Foto dari kanan, terdakwa Buchori, Suhadak dan Sugeng |
Surabaya, bk – Ternyata “penyakit” tiba-tiba saat dipersidangan tidak hanya dialami terakwa kasus perkara Korupsi yaitu, lupa, diam dan nggak ingat, melainkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga punya “penyakit” bawaan yang terkadang “kambuh” di saat situasi dan kondisi (sikon) tak memungkinan.
Seperti yang “dialami” JPU dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Probolinggo, saat persidangan Kasus Korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) Pemerintah Kota (Pemkot) Probolinggo tahun 2009 lalu, untuk pengadaan Meubler, perbaikan ruang kelas, kamar mandi dan WC bagi 70 sekolah SD (Sekolah Dasar), yang menelan anggaran sebesar Rp 15.907.777.000 termasuk dana pendamping dari APBD sebesar Rp 1.509.777.700, yang merugikan keuangan negara sebesarRp 1,6 milliar, ternyata karena tidak dilaksanakan sesuai dengan prosedur.
Pada Senin, 9 Januari 2017, Sidang perkara Korupsi DAK Pendidikan Pemkot Probolinggo yang menyeret mantan Wali Kota Probolinggo, Buchori dan Wakil Wali Kota (aktif) Suhadak serta Sugeng selaku Konsultan, yang seyogyanya pembacaan surat tuntutan akhirnya harus tertunda karena “penyakit” JPU yang belum siap membacakan surat tuntannya.
“Belum siap tuntutan, Majelis,” kata JPU beralasan. Sementara terdakwa Buchori tetap duduk disamping PH-nya tidak duduk di kursi terdakwa.
Ketua Majelis Hakim Mateus Samiaji pun mengingatkan JPU dan mnejelaskan, agar sidang perkara yang dibawanya ke Pengadilan Tipikor selesai sebelum Ketua Majelis Hakim pindah tugas karena sudanh menerima SK tanggal 20 Januari 2017.
“Terakhir tanggal 19 karena tanggal 20 bulan ini, saya sudah menerima SK. Saya tidak tahu apakah ijin untuk memperpanjang waktu hingga perkara ini selesai, harun emnunggu. Jadi tuntutan kita tunda satu minggu tanggal 16 (16 Januari 2017.red). bagi terdakwa maupun PH-nya agar dari sekarang dicicl untuk mebuat pledoinya, ya,” saran Hakim Mateus.
Hasil dari belum siapnya JPU membacakan surat tuntutannya kepada terdakwa Buchori, juga “menular” ke terdakwa Wakil Wali Kota (non Aktif) Suhadak. Namun dalam persidangan dengan terdakwa Suhadak (perkara terpisah) berbeda. Sebab, terdakwa duduk di kursi terdakwa lajimnya persidangan.
Namun sedikit aneh. Menjelang akhir perkara ini selesai, Majelis Hakim justru mengeluarkan “jurus maut” penetapan penahanan bagi terdakwa Suhadak. Penahanannya pun bukan di Rutan (rumah tanahan negara) atau di Lapas (lembaga pemasyarakatan) atau pun tahan rumah, melian hanya tahanan Kota Probolinggo.
“Saudara terdakwa kami tahan selama tiga puluh hari terhitung dari sekarang. Saudara tidak ditahan disana di Rutan atau tahanan rumah, tetapi hanya tahanan Kota. Jadi anda hanya boleh di Kota Probolinggo tidak boleh keluar kecuali saat persidangan. Kalau saudara mau keluar kota, anda harus ijin,” kata Hakim Mateus.
Sekedar mengingat. Tiga terdakwa ini (Buchori, Suhadak dan Sugeng) sempat ditahan beberapaa hari oleh penyidik Kejaksaan Agung RI yang menangani perkara Korupsi DAK Pendidikan Kota Probolinggo mulai dari Jilid I dengan terdakwa Kepala Dinas Pendidikan serta terdakwa lainnya. Namun tak semua terdakwa mengalami nasib baik seperti ketiga terdakwa.
Hanya beberapa hari ditahan lalu dikeluarkan dengan alasan sakit. Dan sejak itu hingga sekarang, status tahanan terdakwa tak jelas. Faktanya, Majelis Hakim baru mengeluarkan surat penanahan Kota terhadap terdakwa pada tanggal 9 Januari 2017. Dan sudah pasti berbeda dengan tersangka/terdakwa yang ditangani oleh KPK, karena tak seorang terdakwa pun bisa mengalami seperti yang dialami terdakwa yang ditangani oleh Kejasaaan. Bila demikian, apakah ada rasa takut bagi pejabat di negeri ini untuk menggerogoti uang rakyat ?
Untuk diketahui, ksus ini bermula pada tahun 2009. Pada saat itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Probolinggo menerima kucuran dana dari pemrintah Pusat yang bersumber dari APBN sebesar Rp 13.587.999.300 ditambah dana pendamping dari Pemkot Probolonggo sebebsar Rp 1.509.777.700. sehingga total dana DAK Pendidikan sebesar Rp 15.907.777.000. Dana tersebut akan digunakan untuk pengadaan Meubler bagi 70 sekolah SD, dengan nilai Rp 1.887.500.000, dan dana sebesar Rp 13.210. 277. 000 akan digunakan untuk perbaikan bangunan gedung sekolah, dengan cara Swakelola berdasarkan Permendiknas Nomor : 3 Tahun 2009 dan Perpres No. 80 Tahun 2003 tentang pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah.
Namun dalam pelaksanaannya, Wali Kota Probolinggo justru menunjuk beberapa rekanan untuk mengerjakan proyek yang di danai dari uang rakyat itu diantaranya, CV Prasetyo (Direktur Rudiono/DPO) untuk 22 sekolah, CV Indah Karya (Direktur Suhadak) untuk 26 sekolah, dan CV Jatijaya (Direktur Ahmad Napon Wibowo) sebayak 22 sekolah. Sementara Konsultan Perencanaan terdiri dari, CV Pandan Landung (Direktur Didik), CV Widya Karya (Direktur Hari) dan CV Wiec (Direktur Sugeng Wijaya).
Sebelum pelaksanaan proyek, diadakan pengarahan atau sosialisai oleh Kepala Dispendik selaku Pejabat Pengguna Anggaran, Maksum Subani, Kabid Pendidikan Dasar Masdar, dan Ketua Dewan Pendidikan Wawan bersama dengan 70 Kepala sekolah SD selaku penerima DAK yang dihadiri oleh Wali Kota Buchori.
Saat itulah Wali Kota Buchori member pengarahan tentang dan DAK. Yang isinya antara lain, untuk memperoleh dana DAK, tidak sekadar bondo abab (hanya bicara), tetapi harus nyenggek (menyodok). Arahan itu kemudian di jelaskan lagi oleh Kadispendik.
“ Buntut” dari arahan Wali Kota Buchori, meminta kepada setiap Kepala Sekolah penerima dana DAK untuk menyetorkan 7% dari nilai anggaran yang diperoleh. Namun karena Kepala Dinas Pendidikan keberatan, sehingga turun menjadi 5%. Dan setelah dana DAK cair, 70 Kepala Sekola akhirnya menyetorkan masing-masing 5% dan terkumpulah uang sebesar Rp 750 juta.
Uang sebesar Rp 300 juta diserahkan ke Wali Kota Buchori di rumah dinasnya. Hal ini pun terungkap pula dalam surat dakwaan terdakwa Maksum pada persidangan Jilid I. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :