beritakorupsi.co – Penyidik Kejaksaan Tinggi – Jawa Timur (Kejati Jatim), telah menetapakan Delapan orang tersangka dalam kasus dugaan Korupsi proyek pembangunan gedung DPRD Madiun tahun 2015, dengan anggaran yang bersumber dari APBD sebesar Rp 29 milliar.
Dan Enam dari Delapan tersangka tersebut, saat ini sedang diadili di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, karena di tuduh telah melakukan tindak pidana Korupsi (TPK) pembangunan gedung Dewan Kota Madiun, oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaskaan Negeri (Kejari) Madiun dibawah tongkat komando Paris Pasaribu, selaku Kajari (Kepala Kejaksaan Negeri) yang sempat namanya disebut di Persidangan oleh terdakwa dalam kasus Korupsi Embung Madiun, telah menerima aliran dana ratusan juta bersama Wali Kota, Bambang Irianto yang saat ini ditahan penyidik KPK.
Ke Enam orang tersebut daintaranya; Hedi Karnowo, Direktur PT Aneka Jasa Pembangunan (AJP) yang juga sebagai JC (Jastice Collabolator); Agus Sugijanto, PPKm selaku PA (pengguna Anggaran) yang menjabat Sekretaris Dewan (Sekwan); Widi Santoso, PPTK (pejabat pelaksana teknik kegiatan) yang menjabat selaku Kasubag Sekwan; Aditya Nerviadi (Project Manager) PT Aneka Jasa Pembangunan; Iwan Suwasana, wakil Manager PT Parigraha Konsultan yang masih saudara dengan terdakwa Sumanto selaku Direktur Manajemen Kontruksi (MK) PT Parigraha Konsultan dan Moch.
Sementara, Shonaji warga Surabaya dan Kaiseng, warga NTB, Keduanya selaku pelaksana proyek, berdasarkan suarat kuasa dalam Akte Notaris dari Direktur PT AJP, Keduanya masuk dalam daftar pencaharian orang (DPO) Kejaksaan Tinggi – Jawa Timur (Kejati Jatim) karena “dilarikan”, sehingga kasus ini menjadi tidak jelas.
Namun aneh. JPU mendakwa ke Enam terdakwa telah melakukan Tindak Pidana Korupsi yang merugikan keuangan negara dalam proyek pembangunan gedung DPRD Madiun tahun 2015, namun tak jelas berapa kerugian negara.
Sebab, dalam persidangan pada Senin, 30 Januari 2017, JPU menghadirkan ahli namun bukan dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagaimana dalam kasus Korupsi lainnya, melainkan menghadirkan Ahli Teknik Spil dari Politeknik Bandung.
Pada hal, proyek pembangunan gedung DPRD Kota Madiun bukan karena roboh atau mengalami kerusakan, melainkan karena belum selesainya dikerjakan hingga akhir tahun (31 Desember 2015) bahkan hingga penambahan waktu 50 hari (19 Pebruari 2016) baru selesai 85%. Anehnya, mengapa JPU tidak menghadirkan Ahli dari BPK RI atau BPKP Perwakilan Jawa Timur, selaku lembaga negera yang berwenang melakukan penghitugan kerugian negara ?
Ahli Teknik Spil yang dihadirkan JPU dalam persidangan di hadapan Majelis Hakim yang di Ketuai Mateus Samiaji, untuk ke Enam terdakwa yakni, Iskandar, Dosen Politeknik Bandung. Dalam persidangan, Ahli ini menyatakan dengan jelas bahwa Ia, tidak punya kapasitas untuk menghitung kerugian negara.
“Pertanyaan saya, selisi dari 90% ke 85% itu, kalau dinilai dari kontrak itu, berapa nilainya ?,” Tanya JPU yang juga Kasi Pidsus (Kepala Seksi Pidana Khusus) Kejari Madiun kepada Ahli yang dihadirkannya.
“Saya pikir begini. Kalau jumlah nilai uangnya itu bukan domain saya sebetulnya. Saya tidak menghitung kerugian negara tapi volume” jawab Ahli. Walau akhirnya Ahli ini menyebutkan ada selisih dari volume pekerjaan sebesar Rp 1 milliar, namun Ahli Teknik Spil ini tidak menghitung matrial yang belum terpasang.
Namun jawaban Ahli ini mungkin tak sesuai dengan yang “disepakati”, JPU pun kembali mengulang pertanyaan yang sama, pada hal, Ahli yang dihadirkannya ini bukanlah Ahli dari BPKP. Sehingga, Ketua Majelis Hakim mengambil alih pertanyaan JPU kepada Ahli agar lebih jelas.
“Kalau nggak begini aja, progress yang anda hitung berapa,” Tanya Katua Majelis. Kemudian dijawab Ahli, “85,1% sampai terakhir,” jawab Ahli kepada Majelis.
Jawaban Ahli yang mengatakan bukan mengitung kerugian negara karena bukan kapasitansnya, juga disampaikan atas pertanyaan Abdul Ssalam, selaku Penasehat Hukum (PH) terdakwa Hedi Karnowo. Dan Ahli ini pun menjelaskan bahwa spesifikasi pekerjaan sesuai dan layak. Karena Ahli menjawab tidak mengitung kerugian negara, Abdul Salam pun tidak melanjutkan pertanyaannya.
Selain JPU menghadirkan Ahli, terdakwa Hedi Karnowo pun menghadrikan saksi yang meringankan yakni Budi, Ketua Umum LSM WKR (Lembaga Swadaya Masyarakat Wahana Komunikasi Rakyat) Madiun.
Dalam persidangan, Ketua LSM WKR yang pernah mendapat pelatihan dari ICW menjelaskan, beberapa proyek di Madiun banyak yang bermasalah. Proses lelang yang dilakukan melalui internet, panitia lelang di ULP adalah yang paling utama. “Panitia bisa menetukan apa saja,” ucapnya.
Usai persidangan, Abdul Salam yang mendampingi terdakwa Hedi Karnowo menjelaskan kepada Media ini, bahwa tidak perlu dilanjutkan pertanyaan karena Ahli yang dihadirkan JPU bukan dari BPK atau BPKP.
“Ahli yang dihadirkan JPU bukan menghitung kerugian negara karena bukan kapasitasnya. Pada hal kasus ini diseret JPU karena ada kerugian negara. Lalu dimana kerugian negara ? pekerjaan layak dan sesuai dengan speck. Kalau terdakwa diadili karena Korupsi, kan harus ada kerugian kenuangan negara,” ujar Salam.
Sebelum persidangan. JPU yang juga Kasi Pidsus Kejari Madiun ini saat ditemui wartawan media ini terkait Ahli yang dihadirkannya bukan dari BPK RI atau BPKP, termasuk bukti yang ditunjukkan JPU dalam persidangan adalah bukti baru yang tidak pernah ditunjukkan saat penyidikan, mengatakan akan berkordiansi lagi. “Biar terdakwa aja yang menghadirkan untuk meringankan. Kita akan kordinasi lagi. Biasanya, bukti dipenyidikan itu yang ditujukkan dalam persidangan,” jawabnya.
Dalam kasus ini, Hedi Karnowo, Direktur PT AJP, selaku pemenang lelang sekaligus yang melaporkan ke pihak Kejaksaan. Kemudian, penyidik Kejati Jatim menetapkan 8 (Delapan) orang tersangka yaitu; Hedi Karnowo, Direktur PT Aneka Jasa Pembangunan (AJP) yang juga sebagai JC (Jastice Collabolator); Agus Sugijanto, PPKm selaku PA (pengguna Anggaran) yang menjabat Sekretaris Dewan (Sekwan); Widi Santoso, PPTK (pejabat pelaksana teknik kegiatan) yang menjabat selaku Kasubag Sekwan; Aditya Nerviadi (Project Manager) PT Aneka Jasa Pembangunan; Iwan Suwasana, wakil Manager PT Parigraha Konsultan yang masih saudara dengan terdakwa Sumanto selaku Direktur Manajemen Kontruksi (MK) PT Parigraha Konsultan dan Moch. Sementara, Shonaji warga Surabaya dan Kaiseng, warga NTB, Keduanya selaku pelaksana proyek, berdasarkan suarat kuasa dalam Akte Notaris dari Direktur PT AJP, saat ini masuk dalam daftar pencaharian orang (DPO) Kejaksaan Tinggi – Jawa Timur (Kejati Jatim) karena “dilarikan”, untuk “mencari tumbal”.
kepada media ini Hedi Karnowo menuturkan. Kasus ini berawal saat Iwan Suasana atau Iwan, meminjam dokumen PT AJP untuk dipergunakan sebagai peserta lelang dalam proyek pembangunan gedung yang bernilai puluhan milliar itu. Karena Hedi Karnowo sudah mengenal Iwan, walau tidak begitu dekat, sehingga permintaan Iwan pun dipenuhi.
Kemudian, Iwan meperkenalkan Kaiseng dan Sonhaji kepada Hedi Karno sebagai pelaksana proyek yang tidak perlu diragukan dan di kawatirkan. Namun Hedi Karnowo sepertinya “terjebak” dan masuk kedalam “lingkaran hitam”. Begitu mau penandatanganan perjanjian kontrak kerja anatara pemenang lelang dengan PPKm, Hedi Karnowo mengajak Kaiseng ke Notaris untuk membuat suarat kuasa. Namun tak kunjung tercapai hingga akhirnya, Hedi Karnowo terpaksa menandatangani dokuemen kontrak kerja agar tidak di Blaclist oleh PPKm setelah ditentukan sebagai pemenang lelang.
Setelah penandatangan kontrak kerja, barulah Kaiseng bersedia diajak ke Notaris mebuat surat kuasa Khusus yang isinya, memberi kuasa kepada penerima kuasa (Kaiseng) untuk melaksanakan pekerjaan proyek konstruksi pembangunan gedung dewan hingga surat menyurat termasuk pencairan dana. Ternyata surat kuasa yang diterima Kaiseng dari Hedi Karnowo, tidak dipergunakan sebagaimana isi surat kuasa tersebut, melainkan memalsu tandatangan Hedi.
Pelaksanaan proyek ini menjadi masalah karena belum selesai hingga akhir tahun 2015, bahkan pertmabahan waktu pekerjaan selama 50 hari juga tak kunjung selasai. Malahan Satu persatu para bos proyek ini pun akhirnya “diselamatkan” tinggalah Hedi menelan pil pahit karena PT AJP di blacklist oleh PPKm tanggal 19 Pebruari 2016, tanpa memberi waktu tambahan 90 hari berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tahun 2015.
“Dihilangkannya” Kaiseng dan Sonhaji sejak pertengahan Pebruari 2016 setelah , setelah “badai topan” dalam proyek pekerjaan gedung Dewan muali “berhembus”. Dan saat ini Keduanya belum ditemukan keberadaannya entah dimana, sehingg membuat kasus ini menjadi tak “berujung” dan “dimanfaatkan” para terdakwa untuk saling membenarkan diri serta “mencari kambing putih diantara kambing hitam untuk dikorbankan”.
Tak mau menjadi “tumbal ataupun korban”, Hedi Karnowo pun akhirnya melaporkannya ke Kejati Jatim, sekalipun dirinya harus ikut di jebloskan ke dalam penjara sebagai tanggung jawab yang tidak dilepasknnya. Karena dirinya menyadari dokumen lelang tertera tanda tanggannya.
Namun dalam persidangan di hadapan Majleis Hakim, dari mulut terdakwa Iwan Suasana terucap bahwa proyek ini dari ‘Panji’ (Bondan Panji Saputra), salah seorang anggota DPRD Madiun, yang kabarnya adalah adik kandung Wali Kota, Bambang Irianto, tersangka dugaan Korupsi pembangunan pasar besar Madiun.
Nama Bambang Irianto, dalam perkara Korupsi Embung Madiun, dalam persidangan dihadapan Majelis Hakim disebut oleh terdakwa, telah menerima aliran dana sebesar Rp 1 milliar dan anaknya, menerima 2 milliar. (Redaksi)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar
Tulias alamat email :