Saksi (juga terdakwa) Suhadak, saat ini aktif menjabat Wakil Wali Kota Probolinggo |
Dalam fakta persidangan jilid I maupun jilid II terungkap bahwa, proyek pengadaan Meubler seharusnya dilaksanakan secara swakelola yaitu dikerjakan sendiri oleh si penerima dana DAK yakni masing-masing sekolah selaku Kasa Pengguna Anggaran (KPA). Sementara Kepala Dinas Pendidikan Probolinggo adalah selaku Pengguna Anggaran (PA).
Anehnya, proyek pengadaan yang didanai dari hasil keringat masyarakat lewat APBD itu ternyata melibatkan pihak ketiga yakni beberapa rekanan diantara CV Indah Karya (Direktut Suhadak), CV Jatijaya (Direktur Ahmad Napon Wibowo). Sementara Konsultan Perencanaan terdiri dari, CV Pandan Landung (Direktur Didik), CV Widya Karya (Direktur Hari) dan CV Wiec (Direktur Sugeng Wijaya).
CV Indah Karya selaku suplayer Meubler untuk 27 sekolah berdasarkan surat pemesanan dari pihak sekolah. Setelah sebelumnya ada petunjuk ke masing-masing sekolah dari Dinas Pendidikan. Hal itu seperti yang dijelaskan saksi yang juga terdakwa yakni Suhadak, pada persidangan, Senin, 19 Desember 2016.
Dihadapan Majelis Hakim yang di Ketuai Hakim Mateus Samiaji, saksi yang juga terdakwa saat ini menjabat sebagai Wakil Wali Kota Probolinggo mengatakan bahwa, pelaksanaan pengadaan Meubler bukan secara awakelola meliankan secara langsung atau kes berdasarkan pemesanan dari pihak sekolah. Suhadak mengatakan, bahwa dirinya menerima undangan dari pihak sekolah. Dan orang nomor dua di Pemkot Probolinggo ini juga mengakui, kalau dirinya sudah mengenal terdakwa mantan Wali Kota Probolinngo Buchori, sebelum pelaksanaan proyek.
“Saya menerima undangan dari pihak sekolah. Pembayaran secara tunai. Saya mengenal (terdakwa),” kata Suhadak. Namun pertanyaan anggota Majelis Hakim kepada terdakwa terkait sejauh mana saksi mengenal terdakwa, jawaban saksi tak begitu jelas maksudnya. Apakah disegaja untuk “mengaburkan” sejauh mana saksi Suhadak dengan terdakwa Buchori saling kenal.
Sementara pada persidangan sebelumnya, keterangan 4 orang saksi yang dihadirkan JPU dari Kejari Probolinggo yakni, Subandriyanto, mantan Kepala Sekola SDN Kareng Lor 2; Romlah dan Sumarsi, pensiunan guru serta Subandi, mantan Kepala Sekolah SD Jrebeng Wetan.
Dihadapan Majelis Hakim, penerima DAK ini mengatakan, tidak mengetahui surat perjanjian kontrak antara dirinya selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dengan saksi (terdakwa) selaku rekanan (Direktur CV Indah Karya). Pada hal, tanda tangan saksi tercantum pada dokumen kontrak. Saksi menjelaskan, bahwa dokumen kontrak sudah ada tinggal menanda tangani.
Untuk diketahui, ksus ini bermula pada tahun 2009. Pada saat itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Probolinggo menerima kucuran dana dari pemrintah Pusat yang bersumber dari APBN sebesar Rp 13.587.999.300 ditambah dana pendamping dari Pemkot Probolonggo sebebsar Rp 1.509.777.700. sehingga total dana DAK Pendidikan sebesar Rp 15.907.777.000. Dana tersebut akan digunakan untuk pengadaan Meubler bagi 70 sekolah SD, dengan nilai Rp 1.887.500.000, dan dana sebesar Rp 13.210. 277. 000 akan digunakan untuk perbaikan bangunan gedung sekolah, dengan cara Swakelola berdasarkan Permendiknas Nomor : 3 Tahun 2009 dan Perpres No. 80 Tahun 2003 tentang pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah.
Namun dalam pelaksanaannya, Wali Kota Probolinggo justru menunjuk beberapa rekanan untuk mengerjakan proyek yang di danai dari uang rakyat itu diantaranya, CV Prasetyo (Direktur Rudiono/DPO) untuk 22 sekolah, CV Indah Karya (Direktur Suhadak) untuk 26 sekolah, dan CV Jatijaya (Direktur Ahmad Napon Wibowo) sebayak 22 sekolah. Sementara Konsultan Perencanaan terdiri dari, CV Pandan Landung (Direktur Didik), CV Widya Karya (Direktur Hari) dan CV Wiec (Direktur Sugeng Wijaya).
Sebelum pelaksanaan proyek, diadakan pengarahan atau sosialisai oleh Kepala Dispendik selaku Pejabat Pengguna Anggaran, Maksum Subani, Kabid Pendidikan Dasar Masdar, dan Ketua Dewan Pendidikan Wawan bersama dengan 70 Kepala sekolah SD selaku penerima DAK yang dihadiri oleh Wali Kota Buchori.
Saat itulah Wali Kota Buchori member pengarahan tentang dan DAK. Yang isinya antara lain, untuk memperoleh dana DAK, tidak sekadar bondo abab (hanya bicara), tetapi harus nyenggek (menyodok). Arahan itu kemudian di jelaskan lagi oleh Kadispendik. “ Buntut” dari arahan Wali Kota Buchori, meminta kepada setiap Kepala Sekolah penerima dana DAK untuk menyetorkan 7% dari nilai anggaran yang diperoleh. Namun karena Kepala Dinas Pendidikan keberatan, sehingga turun menjadi 5%. Dan setelah dana DAK cair, 70 Kepala Sekola akhirnya menyetorkan masing-masing 5% dan terkumpulah uang sebesar Rp 750 juta. Uang sebesar Rp 300 juta diserahkan ke Wali Kota Buchori di rumah dinasnya. Hal ini pun terungkap pula dalam surat dakwaan terdakwa Maksum pada persidangan Jilid I. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :