0
Agus Sugijanto, PPKm selaku PA (pengguna Anggaran) yang menjabat Sekretaris Dewan (Sekwan)
beritakorupsi.co – Pada Senin, 13 Peburuari 2017, setelah menunggu sejak pkl. 10.00 wib, JPU baru bacakan surat tuntutan terhadap Enam terdakwa sekitar pkl. 18.00 wib, namun kasus perkara Korupsi proyek pembangunan gedung Dewan Kota Madiun tahun 2015, yang menghabiskan anggaran sebesar Rp 29 milliar itu, “tetaplah berkabut”

Sebab, Dua dari Delapan tersangka/terdakwa yakni Keiseng dan Shonaji, hingga saat tidak diketahui rimbanya. Ada dugaan, hilangnya kedua orang tersebut, agar kasus proyek pembangunan gedung Dewan yang belum selesai itu, yang diduga melibatkan salah satu anggota DPRD Madiun yakni, Panji (Bondan Panji Saputra) yang juga adik kandung tersangka Korupsi pembangunan Pasar Besar Wali Kota Madiun, Bambang Irianto, tidak terungkap yang sebenarnya.

Akibatnya, hilangnya “biang kerok” itu dimanfaatkan oleh terdakwa lainnya untuk saling membenarkan diri, serta mencari “kambing putih” untuk dikorbankan demi menyelamatkan “kambing hitam”

Fakta Dalam Persidangan

Dan kasus ini pun terkesan tidak transparan dalam persidangan. Sebab, JPU tidak melibatkan  team audit dari BPKP apa lagi BPK RI untuk menghitung besarnya kerugian negara dari akibat tidak selesainya proyek pembangunan gedung Dewan, justru melibatkan Team Teknik Spil dari Politeknik Bandung.

Tidak hanya itu. Salah satu bukti yang ditunjukkan JPU dalam persidangan adalah bukti baru yang tidak pernah ditunjukkan saat penyidikan. Lalu, dari mana bukti baru itu diperoleh ? mengapa saat penyidikan tidak ditunjukkan ?

Anehnya,  salah satu saksi Ahli yang sudah di sumpah dan tercantum  dalam BAP saat di penyidikan yakni, Dr. Immanuel, tidak dihadirkan oleh JPU. Sehingga Majelis Hakim mengatakan kepada Penasehat Hukum salah satu terdakwa Sumanto saat itu, tidak akan dipertimbangkan dalam putusan. Lalu, ada apa JPU tiba-tiba memunculkan bukti baru dalam persidangan serta serta tidak menghadirikan Ahli dalam BAP ? Apakah penyidik tidak mengeluarkan anggaran untuk menghadirikan Ahli tersebut walau hanya bensin Satu liter ?

Sementara ke Enam terdakwa yang sudah dituntut pidana penjara itu diantaranya; Agus Sugijanto, PPKm selaku PA (pengguna Anggaran) yang menjabat Sekretaris Dewan (Sekwan); Widi Santoso, PPTK (pejabat pelaksana teknik kegiatan) yang menjabat Kasubag Sekwan; Aditya Nerviadi (Project Manager) PT Aneka Jasa Pembangunan; Iwan Suasana (Iwan), Wakil Manager PT Parigraha Konsultan yang masih saudara dengan terdakwa Sumanto, Direktur Manajemen Kontruksi (MK) PT Parigraha Konsultan dan Hedi Karnowo, Direktur PT Aneka Jasa Pembangunan (AJP) yang juga sebagai JC (Jastice Collabolator) yang mendapat perlindungan dari LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).

Tuntutan JPU Dengan Fakta Persidangan……….

Dalam surat tuntutannya, JPU Swarbawa (Kasi Pidsus) Kejari Madiun menyatakan, ke Enam terdakwa (perkara masing-masing terpisah) terbukti menyalahgunakan jabatan dan kewenagan yang melekat pada dirinya, menguntungkan diri sendiri, orang lain maupun korporasi, sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 3 junckto pasal 18 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi junckto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Untuk terdakwa Agus Sugijanto, JPU menyatakan, bahwa terdakwa tidak melaksanakan tugasnya selaku PPKm dalam pembangunan gedung DPRD Madiun. Mencairkan anggaran sebesar 90% pada hal pekerjaan baru mencapai 85%.

“Menuntut pidana penjara terhadap terdakwa Agus Sugijanto, dengan pidana penjara selama Dua  tahun dikurangi selama terdakwa dalam tahanan, membayar denda sebesar Rp 100 juta subsidair Empat bulan kurungan,” ucap JPU Swarbawa.

Dalam sidang berikutnya dengan terdakwa Widi Santoso, dituntut pidana penjara selama 1 (Satu) tahun dan Sepuluh bulan dikurangi masa tahanan, membayar denda sebesar Rp 50 juta subsidair 3 bulan kurungan.

Dan tuntutan JPU untuk terdakwa Aditya, Iwan Suasana (Iwan) dan Sumanto, dituntut pidana penjara masing-masing 2 tahun denda masing-masing sebesar Rp 100 juta subsidair 4 bulan kurungan. Terkait uang sebesar Rp 128.550.000 yang diterima Aditya dan uang sebesar Rp 312.596.000 yang diterima Sumanto, dijadikan sebagai barang bukti. Dan uang sebesar Rp 24.382.684,40 sen dibebankan kepada Kasieng dan Shonaji.

Menurut JPU, terdakwa Aditya Nerviadi (Project Manager) membuat progress dan menandatangani laporan pekerjaan sebesar 90% pada hal kenyataannya baru mencapai 85%, namun JPU tidak menyebutkan terkait uang yang diterima terdakwa sebesar Rp 300 juta. Dan terdakwa Sumanto selaku Direktur Manajemen Kontruksi (MK) PT Parigraha Konsultan, tidak melaksanakan pengawasan pembangunan gedung DPRD Madiun. Laporan pekerjaan yang dibuat mencapai 90% pada hal baru mencapai 80% dan menerima uang sebagai pembayaran hutang yang dipinjamkannya kepada Kaseng sebesar Rp 525 juta dan ditagih kepada Hedi Karnomo dan kemudian dibayar sebesar Rp 837.959.632. Pada hal, dalam persidangan, uang tersebut di transfer Hedi Karnowo atas perintah Keiseng.

Serta untuk terdakwa Iwan Suasana, JPU menyatakan bahwa terdakwa dianggap sebagai perantara antara Keiseng dan Hedi Karnowo, sehingga Hedi Karnowo bersedia meminjamkan dokumen PT AJP untuk diikutkan sebagai peserta lelang dan dinyatakan sebagai pemenaang tunggal.

Sementara untuk terdakwa Hedi Karnowo, Direktur PT Aneka Jasa Pembangunan (AJP) yang juga sebagai JC (Jastice Collabolator) yang mendapat perlindungan dari LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), dituntut pidana penjara selama 1,5 tahun denda sebesar Rp 75 juta subsidair 4 bulan kurungan.

Dalam tuntutannya, JPU juga menyebutkan bahwa terdakwa adalah sebagai JC (Jastice Collabolator) dan harus diperlakukan secara Khusus (Surat Edaran Mahkamah Agung RI) No 4 tahun 2011 serta tercantum dalam pasal 37 Konvensi PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) tahun 20030. Namun JPU menuntut terdakwa dengan pidana penjara yang sama dengan para terdakwa lainnya.

JPU menyatakan bahwa, terdakwa ini (Hedi Karnomo) dianggap bekerjasama dengan Keiseng dan Shonaji dengan perantaraan Iwan Suasana meminjamkan dokumen PT AJP untuk mengikuti lelang pembangunan gedung DPRD Madiun dengan memberikan surat kuasa Khusus. Uang pencairan dari termin I hingga VII yang masuk kerekening PT AJP sebesar 23 milliar lebih, di transfer ke Iwan Suasana sebesar Rp 128.550.000, Sumanto Rp 837.959.632, kepada Keiseng, kurang lebih Rp 16 milliar dan Shonaji, kurang lebih 13 milliar dan Aditya, sebesar Rp 300 juta.
Menurut JPU, kerugian negara sebesar Rp 624.382.684,40 sen dibebankan kepada Keiseng dan Shonaji.


Menanggapi Tuntutan JPU tersebut, para Penasehat Hukum terdakwa mengatakan usai persidangan akan menyampaikan pembelaan pada persidangan. Sementara terdakwa Hedi Karnomo mempertanyakan tuntutan JPU yang mengatakan bahwa kerugian terdakwa sebesar 80 juta tidak dapat dibuktikan sehingga tidak dipertimbangkan Jaksa.

“Saya sudah tunjukkan semua bukti-bukti termasuk uang yang 606 juta, saya pergunakan untuk pekerjaan proyek setelah Keiseng dan Shonaji tidak ada. Pekerja ditinggal dan tidak dibayar termasuk bahan matrial. Semua bukti-bukti aslinya ada termasuk pencairan uang ke Iwan, Sumanto, Keiseng dan Shonaji. Lalu bukti mana lagi yang dimaksud ?,” Tanya terdakwa.

Kasus Yang Berawal Dari……….

Menurt Hedi Karnomo dalam persidangan mengatakan, Saat Iwan Suasana atau Iwan, meminjam dokumen PT AJP untuk dipergunakan sebagai peserta lelang dalam proyek pembangunan gedung yang bernilai puluhan milliar itu. Karena Hedi Karnowo sudah mengenal Iwan, walau tidak begitu dekat, sehingga permintaan Iwan pun dipenuhi.

Kemudian, Iwan meperkenalkan Kaiseng dan Sonhaji kepada Hedi Karno sebagai pelaksana proyek yang tidak perlu diragukan dan di kawatirkan. Namun Hedi Karnowo sepertinya “terjebak” dan masuk kedalam “lingkaran hitam”. Begitu mau penandatanganan perjanjian kontrak kerja anatara pemenang lelang dengan PPKm, Hedi Karnowo mengajak Kaiseng ke Notaris untuk membuat suarat kuasa, namun tak kunjung tercapai hingga akhirnya, Hedi Karnowo menandatangani dokuemen kontrak kerja agar tidak di Blaclist oleh PPKm.

Setelah penandatangan kontrak kerja, barulah Kaiseng bersedia diajak ke Notaris mebuat surat kuasa Khusus yang isinya, memberi kuasa kepada penerima kuasa (Kaiseng) untuk melaksanakan pekerjaan proyek konstruksi pembangunan gedung dewan hingga surat menyurat termasuk pencairan dana. Ternyata surat kuasa yang diterima Kaiseng dari Hedi Karnowo, tidak dipergunakan sebagaimana isi surat kuasa tersebut, melainkan memalsu tandatangan Hedi.

Pelaksanaan proyek ini menjadi masalah karena belum selesai hingga akhir tahun 2015, bahkan pertmabahan waktu pekerjaan selama 50 hari juga tak kunjung selasai. Malahan Satu persatu para bos proyek ini pun akhirnya “diselamatkan” tinggalah Hedi menelan pil pahit karena PT AJP di blacklist oleh PPKm tanggal 19 Pebruari 2016, tanpa memberi waktu tambahan 90 hari berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tahun 2015.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top