0
Surabaya, bk – Apakah Kejari Surabaya dibawah pimpinan Didik Farhat selaku Kepala Kejaksaan dan Roy Rovalino, Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) sengaja “menyicil” para pelaku kasus dugaan Korupsi Prona atau ragu untuk menetapkan pelaku lain sehingga harus menunggu hasil putusan Hakim Tipikor ? Atau memang tersangkanya yang saat ini disidangkan hanya mantan Lurah Dukuh Setro ?

Sebab, dalam persidangan terungkap bahwa, penarikan dana dari masyarakat yang tidak sesua dengan peraturan yang berlaku, dilakukan oleh Ketua RW 3 setelah menerima arahan dari Lurah Dukuh Setro. Alasan penarikan dana dari warga tersebut untuk dipergunakan biaya pengurusan sertifikat dalam program Prona di Kelurahan Dukuh Setro tahun 2013 dan 2014 lalu.

Besarnya dana yang dikenakan ke warga selaku peserta Prona antara Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta, hingga terkumpul sekitar Rp 500 juta. Dana itu pun dibagi-bagi oleh panitia dan pejabat BPN termasuk Lurah selaku terdakwa tunggal.

Padahal, pasal yang menjerat terdakwa Joko Sutrisno selaku Lurah, dalam surat dakwaan JPU tercantum pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sebab, pelaku tindak pidana Korupsi itu dilakukan oleh lebih dari satu orang, berbeda dengan pelaku pencuri sendal.

Pada Selasa, 19 Juli 2016, dalam persidangan yang berlangsung di Ketuai Hakim HR Unggul, dengan agenda pemeriksaan saksi yang dihadirkan JPU Arif Usman Cs dari Kejari Surabaya, terungkap peran Ketua RW 3 dalam penarikan dana untuk pengurusan sertifikat yang didanai dari APBN itu.

Karena keterangan Bambang Sugianto dalam persidangan dihadapan Majelis Hakim yang tidak didukung bukti-bukti. Ketua Majelis Hakim pun memerintahkan JPU untuk mendalami memeriksa Ketua RW 3 itu sebagai “tersangka”. “Dalam dakwaan ada pasal 55, jadi tersangkanya nggak mungkin hanya satu,” ucap Ketua Majelis.

“Saudara Jaksa, dalami ini. Ini pinter ngarang,” perintah Hakim Unggul, ke JPU.
Saksi Bambang Sugianto alias Anto, dihadapan Majelis Hakim mengatakan bahwa, besarnya dana yang ditarik dari warga atas perintah Lurah dan panitia yang lainnya. Pembentukan panitia oleh Lurah sebelum ada sosialisasi.

“Antara Rp 1 juta, prona tahun 2013 dan prona tahun 2014 sebesar Rp 1,5 juta. Kita sampaikan ke warga setelah Lurah menyampaikan. Total yang terkumpul tahun 2013, Rp 245.500.000 rupiah,” jawab saksi.

Saksi Bambang melanjutkan, dana itu dipergunakan untuk membeli materai, patok, pengukuran, biaya transportasi dan pembelian pulla dan blangko.

“Untuk biaya patok Rp 50 ribu untuk 1 patok, materai 6, foto copy Rp 15 ribu, ATK atau alat tulis Rp 15 ribu, pulsa Rp 20 ribu per orang. Itu atas kesepakatan panitia,” jawab saksi Bambang. Ada pembubaran panitia tapi tidak ada pertanggung jawaban.

Saat Ketua majelis Hakim menanyakkan tentang tanda terima penerimaan uang dan laporan pertanggung jawaban, terutama nama-nama wartawan dan LSM yang disebut-sebut menerima aliran dana dari hasil pungli, saksi tak bisa menjawab.

Kasus ini bermula pada tahun 2013 – 2014 lalu. Saat itu, Kelurahan Dukuh Setro, Kecamatan Tambaksari, Pemkot Surabaya, Jawa Timur, mendapat dana Prona dari Pemerintah Pusat (APBN) lewat BPN Kota Surabaya, dalam hal pengurusan sertifikat gratis untuk sebanyak 600 pemohon/bidang.

Dalam pelaksanaan Prona tersebut, pengurusan Sertifikat memang tidak gratis 100% dibaiayai oleh pemerinta. Ada biaya yang harus ditanggung pemohon diantaranya, biaya prangko sebanyak 6 hingga 10 lembar dengan harga satuan, Rp 6000 dikali 600 per pemohon/bidang, pembelian patok sebayak 4 buah dengan harga sekita Rp 15 ribu dikali 600 pemohon/bidang, biaya foto copy.

Dengan alasan inilah, awal mula seseorang Panitia Prona ‘diintai’ oleh Undang-Undang Korupsi, bila salah menyalahgunakan jabatannya termasuk penarikan dana dengan tidak resmi.
Joko Soetrisno, pada tahun 2013 – 2014 menjabat sebagai Kepala Kelurahan Dukuh Setro, Kecamatan Tambaksari, Pemkot Surabaya yang pada saat pelaksanaan program Prona berlangsung.

Program Pemerintah untuk warga tidak mampu di Kelurahan Dukuh Setro itu pun menuai masalah. Sebab, mantan Lurah dukuh Setro ini, dituduhan telah melakukan penarikan biaya dalam pelaksanaan Prona untuk sebanyak 600 pemohon/bidang sertifikat, dengan besaran dana antara Rp 1 sampai Rp 1,5 juta rupiah per pemohon, tanpa ada dasar hukumnya.

Akibatnya, Sutrisno pun, diancam hukuman pidana penjara minimal 1 tahun dan paling lama 5 tahun, seperti yang diatur dan diancam dalam pasal 12 huruf e, atau pasal 11 Undang-undang Korupsi, jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top