Saksi Oepojo Sardjono, Dirut PT Sempulur |
Sebab, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi – Jawa Timue (Kejati Jatim), mendakwa mantan Direktur Utama PT Panca Wira Usaha (Dirut PT PWU) yang juga mantan menteri BUMN Dahlan Iskan dan mantan General Manager (GM) PT PWU yang juga Ketua Tim Pelepasan, serta mantan Ketua DPRD Surabaya Wisnu Wardhana, telah melakukan Tindak Pidana Korupsi pelepasan asset daerah Provinsi Jawa Timur yang dikelola oleh PT PWU pada tahun 2003 lalu, yang terletak di Kabupaten Kediri dan Tulungagung, yang tidak memperoleh persetujuan dari DPRD Jatim, hingga merugikan keuangan negara sebesar Rp 11 milliar lebih.
Sementara terdakwa melalui PH-nya Prof. Dr. Yusril Iza Mahedra dkk, mengatakan bahwa, asset yang dijual oleh terdakwa, yang terletak di Kabupaten Kediri dan Tulungagung, bukan milik Perusda (Perusahaan Daerah) meliankan milik PT. Sehingga menurutnya, tidak perlu mendapat persetujuan Dewan melainkan Direksi dan apa yang dilakukan oleh terdakwa bukan Tindak Pidana Korupsi (TPK).
Bila demikian, apakah PT PWU milik swasta atau milik negara yang dalam hal ini Pemprov Jatim ? Atau apakah harus ada Perda (Peraturan Daerah) atau SK (Surat Keputusan) Gubernur tentang pelepasan asset atau hanya cukup persetujuan Dewan Direksi ataupun pemegang saham di PT PWU ?. Lalu saiapa yang benar ? apakah JPU atau PH terdakwa. Masyarakat ingin mengetahui melalui pembuktian di persidangan dihadapan Majelis Hakim.
Pada Jumat, 13 Januari 2017, untuk yang pertama kalinya dalam kasus ini, setelah Majelis Hakim menolak keberatan (Eksepsi) PH terdakwa, JPU pun ingin membuktikan surat dakwaannya terhadap terdakwa dihadapan Majelis Hakim. Empat orang saksi sebagai “pelaku sejarah” terkait asset di Kabupaten Kediri dan Tungagung pun dihadirkan JPU, namun yang hadir hanya Tiga orang. Sebab, salah satu kunci utama yaitu, Sam Santoso tidak hadir.
Ketiga saksi tersebut adalah, Oepojo Sardjono, Dirut PT Sempulur selaku pembeli asset, dan dua mantan kariyawan Notaris Warsiki Poernomowati yakni Muhammad Ridwan dan Sri Indrawati. Ketiga saksi dibagi menjadi dua sesi. Pertama saksi Oepojo Sardjono dan sidang berikutnya dengan kedua saksi sekaligus.
Saksi Oepojo Sardjono, dihadapan Majelis Hakim, menjelaskan bahwa Ia hanya memiliki saham sebesar 25% di PT Sempulur, sementara sisanya dimiliki Sam Santoso. Sehinga dirinya tidak begitu mengetahui secara jelas proses pembelian asset di Kediri. Tetapi saksi ini menjelaskan secara rinci tentang Akte Notaris di hadapan Majelis Hakim.
“Tanah Kediri seluas 32.439 M tapi kenyataannya 31.650 M. Akte pendirian perusahaan No 204 tanggal 29 Mei 2003. Akte No 5 yaitu jual beli bangunan tanggal 3 Juni senilai 17 millair. Akte No 6 mengenai pelepasan hak atas tanah, pembayaran tanggal 25 Juni 2003 senilai Rp 12 M dalam dua tahap yaitu pertama 9,3 M, jual beli bangunan dan 3,2 M, pelepasan tanah dan 4,5 M, pengosongan. Akte No 39 untuk pembatalan Akte No 5 dan 6 tanggal 10 Juli 2003. Akte No 40, jual beli bangunan senilai 9,3 M tanggal 10 Juli 2003. Akte 41 pelepasan hak atas tanah senilai 3,2 M tanggal 10 Juli 2003. Akte 42 perjanjian pengosongan senilai 4,5 M tanggal 10 Juli 2003,” kata Oepojo Sardjono, secara rinci.
BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah atau Bangunan), lanjut Oepojo, dibayar 16 September 2003 sebesar Rp 485.805.750. PPH dibayar 18 September 2003 sebesar Rp 486.555.750 oleh PT PWU. Bayar tambahan BPHT tanggal 21 Juli 2004 sebesar Rp 138 juta lebih dan PPH tambahan tanggal 8 Juli 2004 dibayar oleh PT PWU. Namun dirinya mengakui bahwa prosesnya tidak diketahui secara jelas.
“Yang tahu adalah Sam Santoso, saya nggak begitu tahu. Saat itu Pak Wisnu memberi dokumen, tapi saya lupa dokumen apa. Yang tahu Sam,” jawab saksi. keterangan saksi ini tak ada bantahan dari terdakwa. Namun, apakah keterangan saksi ini ada yang ditutupi atau memang apa adanya. Sebab, data yang dibacanya mengenai Akete pelepasan hak atas tanah maupun pengosongan, bukan dokumen lama melainkan tulisan tangan yang tergolong baru. Begitu saksi ini selesai memberikan keterangannya dipersidangan, Ia pun langsung istrahat di ruang saksi Prima yang sudah disedian Kejari Surabaya sejak beberapa tahun lalu karena saksi mengalami keram dibagian perutnya. Hal itu seperti yang diungkapkan anak saksi ekpada Media ini saat meninggalkan Pengadilan Tipikor.
Dua saksi berikutnya yaitu, Muhammad Ridwan dan Sri Indrawati. Kedua saksi ini mengakui menanda tangani Akte sebagai saksi. namun tidak diketahui diama saksi menanda tangani Akte tersebut, apakah dikantor Notaris, di rumah atau ditempat lain. “Menanda tangani tapi lupa dimana,” kata saksi. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :