0
beritakorupsi.co – Sejak berlakunya UU Nomor 20 Tahun 2001 atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dari ribuan tersangka/terdakwa yang disidangkan di Pengadilan Tipikor, bisa jadi sudah puluhan bahkan ratusan diantaranya telah menjadi JC (Justice Collabolator)

Beberapa orang diatanya yang menjadi JC yakni, Rosalinda Manullang (Kasus Korupsi Hambalang) dan 6 orang lagi dalam kasus Korusp DAK Pendidikan Kabupaten Ponorogo yang menyeret Wakil Bupati. Pemberian JC kepada mereka setelah adanya penyidikan dan mereka pun diberi hukuman lebih ringan dari terdakwa lainnya.

Namun yang menjadi JC sebelum ada penyelidikan maupun penyidikan, sepertinya baru ada satu orang di Jawa Timur atau mungkin di Indonesia. Pemberian JC kepada seseorang dalam kasus tindak pidana (Whistleblower) adalah berdasarkan Surat Edara Mahkamah Agung (SEMA) RI No 4 tahun 2011. Adanya SEMA No 4 tahun 2011 ini pun bisa jadi berdasar atas pasal 3 Konvensi PBB Anti Korupsi (Unitet Nations Convention Against Corruption) tahun 2003. Hingga Indonesia memperingati Hari Anti Korupsi se-Dunia setiap tanggal 9 Desember.

Makna JC inilah yang disebutkan terdakwa Hedi Karnomo dalam surat pembelaannya di hadapan Majelis Hakim yang diketuai Mateus Samiaji, dengan agenda Pledoi (Pembelaan) terdakwa dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor, Jalan Raya Juanda, Sidoarjo, pada Senin, 20 Pebruari 2017.

Hedi Karnowo, adalah Direktur PT Aneka Jasa Pembangunan (AJP) dan salah satu dari 6 terdakwa yang juga sebagai JC (Jastice Collabolator) yang mendapat perlindungan dari LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) dalam kasus dugaan Korupsi proyek pembangunan gedung Dewan Kota Madiun tahun 2015, yang menghabiskan anggaran sebesar Rp 29 milliar. dalam kasus ini, dirinya dituntut pidana penjara selama 1,5 tahun. JPU menyebutkan bahwa terdakwa tidak menikmati uang, terdakwa menjadi JC dan mendapat perlakuan Khusus.

“Walau dalam kasus ini saya sebagai JC (Justice Collabolator) berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agun (MA) RI No 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collabolators) di dalam perkara tindak pidana tertentu dan pasal 3 Konvensi PBB Anti Korupsi (Unitet Nations Convention Against Corruption) tahun 2003. Namun dalam fakta persidangan, saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan surat Tuntutannya, ternyata saya disamakan dengan terdakwa lainnya yang dengan jelas-jelas dipaparkan oleh JPU perbuatan para terdakwa, yang dengan jelas tidak melaksanakan tugasnya masing-masing dan membuat laporan yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan,” kata terdakwa dalam pembelaannya.

“Karena saya tidak berniat jahat dalam pekerjaan proyek milik Dewan itu, itulah sebabnya saya memberikan kuasa Direktur kepada Kaiseng melalui Akte Notaris, agar mengerjakannya sesuai dengan prosedur yang ada. Namun saya tidak menyerahkan rekening PT Aneka Jasa Pembangunan dengan alasan, agar saya tetap dapat memantau pajak atas nama perusahaan agar tidak ada masalah dikemudian hari. Namun saya sadari dan akui, bahwa dalam dokumen lelang dan dokumen kontrak kerja adalah tanda tangan saya, namun sekali lagi saya sampaikan kepada Yang Mulai Majelis Hakim, saya tidak berniat jahat dalam pelaksanaan pekerjaan proyek tersebut,” lanjut terdakwa.

Terdakwa Hedi Karnomo menyebutkan, “Setelah terjadi masalah dalam pelaksanaan pekerjaan di lapangan, disitulah saya baru menyadari, kalau saya masuk dalam lingkaran hitam yang hendak dikubur hidup-hidup. Itulah sebabnya, dengan kesadaran saya, kasus ini langsung saya laporkan ke Kejaksaan Tinggi – Jawa Timur, sekali pun saya harus dijadikan sebagai tersangka dan telah menjadi terdakwa saat ini,” ungkap terdakwa.

Dan 5 (Lima) terdakwa lainnya diantaranya; Agus Sugijanto, PPKm selaku PA (Pengguna Anggaran, dituntut 2 thn penjara) yang menjabat Sekretaris Dewan (Sekwan); Widi Santoso, PPTK (pejabat pelaksana teknik kegiatan) yang menjabat Kasubag Sekwan, dituntut 1 thn 10 bulan; Aditya Nerviadi (Project Manager, dituntut 2 thn) PT Aneka Jasa Pembangunan; Iwan Suasana (Iwan, dituntut 2 thn), Wakil Manager PT Parigraha Konsultan yang masih saudara dengan terdakwa Sumanto, Direktur Manajemen Kontruksi (MK) PT Parigraha Konsultan, dituntut 2 tahun penjara. JPU menyebutkan bahwa para terdakwa ini tidak melaksanakan tugasnya dan membuat laporan progress dan hasil pekerjaan yang tidak sesuai fakta dilapangan. Dalam laporan disebutkan bahwa pekerjaan sudah mencapai 95% sementara fakta baru mencapai 85% dan pencairan mencapai 95%.

Sementara 2 orang lagi yaitu selaku pelaku utama, Kaiseng dan Moch. Shoanji, tak jelas statusnya. Sebab dalam persidangan, JPU tidak menyebut istilah tersangka apa lagi keduanya dikabrkan masuk dalam daftar pencaharian orang (DPO) Kejaksaan Tinggi – Jawa Timur (Kejati Jatim), namun saat hendak diminta nomor registernya oleh terdakwa, Kejati Jatim tak bersedia memberitahukannya.

Dalam pembelaannya, dihadapan Majelis Hakim, Hedi Karnomo membeberkan ihkwal awal yang menyeretnya menajdi pesakitan. Hedi mengatakan, berawal saat Iwan Suasana atau Iwan, datang ke kantor untuk menemunya dan meminjam dokumen PT AJP, untuk dipergunakan sebagai peserta lelang dalam proyek pembangunan gedung yang bernilai puluhan milliar itu.

“Ini semua berawal pada bulan April 2015. Saat Iwan Suasana atau Iwan, yang sudah lama saya kenal, datang ke kantor saya, menyampaikan kalau di Madiun ada rencana proyek pembangunan gedung DPRD yang sudah dikondisikan, tetapi dengan syarat yang mengerjakan proyek dilapangan adalah Kaiseng atau Aseng dan Moch. Shonhaji. Yang menurut Iwan bahwa Kaiseng sudah lama dikenal dan anak seorang pengusaha besar yang siap membantu dana. Serta mnejelaskan, kalau PT. Parigraha Konsultan, milik Ir. Soemanto, yang masih saudaranya adalah sebagai pengawas lapangan (MK). Itulah yang membuat saya percaya dan menuruti permintaan Iwan Suasana, dengan member kuasa Direktur kepada Kaiseng dengan tanpa Hak Subtitusi. ” ungkap terdakwa

Dari pembelaan terdakwa jelas menyebutkan, dalam pelaksanaannya, ternyata pekerjaan tersebut tidak dikerjakan oleh Kaiseng dan Shonaji tepat waktu hingga penambahan 50 hari kalender. Karena surat kuasa Direktur yang diterima Kaiseng tidak dipergunakan sesuai isinya. Akibatnya, PT AJB di blacklist. Karena tak terima, terdakwa meminta pertanggung jawaban kepada Iwan Suasana termasuk menggugat PPK di PN Madiun.


Fakta Dalam Persidangan

Kasus ini pun terkesan tidak transparan dalam persidangan. Sebab, JPU tidak melibatkan  team audit dari BPKP maupun BPK RI untuk menghitung besarnya kerugian negara dari akibat tidak selesainya proyek pembangunan gedung Dewan itu, JPU justru melibatkan Team Teknik Spil dari Politeknik Bandung untuk menghitungnya.

Tidak hanya itu. Salah satu bukti yang ditunjukkan JPU dalam persidangan adalah bukti baru yang tidak pernah ditunjukkan saat penyidikan. Lalu, dari mana bukti baru itu diperoleh ? mengapa saat penyidikan tidak ditunjukkan ?

Anehnya,  saksi Ahli yang sudah di sumpah dan tercantum  dalam BAP saat di penyidikan tidak dihadirkan oleh JPU. Lalu, mengapa JPU tiba-tiba memunculkan bukti baru dalam persidangan serta serta tidak menghadirikan Ahli dalam BAP ? Apakah penyidik tidak mengeluarkan anggaran untuk menghadirikan Ahli tersebut walau hanya bensin Satu liter ?

Beberapa hari menjelang tuntutan, mengapa Kasi Pidsus Kejari Madiun, menghubungi istri terdakwa Hedi Karnomo lewat telepon, meminta agar dikirimkan hitung-hitungan ?  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top