
Diantaranya, pembangunan gedung olah raga Hambalang, yang menyeret Nasaruddin, Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, anggota DRP RI, Pembebasan lahan warga gunung Anyar, Surabaya. Walau P2T (Panitia Pembebasan Tanah) tidak terseret, tetapi menyeret Dua PPKm dan Ketua dan anggota Satgas. Pembebasan lahan untuk lapangan terbang di Banyuwangi, yang menyeret mantan Buati. Proyek KUR dan KUPS Jombang, yang menyeret Kepala Cabang Bank Jatim Jombang. Proyek pengadaan untuk alat pendidikan dengan dana DAK di Kabupaten Ponorogo, yang menyeret Wakil Bupati (sampai saat ini belum sidang), Proyek untuk alat pendidikan dengan dana DAK di Pemkot Probolinggo, yang menyeret mantan Wali Kota.
saat ini, yang sedang disidangkan di pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya adalah, kasus Korupsi pembangunan gedung DPRD Kota Madiun, yang menyeret Agus Sugijanto, PPKm sekaligus sebagai KPA yang menjabata selaku Sekwan DPRD Kota Madiun dan Widi Santoso, PPTK yang menjabat selaku Kasubag Sekwan.
Dalam kasus ini, berbeda dengan kasus-kasus Korupsi sebelumnya. Sebab, pembangunan gedunga Dewan Kota Madiun berujung ke Pengadilan Tipikor bukan dari hasil temuan aparat penegak hokum, atau temuan dari hasil audit BPK RI. Melainkan murni dari laporan salah satu terdakwa yakni, Hedi Karnowo, selaku Direktur PT Aneka Jasa Pembangunan (AJP), yang dipinjam Iwan Suwasana (terdakwa) untuk digunakan sebagai peserta lelang dalam proyek pembangunan gedung Dewan.
Dalam fakta persidangan, ternyata yang mengerjakan proyek adalah Kaiseng dan Moch. Shonhaji (DPO) orang dekat Iwan Suwasana, selaku Staf PT. Parigraha Consultant. Kaiseng memang menerima surat kuasa dari Hedi Karnowo untuk mengerjakan Proyek setelah Kaiseng dikenalkan Iwan Suwasana kepada Hedi. Anehnya, surat kuasa tersebut tidak pernah dipergunakan untuk mengerjakan proyek yang didanai uang rakyat itu.
Kemudian beberapa jenis pekerjaan proyek gedung DPRD Madiun seperti pemasangan keramik, instlasi listrik, plafon dan kusen di sub kontrakan kepada beberapa CV. Yang lebih aneh lagi adalah, surat perjanjian pekerjaan yang ditanda tangani oleh Aditya Nerviadi (Priject Manager) selaku pihak pertama kepada sub kontrak, Didik Putra, selaku pihak kedua serta mengetahui, Iwan Suwasana, menggunakan kop surat PT AJP tanpa sepengetahuan Hedi Karnowo.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa pembayaran jauh lebih besar dari pada progresl pekerjaan yang hanya mencapai 85% ? total dana yang sudah dicairkan kepada pelaksana melalui rekening PT AJP sebesar Rp 23 milliar lebih dari total anggran Rp 29 milliar lebih. Dan dana tersebut selurunya diserahkan oleh Hedi Karnowo kepada Kaiseng dan Sonhaji atas perintah Iwan Suwasana maupun transfer tunai dari rekening PT AJP ke Iwan Suwasana. Hal inilah yang terungkap dari keterangan saksi dalam persidangan pada minggu lalu.
Pada Kamis, 8 Desember 2016, keterangan Tiga orang saksi yang menjelaskan dalam persidangan dihadapan Majelis Hakim yang di Ketua Mateus Samiaji, tidak jauh beda dengan keterangan saksi-saksi sebelumnya. Saksi kali ini yang dihadirkan JPU adalah Samin, Abdul Muis dan Ignatius Indra. Samin yang mengerjakan pekerjaan Mekanical dan elktrikal (instlasi listrik dan AC) menerima pekerjaan dari Sonhaji, dengan nilai kontrak sebesar Rp 650 juta tetapi yang dibayar baru sekitar 515 juta rupiah.
Sementara Abdul Muis, mengerjakan bagian plafon, kusen dan kalpalum, berdasarkan perjanian kontrak kerja yang diterima Abdul Muis dari Sonhaji dan Aditya.pekerjaan dua saksi tadi berbeda dengan Ignatius Indra (Indra). Indra hanya sebagai pelaksana atas perintah Aditya Nerviadi. Dari keterangan ketiga saksi ini di hadapan Majelis Hakim, hampir sama yaitu, bahwa pembayaran logistik termasuk para perja sering mengalami keterlambatan. Sehingga proyek pembangunan gedung belum selasai hingga saat ini.
“Gedungnya belum selesai. Pembayaran sering matrial dan pekrja sering telat” kata saksi dihadapan Majelis Hakim
Sementara terdakwa Hedi Karnowo, menanggapi keterangan saksi Samin, yang mengatakan kalau Hedi Karnowo pernah datang ke proyek. Pada hal, Samin bekerja di proyek tersebut melalui Hedi Karnowo atas permintaan Kaiseng. Yang intinya, Kaiseng meminta bantuan Hedi Karnowo untuk mencarikan orang yang ahli dibidang Mekanical dan elektrikal. Itulah alasan Hedi Karnowo datang ke Proyek bukan mengurusi para pekerja. Sebab, Hedi Karnowo, sudah memberikan kuasa kepada Kaiseng untuk mengerjakan proyek tersbut.
Usai persidangan, Penasehat Hukum terdakwa Hedi Karnowo, DR. Abdul Salam, kepada media ini mengatakan bahwa, Hedi tidak ada urusan dengan pekerja, karena Hedi sudah memberikan kuasa kepada Kaiseng. “Kedatangan Hedi ke Proyek untuk menghantarkan Samin atas permintaan Kaiseng. Kaiseng meminta tolong kepada Hedi, untuk dicarikan orang yang ahli dibidang Mekanical dan elktrikal jadi bukan untuk mengurusin para pekerja,” kata ketua Peradi Surabaya ini.
Awal mula dari Perkara ini.....
Kasus ini bermula saat Hedi Karnowo, selaku Direktur Utama PT AJP yang melaporkannya ke Kejaksaan Tinggi – Jawa Timur. Memang dalam dokumen tersebut bahwa PT AJP adalah pemenang lelang. Namun Direktur PT AJP tidak penah secara langsung berhubungan terkait proyek pembangunan geduang Dewan tersebut. Sebab, dokumen PT AJP pernah dipinjam oleh rekannya sendiri yaitu Iwan Sulaksana.
Dalam dakwaan Jaksan memang disebutkan, proses pelaksanaan proyek pembangunan gedung wakil rakyat Kota Madiun, yang dilaksanakan melalui lelang terbuka (unit layanan pengadaan) dengan nilai HPS sebesar Rp31.780.370.000, yang dibuat oleh PPKm sekaligus selaku KPA. Dalam proses lelang tersebut, pemenang lelang adalah PT Aneka Jasa Pembangunan (AJP) dengan nilai penawaran sebesar Rp 29.300.800.000,-. Kemudian, dukumen kontrak kerja ditandatangani antara Hedi Karnowo, Direktur PT AJP selaku pemenag lelang dengan Agus Sugijanto, selaku KPA, dengan pembayaran uang muka sebesar Rp 5.860.160.000 melalui rekening PT AJP.
Namun dalam pelaksanaannya, ternyata proyek pembangunan gedung dewan tersebut tidak dkerjakan oleh PT AJP selaku pemenang lelang, meliankan oleh Kaiseng dan Moch. Shonhaji, berdasarkan surat kuasa Akte Notaris dengan pengawasan di bawah PT Parigraha Consultant. Tragisnya, pembayaran sudah dicairkan sebesar 90%, sementara pekerjaan baru mencapai 85,095% dengan Volume 4,9% atau sebesar Rp 1.065.000.528,40. Sehingga terjadi selisih sebesar Rp 606.710.261.
Pekerjaan Proyek Pembangunan Gedung DPRD Tidak Selesai Hingga 19 Pebruari 2016, Namun Uang Mengalir Kebarbagai Pihak
Karena pekerjaan proyek tersebut belum selesai hingga akhir tahun (31 Desember 2015), akhirnya Direktur PT AJP memutus perjanjian kerja dengan Kaiseng dan Moch. Shonhaji. Sementara, anggaran yang sudah dicairkan sebesar Rp 23.254.179.457 dari nilai seluruhnya. Pada hal, perpanjangan waktu pekerjaan yang disepakati antara pengguna jasa (KPA) dengan penyedia jasa (PT AJP) sejak tanggal 1 Januari hingga 19 Pebruari 2016, pekerjaan tersebut pun belum juga tuntas. Yang tragisnya lagi, proyek pembangunan gedung DPRD Kota Madiun itu pun berhenti.
Tidak selesainya pekerjaan tersebut karena pengawasan dari Konsultan maupun dari PPTK tidak dilakukan. JPU juga membeberkan aliran dana dari PT AJP ke berbagai pihak diantaranya, Iwan Suwasana sebesar Rp 64.550.000; Samin, Rp 79 juta; Sunardi, Rp 518.587.500; Moch. Shonhaji, Rp 4,8 milliar; PT Parigraha, Rp 106.625.000; Sumanto, Rp 837.595.632 dan pihak lainnya, dengan total seluruhnya sebesar Rp 23.254.179.457,- (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :