0
Foto dari kiri, Giono, Zulkan, Kuncoro, Sugiharto dan Toni
beritakorupsi.co – Penilaian masyarakat tentang kasus dugaan Korupsi pelepasan asset daerah Pemerintah Provinsi Jawa Timur pada tahun 2003 lalu, oleh PT Panca Wira Usaha (PT PWU), dengan terdakwa mantan Direktur Utama (Dirut PT PWU), Dahla Iskan, yang juga mantan menteri BUMN ini,  bukan kasus Korupsi melainkan perdata, karena bukan milik  Perusahaan Daerah (Perusda), melainkan milik PT (Perseroan Terbatas).

Sehingga, berbagai tudingan miring dari berbagai elemen masyarakat di Indonesia Khususnya di Jawa Timur,  ditujukan ke Kejaksaan Tinggi – Jawa Timur, yang dipimpin Maruli Hutagalung selaku Kajati (Kepala Kejaksaan Tinggi) Jatim.

Sementara dalam fakta persidangan, dari bukti maupun keterangan beberapa saksi yang dihadirkan Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejati Jatim, terungkap bahwa PT PWU adalah penggabungan dari 5 Perusahaan daerah milik pemerintah Pemprov Jatim. Termasuk asset yang dijual oleh PT PWU yang terletak di Kabupaten Kediri dan Tulungagung, berstatus PD (Perusahaan Daerah).

Pada persidangan minggu lalu, Jumat, 20 Januari 2017, “kabut” dalam kasus pelepasan asset Pemrov. Jatim yang dikelola PT PWU di Kediri ini pun mulai “terang”, saat JPU kembali menghadirikan Empat dari Enam orang saksi. sebab Dua saksi kunci yakni Ir. Sofian Lesmanto dan  saksi kunci Sam Santoso, tidak tampak di gedung pengadil orang-orang yang diduga merugikan keuangan negara alias Korupsi.


Ke Empat saksi dalam persidangan yang memenuhi panggilan JPU adalah selaku panitia lelang yaitu; Suhardi, mantan Direktur Keuangan PT PWU; Sustri Handayani, Kasir PT PWU; Supratiwi; dan Sugeng Hinarjo (sidang terpisah) bagian administrasi keuangan PT Kuda Laut Emas

Keterangan saksi dalam persidangan tanggal 17 Januari 2017 dengan keterangan saksi tanggal 20 Januari 2017 ada kesamaan yakni, adanya pembayaran sebelum penjualan. Dihadapan Majelis Hakim terungkap, bahwa Derektur Keuangan PT PWU telah menerima pembayaran berupa BG sebesar Rp 8 milliar pada tanggal 30 Agustus 2003. Pada hal, RUPS tentang persetujuan pelepasan asset baru dilaksanakan pada tanggal 3 Sepetember 2003.

Yang mengejutkan saat itu adalah, saat anggota Majelis Hakim Dr. Andriano, menanyakkan saksi Suhardi, terkait pembayaran senilai 8 milliar rupiah berupa BG, namun dalam dokumen tercantum sebesar Rp 8,250 milliar. Sehingga ada selisih senilai 250 juta. Inilah yang dipertanyakkan anggota Majelis Hakim kepda saksi.

“Bagaimana pertanggungjawabannya dan bagaimana hasil audit yang dilakukan oleh akutan publik. Kalau ini yang audit BPK, inilah temuan,” tanya Hakim Dr. Andriano. “Bagaimana, apakah akutan publiknya dijadikan saksi ?,” Tanya Hakim angota ini pada JPU

Tidak hanya itu. JPU juga menanyakkan terkait pengeluarana dana sebesar Rp 510 juta untuk untuk panitia, namun panitia hanya menerima antara 1 hingga 1,5 juta kecuali Sekeretaris Panitia lelang menerima 5 juta juga pengeluaran sebesar Rp 8 juta untuk pembayaran pajak PBB. Pada hal JPU menyebutkan, pajak PBB dibayar oleh pembeli. Suhardi pun tak tahu mengenai SOP penjualan asset kecuali hanya mendengarnya.

Yang lebih anehnya lagi, saat Ketua Majelis Hakim menanyakkan tentang pengertian disetujui terkait hasil RUPS sesudah ada pembayaran. “Apa pengertian saksi tentang disetuji. Apakah disetuji setelah di bayar atau disetujui sebelum penjualan ?,” Tanya Ketua Majelis. “Kalau dijual baru disetujui, itu salah,” kata saksi Suhardi, saat itu.

Pada Jumat, 03 Pebruari 2017, JPU kembali menghadirkan 5 (Lima) orang saksi diantaranya, Sugiono, dari Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Tulungagung; Zulkan, dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Tulungagung; Kuncoro (Lurah), Sugiharto (Sekretaris Lurah) dan Toni (Lurah).

Dari keterangan saksi Sugiono dan Zulkan, dihadapan Majelis hakim terungkap bahwa, penjulan asset di Tulungagung berstatus Perusahaan Daerah (PD) dan penjualan jauh lebih murah dari harga Nilai Jual Opjek Pajak (NJOP) yaitu sebesar Rp 4.750.000.000 sementara NJOP senilai 9.657.640.000.

Kepada Majelis Hakim, saksi Zulkan menjelaskan, bahwa status asset di Tulungagung adalah Perusahaan Daerah (PD) yang dialihkan ke PT Sempulur pada tanggal 11 Agustus 2004. “Status tanah di Jalan Hasanuddin, Tulungagung pada tahun 2003 atas nama PD Sarana Bangunan Provinsi Jawa Timur. Tahun 2004 di alihkan ke PT Sempulur, tanggal 11 Agustus 2004. Luas 24.590 M3 ada bangunan Kremik dengan SHGB. Akte jual beli atas nama PT Sempulur. Berita acara RUPSLB 3 September 2003 menyetujui pelepasan. Didaftarkan di Notaris di Surabaya pada tanggal 21 Nopember 2004,” kata saksi mnejelaskan.

“Penjualan harga tanah dan bangunan sebesar Rp 4.750.000.000. NJOP per meter 335.000. NJOP keseluruhan 9.657.640 Akte 635,” kata saksi

Sementara saksi Sugiono mejelaskan, Dinas pendapatan daerah Kabupaten Tulungagung, memiliki data dari Aplikasi Sismiop (Sistim Informasi Pajak) bahwa asset di Tulungagung atas nama wajib pajak PT Panca Wira Usaha.

“Nama Wajib Pajak, PT Panca Wira Usaha, alamat Wajib Pajak, Jalan Hasanuddin. Luas bumi 590 dengan NJOP tahun 2002, 243.000 ribu. Total NJOP 5.975.310.000. untuk luas bangunan 11.694 dengan NJOP per meter 235.000. total NJOP 2.631.150.000. total NJOP secara keseluruhan adalah 8.606.520.000 untuk SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) tahun 2002. SPPT tahun 2003, luas bumi 24.590 NJOP per meter 28510 total 7.008.150.000. Luas bumi 11.694. NJOP bumi per meter 264 ribu. Total 3.087.216.000. Total NJOP 10.095.366.000. Tahun 2004, PT Panca Wira Usaha luas bumi 24.590 NJOP per meter 335 ribu. NJOP bumi, total 8.237.650 ribu. Luas bangunani dalam data kami mengalami penurunan tinggal 3.310. NJOP bangunan per meter 429.000, total 1.419.990.000. Total NJOP 9.657.640.000. Wajib Pajak atas nama PT Panca Wira Usaha. Tahun 2005, PT Panca Wira Usaha, luas bumi 24.590 NJOP per meter 454.000. total NJOP bumi 11.409.750.000. Luas bangunan 3.310 NJOP bangunan per meter 429.000. Total NJOP bangunan 1.419.990.000. Total NJOP bumi dan bangunan 12.829.750.000 wajib pajak atas nama PT Panca Wira Usaha,” ungkap saksi sesuai data yang dipegangnya.

Saksi Sugiono menjelaskan bahwa, wajib pajak baru berubah pada tahun 2006. “Atas nama PT Sempulur Abdi Mandiri dengan nilai NJOP nya, ini sudah dipecah ada dua. SPPT induk luasnya tinggal 20.295, bangunan kosong. Total NJOP bumi 9.400.176.000. kami dapat dari data aplikasi sismiop (sistim informasi pajak),” ujar saksi.

Dari keterangan saksi-saki bahwa, “lahirnya” PT PWU dalah penggabungan dari 5 perusahaan Daerah (Perusda) menjadi Satu, berdasarkan Perda Nomor 5 Tahun 1999 tentang penggabungan Lima perusahaan Daerah, dan dalam pasal 14 yang berbunyi; penjualan asset dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan DPRD.

Bila demikian, bagaimana status hukum kepemilikan PT PWU, apakah penggabungan Lima perusahaan daerah menjadi Satu dengan berstatus PT, hanya tunduk pada Undang-undang PT dan tidak tunduk pada peraturan lainnya ? Apakah Perda No 5 tahun 1999, sudah tidak berlaku karena sudah beralih status menjadi PT ? Atau apakah Pemerintah Provinsi - Jawa Timur sudah tidak punya hak di PT PWU ? sehingga penjualan dibawah harga NJOP tidak menyalahi aturan dan yidak merugikan keuangan negara ?.

Usia persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Trimo, dari Kejati Jatim menjelaskan, bahwa penjualan aseet terjadi kesalahan prosedur. Menurut JPU Trimo, karena nilai jualnya di bawah NJOP.

"Berdasarkan ketentuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), harusnya nilai jualnya minimal sama atau di atas NJOP. PWU bukan sekadar menjual tanah, tetapi juga gedung termasuk sejumlah alat pabrik yang masih bisa digunakan,” ujar JPU Trimo.

Trimo menambahkan, untuk membuktikan bahwa penjulan asset yang di lakukan oleh PT PWU, akan menghadirkan Ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Jawa Timur.   (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top