Dr. Solahudin SH., MH |
Hedi Karnomo sudah menyampaikan Nota Pembelaannya pada tanggal 20 Pebruari 2017. Hedi Karnomo membeberkan ihkwal awal yang menyeretnya menajdi pesakitan. Hedi mengatakan, berawal saat Iwan Suasana atau Iwan yang sudah lama Ia kenal. Iwan menemui Hedi Karnomo di kantor AJP dengan maksud meminjam dokumen PT AJP, untuk dipergunakan sebagai peserta lelang dalam proyek pembangunan gedung yang bernilai puluhan milliar itu.
“Ini semua berawal pada bulan April 2015. Saat Iwan Suasana atau Iwan, yang sudah lama saya kenal, datang ke kantor saya, menyampaikan kalau di Madiun ada rencana proyek pembangunan gedung DPRD yang sudah dikondisikan, tetapi dengan syarat yang mengerjakan proyek dilapangan adalah Kaiseng atau Aseng dan Moch. Shonhaji. Yang menurut Iwan bahwa Kaiseng sudah lama dikenal dan anak seorang pengusaha besar yang siap membantu dana. Serta mnejelaskan, kalau PT. Parigraha Konsultan, milik Ir. Soemanto, yang masih saudaranya adalah sebagai pengawas lapangan (MK). Itulah yang membuat saya percaya dan menuruti permintaan Iwan Suasana, dengan member kuasa Direktur kepada Kaiseng dengan tanpa Hak Subtitusi. ” ungkap terdakwa Hedi saat itu.
Dari pembelaannya terdakwa menjelaskan dan mengakui, dari hasil pertemuan tersebut ada kesepakatan antara keduanya, yaitu Kaiseng akan menerima kuasa Direktur dari Hedia yang tak bisa dialihkan ke orang lain. Sebelum menghadap Notaris untuk membuat kuasa Direktur, Hedi Karnomo menandatangani dokumen lelang. Selanjutnya, Hedi menyerahkan semua dokumen PT AJP termasuk User ID beserta Paswordnya, kecuali rekening atas nama AJP. alsannya, agar Hedi tetap dapat mengawasi pajak perusahaan agar tidak ada masalah.
Hedi Karnomo mengakui, setelah ada pengumuman pemenang lelang di Unit Layanan Pengadaan Pemkot Madiun, dimana PT AJP adalah peserta tunggal sekaligus sebagai pemenag, Kaiseng tak kunjung datang menemui Hedi Karnomo untu sama-sama menghadap Notaris membuat kuasa Direktur. Menururt Hedi Karnomo, Dokumen kontrak terpaksa ditandatangani karena sudah hampir melewati batas waktu yang ditentukan oleh Penguna Anggaran (PA). Apa bila tidak ditanda tangani, maka PT AJP akan di Blacklist.
Setelah menandatangani dokumen kontrak, barulah Kaiseng bersedia datang dan diajak menghadap Notaris. Kuasa Direkturpun telah dipegang oleh Kaiseng. Sementara dana yang masuk kereking AJP, seluruhnya diserahkan ke Kaiseng dan Moch. Shonaji untuk pekerjaan proyek pembangunan gedung DPRD Kota Madiun.
Dalam pelaksanaannya, ternyata pekerjaan tersebut tidak dikerjakan oleh Kaiseng dan Shonaji tepat waktu hingga penambahan 50 hari kalender. Karena surat kuasa Direktur yang diterima Kaiseng tidak dipergunakan sesuai isinya. Akibatnya, PT AJB pun di blacklist. Karena tak terima, terdakwa meminta pertanggung jawaban kepada Iwan Suasana sesua janjinya.
Merasa dirinya “dipermainkan dan terjebak dalam lingkaran hitam”, akhirnya Hedi Karnomo langsung menemui Kejaksaan Tinggi - Jawa Timur yang semula hendak ke KPK karena dianggap lebih terbuka dan transparan.
Dalam tuntutan yang dibacakan oleh JPU, Hedi Karnomo di jerat dengan pasal 3 jo pasal 18 UU Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Hedi Karnomo dituntut pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan denda sebesar Rp 75 juta subsidair 4 bulan kurungan. JPU menyatakan, bahwa terdakwa tidak menikmati uang, terdakwa adalah JC dan mendapat perlakukan Khusus.
Tuntutan ini menjadi pertanyaan, karena Hedi Karnomo dinilai merupakan saksi pelaku yang bekerja sama (Justice Collaborator) dalam perkara korupsi ini, dan Dia tidak menikmati uang negara sepeserpun. Selama ini Hedi juga dinilai kooperatif selama dalam pemeriksaan oleh pihak Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan telah mendapatkan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK).
Sebagai seorang Justice Collaborator, Hedi Karnomo dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK). Namun apakah Hakim dapat memberikan putusan yang berpihak pada Justice Collaborator ?. Apalagi adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu (SEMA 4/2011), memandatkan hal tersebut.
Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU PSK secara jelas menyebutkan: (1) Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. (2) Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Hedi Karnomo dapat memperoleh putusan yang meringankan dirinya sebagai Justice Collaborator
Dalam angka 9 huruf c SEMA Nomor 4 tahun 2011, yang berbunyi, “…atas bantuannya tersebut, maka terhadap saksi pelaku yang bekerja sama sebagaimana dimaksud di atas, Hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan penjatuhan pidana sebagai berikut: (I) menjatuhkan pidana percobaan bersyarat Khusus dan/ atau (II) menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara dimaksud.”
Perlindungan bagi Justice Collaborator perlu dilakukan demi mengungkap pelaku utama perkara korupsi. Hal ini dapat pula membantu aparat penegak hukum untuk mengungkapk perkara korupsi lain dengan jaminan yang pasti dan nyata bukan hanya sekedar istilah Justice Collaborator.
Anehnya, terdakwa Hedi Karnomo sepertinya tidak akan mendapatkan haknya sebagai JC melainkan hukuman penjara yang akan didapatkannya. Hal itu dapat diperhatikan selama dalam proses hukum. Sebab, Majelis Hakim menanyakkan tanggung jawabnya sebagai Direktur PT AJP. pada hal, Hedi Karnomo sedang diadili atau berstatus terdakwa. Begitu juga dengan JPU. Dalam persidangan, JPU tidak menghadirkan Ahli yang terdapat dalam BAP juga tidak menghadirkan ahli dari BPKP ataupun dari BPK RI untu menghitung adanya kerugian negara. Yang lebih aneh lagi, JPU justru menunjukkan bukti baru dalam persidangan yang tidak pernah ditunjukkan saat di penyidikan. Belum lagi saat menjelang tunutan, Kasi Pidsus justru menghubungi istri terdakwa agar mengirim “hitung-hitungan” dalam persidangan. Namun oleh istri terdakwa tidak memenuhinya.
Menanggapi JC (Justice Collaborator) dalam kasus perkara Korupsi, pakar hukum pidana yang juga dosen paska sarjana Universitas Bhayangkara (Ubara), Dr. Solahudin SH., MH mengatakan, seorang JC dapat divonis dengan hukuman percobaan. Hal itu disampaikannya saat ditemui wartawan media ini di Pengadilan Tipikor, pada Kamis, 24 Pebruari 2017.
“JC ini kan mirip dengan pengakuan, mengaku terlebih dahulu kepada penyidik. Jadi kalau anda mengaku, akan saya tuntut ringan, ini ada di negara lain diantaranya Amerika yang model persidangannya seperti juri. Kalau negara kita kan Kontinental dari Belanda, karena kita dijajah Belanda jadi hukumnya Kontinental. Tapi dalam perkembangan hukum, sebenarnya praktek-praktek hokum kita ini tidak lagi murni hokum Kontinental, sudah ada campuran-campuran,” ujarnya.
Terkait “gelar” JC bagi terdakwa Hedi Karnomo, yang dalam persidangan terungkap bahwa Ia menandatangani dokumen kontrak namun tidak meneriam aliran dana karena semua dana diserahkan kepada orang yang menerima Kuasa Direktur yaitu Kaiseng.
Menanggapi itu, Dr. Solahudin SH., MH menjelaskan, seorang JC boleh dihukum percobaan dan itu sah-sah saja. “Saya pernah menulis itu di media. Jadi kalau Hakim ingin memutus tidak lebih dari satu tahun, boleh diputus percobaan. Jadi kalau SEMA itu hanya mempertegas, memperjelas dari doktrin-doktrin ilmu hokum pidana, ada itu di KUHP. Bahwa kalau Hakim tidak bermaksud atau hendak menghukum terdakwa tidak lebih dari satu tahun, itu bisa menjatuhkan pidana percobaan. Dalam KUHP, cob abaca dalam pasal 14 KUHP ada itu diatur dan Hakim tidak salah,” tegasnya. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :