beritakorupsi.co – Sepintar-pintarnya orang menyembunyikan yang busuk akan tercium juga. Ungkapan peribahasa ini, ibarat kasus perkara dugaan Korupsi pelepasan asset Pemerintah Daerah Jawa Timur pada tahun 2003 yang dikuasi PT Panca Wira Usaha (PT PWU).
Sebab, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi – Jawa Timur (Kejati Jatim), menyeret Dahlan Iskan, selaku mantan Direktur Utama (Dirut) PT PWU, yang juga mantan menteri BUMN bersama mantan General Manager (GM) PT PWU yang juga Ketua Tim Pelepasan, serta mantan Ketua DPRD Surabaya Wisnu Wardhana, untuk diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Oleh JPU, Kedua terdakwa telah dakwa (perkara terpisah) melakukan Tindak Pidana Korupsi penjualan asset daerah Provinsi Jawa Timur yang dikelola oleh PT PWU kepada PT Sempulur pada tahun 2003 lalu, yang terletak di Kabupaten Kediri dan Tulungagung, hingga merugikan keuangan negara sebesar Rp 11 milliar lebih, dan belum memperoleh persetujuan dari DPRD Jatim, berdasarkan Perda Nomor 5 Tahun 1999 tentang penggabungan Lima perusahaan Daerah, pasal 14 yang berbunyi; penjualan asset dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan DPRD,
Sementara terdakwa Dahlan Iskan, melalui PH-nya Prof. Dr. Yusril Iza Mahedra dkk, mengatakan bahwa, asset yang dijual oleh PT PWU, yang terletak di Kabupaten Kediri dan Tulungagung, bukan milik Perusda (Perusahaan Daerah) meliankan milik PT. Sehingga menurutnya, tidak perlu mendapat persetujuan Dewan melainkan persetujuan Direksi atau RUPS dan apa yang dilakukan oleh terdakwa bukan Tindak Pidana Korupsi (TPK).
Bila demikian, Lalu PT PWU milik siapa ? Status hukumnya bagaimana ? Apakah perusahaan daerah yang beralih menjadi status PT hanya tunduk pada Undang-undang PT dan tidak tunduk pada peraturan lainnya ? Lalu bagaimana dengan Perda No 5 tahun 1999, apakah tidak berlaku ?. Hal inilah yang mulai terungkap dalam persidangan, setelah Majelis Hakim menolak Eksepsi (keberatan) terdakwa atas dakwaan JPU dan kemudian JPU pun membuktikan dakwaannya dengan menghadirkan beberapa saksi dan barang/alat bukti dalam persidangan.
Pada sidang pertama, Jumat, 13 Januari 2017, setelah Majelis Hakim menolak Eksepsi (keberatan) terdakwa. Dalam persidangan ini, JPU menghadirkan 4 orang saksi, namun yang hadiri hanya Tiga yakni, Oepojo Sardjono, Direktur Utama PT Sempulur selaku pembeli asset, dan dua mantan kariyawan Notaris Warsiki Poernomowati yaitu Muhammad Ridwan dan Sri Indrawati. Namun Sam Santoso, selaku Direktur PT Sempulur, yang bisa jadi adalah sebagai saksi kunci, tak hadir dalam persidangan.
Dari keterangan ke Tiga saksi ini di persidangan di hadapan Majelis Hakim yang di Ketuai Hakim Tahsin, belum banyak memberikan “cahaya terang” terkait proses pelepasan asset yang duduga merugikan keuangan negara yang dalam hal ini adalah Pemrov. Jatim sebesar Rp 11 milliar lebih. Sebab, ketiga saksi lebih banyak menjawab lupa. Apakah lupa benaran atau memang pura-pura lupa ? Perlu alat penguji kebohongan.
Dalam sidang kedua, Selasa 17 Januari 2017, JPU kembali menghadirkan 5 orang saksi selaku panitia lelang pelepasan asset, diantaranya, M Sulkhan, staf PT PWU; Budi Raharjo, mantan staf keuangan PT PWU dan Emilia Aziz, mantan staf personalia PT PWU yang menjadi Sekretaris Panitia lelang, Johanes Dasikan dan Suhadi.
Dalam fakta persidangan kali ini mulai terungkap. Ternyata, sudah ada pembayaran sebelum penjualan asset di Tulungangung. Pembayaran pada tanggal 3 Juni 2003 sementara pembukaan dokumen lelang baru pada tanggal 18 Juni 2003. Empat perusahaan sebagai peserta lelang, salah satu diantanya adalah PT Sempulur selaku pemenang dengan nilai sebesar Rp 8 milliar. Untuk operasional panitia lelang sebesar Rp 510 juta. Setiap panitia memperoleh honor antara 1 hingga 1,5 juta kecuali Emilia Aziz, selaku Sekretaris Panitia lelang memperoleh honor sebesar Rp 5 juta
Namun, “penyakit” lupa selalu “menghinggapi” para saksi saat JPU maupun Majelis Hakum melontarkan pertanyaan. Para saksi pun menyebut nama Wisnu Wardhana yang lebih berperan. Emilia Aziz menjelaskan kepada Majelis, bahwa dirinya menerima dokumen dari terdakwa Wisnu. sementara menurut terdakwa Wisnu Wardhana saat ditemui media ini dari balik jeruji besi ruang tahanan Pengadilan Tipikor menjelaskan, tidak pernah memberikan dokumen apapun kepada Emilia. “Nanti pada saatnya, saya akan minta di kroscek dipersidangan. Ke Notaris saya juga tidak tahu, pembayarannya pun sya tidak tahu,” kata Wisnu dari balik jeruji besi.
Pada Jumat, 20 Januari 2017, “Kabut” kasus pelepasan asset Pemrov. Jatim yang dikelola PT PWU ini pun semakin terang, saat JPU kembali menghadirikan Enam orang saksi namun hanya Empat yang memenuhi panggilan JPU yakni; Suhardi, mantan Direktur Keuangan PT PWU; Sustri Handayani, Kasir PT PWU; Supratiwi; dan Sugeng Hinarjo (sidang terpisah), bagian administrasi keuangan PT Kuda Laut Emas. Sementara saksi Ir. Sofian Lesmanto termasuk Dr. Sam Santoso, lagi-lagi tak tampak di gedung pengadil orang-orang yang diduga merugikan keuangan negara alias tindak pidana Korupsi ini.
Dalam persidangan inilah “kabut” semakin terang. Keterangan saksi sebelumnya dengan keterangan saksi kali ini ada kesamaan yakni adanya pembayaran sebelum penjualan. Dihadapan Majelis Hakim terungkap, bahwa Derektur Keuangan telah menerima pembayaran berupa BG sebesar Rp 8 milliar apad tanggal 30 Agustus 2003. Pada hal, RUPS tentang persetujuan pelepasan asset baru pada tanggal 3 Sepetember 2003.
Saat JPU maupun Majelis Hakim melontarkan pertanyaan kepada Suhardi, yang sudah 10 tahun menjabat sebagai Direktur Keuangan ini, “penyakit” lupa tak luput dari dirinya. Saat JPU menanyakkan tentang Perda No 5 tahun 1999 tentang 1999 tentang penggabungan Lima perusahaan Daerah, pasal 14 yang berbunyi; penjualan asset dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan DPRD. Suhardi tak bisa menjelaskannya.
Yang mengejutkan adalah, saat anggota Majelis Hakim Dr. Andriano, menanyakkan saksi Suhardi, terkait pembayaran senilai 8 milliar rupiah berupa BG namun dalam dokumen tercantum sebesar Rp 8,250 M. sehingga ada selisih senilai 250 juta. Inilah yang dipertanyakkan anggota Majelis Hakim kepda saksi. “ Bagaimana pertanggungjawabannya dan bagaimana hasil audit yang dilakukan oleh angkutan publik. Kalau ini yang audit BPK, inilah temuan,” tanya Hakim Dr. Andriano. “Bagaimana, apakah angkutan publiknya dijadikan saksi ?,” Tanya Hakim angota ini pada JPU
Tidak hanya itu. JPU juga menanyakkan terkait pengeluarana dana dari PT PWU sebesar 8 juta rupiah untuk pembayaran pajak PBB, pada hal pajak PBB dibayar oleh pembeli. Suhardi hanya menjelaskan seputar adanya hasil RUPS.
“Ini kan sudah PT jadi UU PT. Kalau sudah ada persetujuan RUPS, sudah sah. unsur kehati-hatian kita sudah minta persetujuan DPRD, tapi nggak berani lalu melempar ke Gubernur. Kalau asset itu membebani supaya dijual. DPRD dan Gubernur tidak masuk ke PT. Proses kita lakukan kalau ada RUPS bukan dari Gubernur,” kata Suhardi kepada Majelis.
Anehnya, mantan anak buah terdakwa Dahlan Iskan ini semasa di PT PWU, tidak tau SOP penjualan kecuali hanya mendengar. Jawaban lupa sering terucap dari saksi Suhadi. Yang lebih anehnya lagi, saat Ketua Majelis Hakim menanyakkan tentang pengertian disetuji terkait hasil RUPS sesudah ada pembayaran.
“Apa pengertian saksi tentang disetuji. Apakah disetuji setelah di jual atau disetujui sebelum penjualan ?,” Tanya Ketua Majelis. “Kalau dijual baru disetujui, itu salah,” kata saksi Suhardi tegas. (Redaksi).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar
Tulias alamat email :