beritakorupsi.co – Dua terdakwa dalam perkara Korupsi pelepasan asset daerah Provinsi Jawa Jatimur (Pemrov Jatim) yang dikelola oleh PT Panca Wira Usaha (PT PWU) pada tahun 2003 lalu, yang merugikan negara sebesar Rp 1 milliar lebih, akan ditentukan besok (hari ini) dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Kelas I Khusus Surabaya, yang akan digelar pada Jumat, 7 April 2017
Kedua terdakwa yakni, Wishnu Wardhana (WW), mantan Kepala Biro (Kabiro) Asset yang merangkap Kepala Unit Usaha serta Ketua Tim penjualan asset yang dikelola oleh PT PWU, serta mantan Ketua DPRD Surabaya, akan ditentukan “nasibnya” dalam peridangan dengan agenda pembacaan surat Putusan oleh Majelis Hakim yang di Ketuai Hakim Tahsin. SH., MH.
Sementara, terdakwa Dahlan Iskan (DI), selaku mantan Direktur Utama (Dirut PT PWU) yang juga mantan Wartwan senior, mantan Dirut PT PLN, mantan menteri BUMN, Kandidat Calon Presiden (Capres) tahun 2014 dari Partai Demokrat, Bos Jawa Pos Group, salah satu media harian daerah yang terkenal dan “diatkuti” di Jawa Timur serta tokoh Pers nasional ini, akan menghadapi “ancaman” tuntutan pidana penjara dari Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi – Jawa Timur (Kejati Jatim).
“Ia, yang satu putusan yaitu terdakwa WW (Wishnu Wardhana) dan DI (Dahlan Iskan) tuntutan,” kata salah seorang anggota Tim JPU saat ditemui di Pengadilan Tipikor, Kamis, 6 April 2017.
Dalam perkara ini, terdakwa Wishnu Wardhana, dijerat dalam pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 Undang-Undang Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana dan dituntut pidana penjara selama 5 (Lima) tahun denda sebesar Rp 750 juta subsidair 6 bulan kurunga.
Terdakwa mantan Ketua DPRD Surabaya ini juga di tuntut pidana tambahan berupa, membayar kerugian negara sebesar Rp 2.689.284.899. Dan apa bila dalam waktu Satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, terdakwa tidak membayar, maka harta bendanya akan dirampas untuk negara. Apa bila harta benda terdakwa tidak mencukupi, maka diganti dengan pidana penjara selama dua tahun. Sehingga, lamanya terdakwa menjalani hukuman penjara dalam tuntutan JPU adalah selama 7 tahun dan 6 bulan.
Lalu, bagaimana dengan terdakwa Dahlan Iskan ? Apakah ancaman tuntutan pidana penjara yang akan dibacakan oleh Tim JPU dalam persidangan, sama dengan terdakwa Wishnu Wadhana ?
Dalam persidangan sebelumnya dengan agenda pembacaan surat tuntutan, JPU menyatakan bahwa, pelepasan asset milik Pemerintah Provinsi (Pemrov) Jatim, yang dibentuk berdasarkan Perda Nomor 5 tahun 1999 tentang penggabungan Lima Perusahaan Daerah (Perusda), yang dalam pasal 14 disebutkan, pelepasan aseet dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari DPRD Jatim, tidak sesuai prosedur.
JPU juga membeberkan dalam surat tuntutannya bahwa, dalam fakta persidangan, terdakwa Wishnu Wardhana selaku ketua Tim penjualan asset telah menerima pembayaran pada tanggal 30 Agustus 2003, berupa 4 lembar BG (Bilyet Giro) sebesar Rp 8.750.000.000 untuk tanah dan bangunan yang terletak di Tulungagung dan 17 milliar rupiah untuk pembayaran tanah dan bangunan yang terletak di Kediri, dari Upoyo Sarjono, selaku Direktur Utama (Dirut) PT Sempulur Adi Mandiri (PT SAM) dan Sam Santoso (Direktur PT SAM), dan uang tersebut kemudian disetorkan ke Bendahara PT PWU.
Pada hal, pembukaan lelang dan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB), baru dilakukan sekitar September 2003. Sementara proses lelang tidak pernah dilakukan, dan tidak pernah diumumkan di media masa nasional berbahasa Indonesia. Administrasi dibuat agar pelepasan asset tersebut seakan-akan sesuai prosedur.
Tidak hanya itu, JPU juga mengungkapkan berdasarkan fakta dipersidangan, bahwa pelepasan asset daerah yang terletak di Tulungagung dan Kediri tidak melibatkan lembaga hukum unutk menentukan harga, sehingga mengakibatkan terjadi kerugian keungan negara sekitar Rp 11 M lebih.
Sementara dalam persidangan minggu lalu dengan agenda pemeriksaan terdakwa Dahlan Iskan, terungkap bahwa, Notarislah yang datang menghadap terdakwa ke kantornya di Grahapena atau yang lebih dikenal dengan kantor Jawa Pos di Jalan Ahmat Yani, Surabaya dengan membawa beberapa dokumen berupa Akte, yang kemudian ditandatangani terdakwa.
Timbul pertanyaannyaan. Dalam pembuatan Akte, apakah prosedur yang benar, Notarisnya yang datang meghadap para pihak dengan membawa Akte yang tinggal menanndatangani, atau para pihak yang datang menghadap Notaris di kantornya untuk membuat Akte yang diperlukan ?
Tidak hanya itu. JPU juga mempertanyakkan kepada terdakwa Dahlan Iskan, terkait Ante Nomor 5 dan Nomo 6 dan sudah ada pembayaran dan kemudian muncul kembali Akte Nomor 39 yang isinya, membatalkan Akte Nomor 5 dan 6. Namun terdakwa tidak dapat menjelaskannya.
“Penyakit” lupa memang sering “menghinggapi” para terdakwa Korupsi maupun saksi saat dipersidangan di hadapan Majelis Hakim, tak terkecuali dalam perkara Korupsi PT PWU. Apakah lupa benaran atau memang sekedar lupa ? tidak ada yang tau pasti.
Sepertinya, Presiden RI Ir. Joko Widodo, melalui Mahkamah Agung RI, perlu menyediakan alat uji kebohongan, agar perkara sidang Korupsi lebih jelas dan transparan untuk diketahui oleh masyarakat. (Redaksi)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar
Tulias alamat email :