbagai elemen masyarakat getol meneriakkan, tindak tegas para pelaku Koruptor.

Sejak berdirinya Pengadilan Tindak pidana Korupsi (Tipikor) di Jawa Timur, dibawah Pengadilan Negeri (PN) Kelas I-A Khusus Surabaya pada 17 oktober 2010 lalu hingga sekarang atau selama 6 tahun, hampir 1000 perkara Korupsi yang disidangkan di Pengadilan Tipikor yang dilimpahkan oleh 36 Kejaksaan Negeri (Kejari) di Jawa Timur ditambah Satu Kejasaan Tinggi, dan semakin tahun semakin bertambah.

Yang memprihatinkan lagi, dari sekian kasus Korupsi hasil penyidikan Kejaksaan maupun Kepolisian di Jatim, Tiga diantaranya adalah hasil penangkapan langsung atau Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap pelaku Korupsi suap yang dilakukan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan Tim Saber Pungli (Sapu Bersih Pungutan Liar) yang baru beberapa bulan dibentuk oleh Presiden RI, yaitu, mantan Bupati Bangkalan, Pejabat Pelindo III Surabaya dan Jaksa dari Kejati Jatim Ahmat Fauzi, dengan barang bukti berupa uang milliaran rupiah.

Sehingga, kurangnya kerpercayaan masyarakat terhadap Dua lembaga penegak hukum di Jawa Timur yakni, Kejaksaan dan Kepolisian bukan tidak beralasan bahkan masih jauh dari harapan. Tidak hanya itu, kedua lembaga ini masih dianggap tebang pilih untuk menyeret para pelaku Koruptor ke meja hijau Pengadilan untuk diadili diantaranya, kasus Korupsi KUR (Kredit Usaha Rakyat) di Kabupaten Jombang, kasus Korupsi Pariwisata Kota Batu. Bahkan beberapa kasus dugaan Korupsi ada yang di SP3 alias dihentikan.

Memang di Satu sisi, Dua lembaga penegak hukum ini, boleh dibilang berhasil mengungkap ratusan kasus korupsi yang diseret ke Pengadilan Tipikor selama tahun 2016. Tetapi disisi lain, korupsi di Jatim ibarat “pohon anggur yang tumbuh di tanah yang subur, yang potong hanyalah rantingnya”.
Kegagalan penaganan kasus Korupsi di Jatim dapat dilihat dari bertambahnya jumlah perkara Korupsi selama Tiga tahun terakhir sejak 2014 sebanyak 215 perkara, tahun 2015 sebanyak 238 perkara dan tahun 2016 sebanyak 298 perkara

Hal itu seperti yang disampaikan Humas Pengadilan Tipikor, Dr. Lufsiana, saat ditemui di kantornya. Dia menjelaskan, jumlah perkara Korupsi yang masuk ke Pengadilan Tipikor selama tahun 2016 sebanyak 298 dan 80% diantaranya sudah di Vonis. Namun saat ditanya jumlah perkara yang divonis bebas dari 80% perkara yang disidngkan, Hakim yang menggantikan Dr. Gazalba Saleh sebagai Humas di Pengadilan Tipikor ini tak bisa merinci. Alasannya, belum menerima laporan dari bagian Administrasi.

 “Perkara yang masuk hingga tanggal 30 Desember sebanyak 298 perkara. Dan 80% sudah di Vonis, sisanya sedang disidangkan. saya belum menerima laporan dari bagian Administrasi karena ada pergantian pegawai yang pindah ke PN Gresik,” katanya, pada Jumat, 30 Desember 2016.

Selain Lima Perkara Yang Divonis Bebas, Penanganan Masih Teekesan Tebang Pilih Dan Pencegahan Yang Tidak Berjalan

Sementara dari catatan media ini, ada 5 perkara (terdakwa) yang di Vonis bebas selama 2016 diantaranya, Tiga perkara Koruspi Bawaslu Jatim (Ketua Majelis H.R. Unggul Warso Mukti), Perkara Korupsi LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Huta) dari Kejari Banyuwangi (Ketua Majelis, H.R. Unggul Warso Mukti) dan perkara Korupsi pembangunan RSUD Ponorogo.

Menanggapi terkait meningkatnya kasus Korupsi di Jawa Timur, Dosen Fakultas Hukum, Pusat Kajian Anti-Korupsi dan Kebijakan Pidana (CACCP) FH Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Iqbal Felisiano dan Prof. Dr. Frans Limahelu. SH., LLM, Pakar Hukum Pidana, Guru Besar FH Unair,  turut mengomenrainya.

Menurut Iqbal Felisiano, semakin banyak perkara Korupsi yang disidangkan mempunyai 2 (Dua) indikasi; yang pertama, semakin baiknya model penegakan hukum TPK (Tindak Pidana Korupsi.red), sehingga jumlah persidangan perkara korupsi yang diputus semakin banyak. Disisi lain, ini juga menunjukkan sistem pencegahan yang kurang berjalan dengan baik, sehingga perkara Korupsi semakin tinggi tiap tahunnya.

“Indikasi baiknya penegakan hukum juga harus dilihat atau juga linier dengan vonis. Apabila vonisnya semakin lama semakin ringan, artinya ada degradasi nilai yang menganggap Korupsi sepertinya kejahatan biasa. Hal ini bisa jadi kemudian masyarakat semakin lama semakin kebal, dan menganggap korupsi mnjadi hal yang lumrah,” ujar Iqbal.

Saat ditanya mengenai Visi dari UU Korupsi, menurt Dosen FH Unair ini mengatakan, harus dilihat dari pertimbangannya dan sudah diatur dalam Perma (Peraturan Mahkamah Agung) RI, No 1 tahun 2013.

“Kalau Visinya, harus dilihat dari pertimbangannya. Asset recovery diatur tersendiri, ada Perma No. 1 tahun 2013 kalau tidak salah. Kalau melihat Visi dari UU kan, dilihat dari pertimbangan-nya. Tapi yang jelas, di UU TPK, tidak hanya menekankan pada penegakan, tapi juga pencegahan. Ini yang kurang berjalan alias berat sebelah,” pungkasnya.

Lebih lanjut ditanya mengenai penaganan kasus Korupsi yang terkesan masih tebang pilih ditingkat penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan maupun Kepolisian, serta besarnya peluang posisi jabatan dan penghargaan atas banyaknya perkara Korupsi yang ditangani aparat penegak hukum, Dosen FH dari Pusat Kajian Anti-Korupsi dan Kebijakan Pidana (CACCP) FH Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini mengatakan, masih kurang maksimal.

Pengharggaan Bagi Aparat Penegak Hukum, Penaganan Kasus Korupsi Haruslah Maksimal

“Indikasi tebang pilihnya, kalau menurut saya penanganan masih kurang maksimal. Kalau reward atas penegakan hukum yang berkualitas sih, menurut saya fine. Tunggakan perkara masih ada, beberapa perkara di SP3, tersangka mendapatkan penangguhan atau pengalihan penahanan yang berpotensi hilangnya alat bukti, dan banyak perkara yang tidak termonitor,” tegasnya.

Iqbal menambahkan,  Mungkin kedepannya juga perlu didorong upaya pencegahan dan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan Korupsi, baik dengan cara memberikan reward serta fasilitas pendukungnya.

Pelaku Korupsi Yang Ditindak Jangan Hanya Ditingkat Rendah Tetapi Juga Pejabat Diatasnya Yang Terlibat

Sementara menurut Prof. Dr. Frans Limahelu. SH., LLM, Pakar Hukum Pidana, Guru Besar FH Unair mengatakan, pemberantasan Korupsi di Jawa Timur gagal. Guru Besar Fakultas Hukum Univeritas ternama di Surabaya ini pun mengibaratkan istila pohon Mangga dan Bunga Melati. Bahkan juga mengistilakan Ikan teri, ikan bandeng dan ikan Kakap untuk jenis kasus korupsi yang ditangani lembaga penegak hukum itu.

“Dari angka itu, dibagi dulu, berapa yang masuk kakap, berapa yang bandeng dan berapa yang masuk Teri. Sasaranya justru yang Kakap Sama Bandeng, yang Teri lupakan Dulu. Lalu bandingkan dengan kasus tahun 2014 dan 2015, kemajuannya di Kakap atau di Teri. Kalau kemajuannya di Teri sementara kakapnya hanya hitungan jari, nggak ada artinya dong. Kalau begitu, boleh dibilang gagal dalam penanganan Korupsi,” ujarnya.

 “Lihat dulu berapa kasus korupsi yang dari polisi dan berapa dari Jaksa. Dari Polisi kan juga dibawa ke Jaksa kemudian ke Pengadilan Tipikor. Apakah dalam istilah Mangga dan Melati itu, Yang mana yang dibawa ke Tipikor. Apakah Mangga atau melati,” ujarnya.

Prof. Frans menambahkan, banyaknya perkara kasus Korupsi yang ditangani aparat penegak hukum, tidak hanya menerima penghargaan tetapi bisa jadi posisi jabatan pun sudah menunggu.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top