0
beritakorupsi.co – Beberapa kasus dugaan Korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan dan kemudian di sidangkan di Pengadilan Tipikor Surabaya, hasil penghitungan kerugian negara tidak melibatkan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)  RI atau pun

Diantaranya, kasus perkara Korupsi proyek pembangunan gedung DPRD Kota Madiun pada tahun 2015 lalu, yang menelan anggaran sebesar Rp 29 milliar, namun hingga saat ini gedung Dewan itu tak kunjung selesai, karena pelaksana proyek yakni Kaiseng dan Shonaji “dilarikan”, sehingga kasus tersebut tetap “diselimuti kabut”   dan keduanya pun masuk dalam Daftar Pencaharian Orang (DPO) Kejaksaan Tinggi – Jawa Timur.

Dalam kasus ini, JPU dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Madiun, dalam surat dakwaannya pada saat awal persidangan menyatakan, bahwa ada kerugian keuangan negara sebesar Rp 1 milliar lebih, namun bukan hasil penghitungan atau audit dari BPKP Perwakilan Jawa Timur apa lagi hasil penghitungan BPK RI, melainkan hasil penghitungan Volume pekarjaan oleh Tim Teknik Spil dari Politekni Bandung. Hal itu seperti yang terungkap dalam persidangan pada Senin, 30 Januari 2017.

Sementara, Ahli hukum tata Negara yang juga Guru Besar di Faklutas Hukum Universitas Airlangga Surabaya (FH Unair) dan FH. Universitas Trisakti Jakarta, Prof. Dr. Philipus Mandiri Hadjon, S.H menyatakan, dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan.

Hal itu dijelaskan Prof. Dr. Philipus, dalam pesidangan di Pengadilan Tipikor Surabaya, sebagai Ahli dalam perkara Korupsi proyek pembangunan gedung DPRD Kota Madiun tahun 2015, yang dihadirkan oleh terdakwa Hedi Karnowo, pada Kamis, 2 Pebruari 2017

Kepada Majelis Hakim yang di Ketua Mateus Samiaji, , Prof. Dr. Philipus Mandiri Hadjon, S.H menjelaskan bahwa hal itu diatur dalam UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara.

“Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan negara. Hal itu diatur dalam Pasal 3 Undang Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara,” kata Ahli hukum tata nrgara ini sembari menyerahkan lembaran kepada Majelis.

Lebih lanjut Guru Besar FH Universitas Trisakti ini menjelaskan, laporan hasil penghitiungan (LHP) yang dilakukan lembaga lain, wajib diserahkan ke BPK.

“LHP yang dilakukan oleh BPK tidak dapat dijadikan sengketa di Pengadilan, tetapi harus diingat, Pengadilan juga tidak boleh menolak. LPH yang dilakukan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan Undang-undangan, wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan,” lanjut Prof. Philpus, menjawab pertanyaan Abdul Salam selaku Penasehat Hukum (PH) terdakwa.

PH terdakwa Hedi Karnowo, Abdul Salam, menanyakkan hal tersebut kepada Ahli hukum tata negra ini, terkait hasil penghitungan kerugian negara yang dikatakan JPU namun menurut Ahli Teknik Spil.

Dalam UU RI No. 15 Tahun 2004 tentang Pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara ; Pasal 2 ayat (1). Pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara; ayat (2).  BPK melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung  jawab keuangan negara.

Dalam pasal 3 ayat (1).  Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undangundang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan ayat (2) Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan undangundang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan.

Sementara dalam perkara Korupsi proyek gedung DPRD Kota Madiun, JPU tidak melibatkan BPK RI maupun BPKP Jawa Timur. Lalu bagaimana JPU menyatakan adanya kerugian negara sebesar Rp 1 milliar lebih kasus ini ? Bagaimana pula keabsahan dari hasil penghitungan Volume pekerjaan yang dilakukan Tim Teknis Spil dari Politeknik Bandung ?

Sementara pertanyaan JPU kepada Ahli, terkait surat kuasa Khusus berdasarkan Akta Notaris, yang diberikan terdakwa Hedi Karnowo, selaku Direktur PT AJP kepada tersangka Kaiseng, selaku pelaksana pekerjaan. Dalam surat kuasa tersebut meliputi pelaksanaan pekerjaan hingga selesai, melakukan surat menyurat, menghadiri rapat, melakukan pembayaran buruh hingga pencairan. Dan apa bila tejadi perbuatan yang melanggar hukum, menjadi tanggung jawab penerima kuasa. Sebab pekerjaan tersebut bukan sub kontrak melainkan pinjam bendera atau dokumen PT milik Hedi Karnowo.

Menjawab pertanyaan JPU tersbut, Prof. Dr. Philipus menjelaskan, perbuatan melawan hokum adalah tanggung jawab penerima kuasa. “Kesalahan surat kuasa adalah tanggung jawab pimpinan, kalau ada perbuatan melawan hukum dari pekerjaan, itu menjadi tanggung jawa penerima kuasa,” tegas Prof. Philipus.

Setelah mendengarkan penjelasan Ahli hukum tata negara, kemudian dilanjutkan  dengan agenda pemeriksaan terdakwa. Kepada terdakwa, JPU menanyakkan bukti asli penggunaan uang sebesar Rp 606 juta, yang dicairkan oleh pengguna Anggaran (PA) kerekening PT AJP. sebab, dalam dakwaan JPU, terdakwa dituduh menikmati uang dari hasil proyek tersebut sebesar Rp 606 juta. Sementara menurut terdakwa, uang sebesar itu dugunakan untuk proyek pembangunan gedung Dewan setelah Kaiseng dan Shonaji melarikan diri karena tidak bisa menyelesaikan pekerjaan.

Namun oleh terdakwa, bukti asli penggunaan uang sebesar Rp 606 juta diserhkan kepada Majelis Hakim. Justru terdakwa sendiri mengalami kerugian sebesar Rp 80 juta termasuk membayar gaji buruh yang ditinggalkan Kaiseng dan Shonaji.

“Ada bukti asli. Uang 606 juta saya pergunakan untuk proyek termasuk membayar gaji buruh, justru saya mengalami kerugian sebesar Delapan puluh juta rupiah (Rp 80 juta). 2,5% yang dijanjikan Kaiseng , belum saya saya terima. 128 juta yang saya cairkan kepada Aditya atas perintah Kaiseng termasuk pencairan kepada yang lain, itu atas perintah Kaiseng dan Shonaji,” jawab Hedi Karnowo.

Sementara menjawab pertanyaan anggota Majelis Hakim Mochammad Mahin, terkait pernyataan Hedi Karnowo mengenai proyek tersebut sepertinya sudah diatur. Hedi Karnowo menjelaskan, bahwa terlalu mudahnya proses lelang yang hanya 1 (Satu) peserta dan pencairan uang muka sebesar 20% setelah penanda tanganan kontrak.

Pada sidang sebelumnya, hal yang sama juga terucap dari terdakwa Iwan Suasana. Dihadapan Majelis Hakim, terdakwa Iwan mengatakan bahwa proyek tersebut dari Panji (Bondan Panji Saputra), anggota DPRD Madiun yang juga adik kandung tersangka Wali Kota Bambang Irianto.

Namun anehnya, mengapa penyidik Kejati Jatim atau JPU Kejari Madiun tidak menghadirkan Panji dalm persidangan ? sebab pernyataan terdakwa Iwan dalam persidangan bisa jadi terucap saat dirinya diperiksa sebagai tersangka.

Namun tak heran. Bila dikaitkan dengan kasus Korupsi proyek pembangunan Embung (waduk) di Kelurahan Pilangbango, Kecamatan Kartoharjo Kota Madiun tahun 2014 lau dengan anggaran sebesar Rp 19 milliar. Dalam kasus ini, Kejari Madiun hanya menyeret 2 orang terdakwa yakni PPKm dan Konsultannya. Pada hal, proyek ini mengalami kerusakan.

Namun dalam persidangan dihadapan Majelis Hakim (Senin 7 Maret 2016), salah satu terdakwa membeberkan adanya pertemuan Kajari Madiun, Kasi Pidsus dan Wali Kota Bambang Irianto dan beberapa orang lainnya di Lt 20 Hotel JW Mariot Surabaya, setelah kasus proyek pembangunan Embung mencuat ke publik.

Tidak hanya itu. Terdakwa juga menyebutkan bahwa adanya aliran dana sebesar Rp 2 M kepada Boni, anak Wali Kota sebelum proyek di lelang. Dan aliran dana kepada Wali Kota sebesar Rp 1 M, Kajari Paris Pasaribu, sebesar Rp 500 juta, Kasi Pidsus, Kusuma Jaya Bulo, Rp 350 juta dan perbaikan rumah dinas Kejaksaan di Jln Abdul Rahman Saleh, Madiun sebesar Rp 150 juta. Menurut terdakwa, Andik Sulaksono sebelumnya sudah pernah memberikan uang kepada Kejaksaan Madiun untuk biaya operasional sebesar Rp 250 juta.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top