0
beritakorupsi.co – Berakit-rakit kehulu, berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Peribahasa ini sepertinya tidak berlaku bagi Bambang Irianto, yang menjabat sebagai Wali Kota Madiun, untuk dua periosde sejak 2009 – 2014 dan 2014 – 2019.

Pasalnya, Bambang Irianto, saat ini menyandang “gelar” yang tak pernah di harapakannya yakni sebagai terdakwa dan sedang diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negri (PN) Surabaya, dalam kasus perkara Tindak pidana Korupsi (TPK) Gratifikasi pembangunan Pasar Besar Madiun (PBM) tahun 2009 – 2012 yang menelan anggaran APBD sebesar 76,523 milliar.

Pada Selasa, 11 April 2017, Bambang Irianto, duduk di kursi pesakitan Pengadilan Tipikor Surabaya, yang didampingi Penasehat Hukum (PH)-nya Indra P, Y.sihaloho,  J. Raharjo Bambang, Ridwan, Agung Nugroho, Andreas Doni dan A. Ubagio, untuk mendengarkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Fitroh Rohcahyanto, TrimulyonoHendradi, Herry B.S. Ratna Putra, Feby Dwiyandospendy, N.N. Gina Saraswati, Joko Hermawan, Alandika Putra dan Dormian, membacakan surat dakwaan atas perbuatan dirinya, sejak menjabat sebagai Wali Kota sejak 2009 hingga 2016 sebelum masa jabatannya berakhir pada 2019.

Dihadapan Majelis Hakim, JPU KPK membacakan surat dakwaan. Dalam surat dakwaan tersebut, di beberkan  perbuatan terdakwa sejak menjabat menajadi Wali Kota pada saat pembagunan Pasar Besar Madiun tagun 2009 hingga 2012 lalu, yang menelan anggaran sebesar 76,523 milliar.

“Pembangunan proyek Pasar Besar Madiun pada tahun 2009, terdakwa mengikutkan perusahaannya untuk pengadaan matrial dan memberikan uangnya sebagai modal. Terdakwa memperoleh keuntungan dari proyek pembangunan Pasar Besar Madiun sebesar Rp 1,9 milliar dan 5% dari total anggaran proyek setelah selesai pekerjaan,” ucap JPU KPK.

Tidak hanya itu. JPU KPK juga membeberkan penerimaan uang oleh terdakwa dari hampir seluruh instansi yang di jajaran Pemkot termasuk dari DPRD dan sejumlah pengusaha kontraktor, yang jumlah keseluruhan sebesar Rp 59,7 milliar. Hal itu, menurut JPU KPK, bertentangan dengan pertauran Pemerintah yang bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme

Uang tersebut, menurut JPU KPK, dipegunakan terdakwa untuk membeli mobil, rumah, tanah, emas batangan, saham di Bank Jatim dan sebahagian dipergunakan untuk hal yang lain yang tidak berhubungan dengan jabatannya sebesar Rp 5 milliar.

Akibatnya, terdakwa dijerat dengan pasal 12 huruf i atau pasal 12 huruf B  Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

Selain itu. Terdakwa juga dijerat dengan UU TPPU. “Perbuatan terdakwa diancam sebagaimana diatur dalam pasal 3 Undang-Undang No 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo pasal 65 ayat (1) KUHPidana,” ucap JPU KPK.

Atas dakwaan JPU KPK, penasehat Hukum (PH) terdakwa tidak mengahukan Eksepsi (Keberatan). “Majelsis Hakim, walau kami keberatan atas beberapa surat dakwaan JPU, kami tidak akan mengajukan Eksepsi. Dan akan kami sampaikan dalam Pledoi (Pembelaan) kami nanti,” ujar PH terdakwa.

JPU KPK akan menghadirikan sebanyak 105 saksi dan 3 ahli dari total saksi yang diperiksa sebanyak 405 dan 5 ahli.

Uasi persdangan, JPU KPK Feby Dwiyandospendy, menjelaskan tentang perbuatan terdakwa sejak menjabat Wali Kota Madiun.

“Selama menjabat Wali Kota Madiun sejak 2009-2016, terdakwa telah menerima uang gratifikasi yang jumlahnya Rp 55,5 miliar. Duit itu kemudian dialihkan menjadi kendaraan, rumah, tanah, uang tunai, emas batangan, dan saham atas nama sendiri, keluarga, atau korporasi. Jadi dia total menerima Rp 59,7 miliar. Ada uang sebesar Rp 5 milliar yang dipergunakan tidak berkaitan dengan jabatannya," kata JPU KPK Feby.

Saat wartawan media ini menanyakkan, apakah mantan pejabat Forpinda (Forum Pimpinan Daerah di Madiun akan dihadirkan jadi saksi. Feby tak langsung menjawab. “Itu nanti, jangan membuat pertanyaan yang menjebaklah,” ujarnya sambil senyum ramah. 

Untuk diketahui. Kasus yang menjerat Bambang Irianto, bermula adanya dugaan gratifikasi terkait pembangunan Pasar Besar Madiun tahun 2009-2012 lalu, yang menelan anggaran sebesar Rp Rp76,523 miliar. Kasus ini pun sebelumnya sempat di tangani Kejari Madiun dan kemudian ditarik ke Kejati Jatim, yang akhirnya sempat “tertidur”. Merasa bebas dari jeratan hukum, Bambang Irianto pun melenggang duduk di kursi “panas” memegang tongkat komando pemerintahan sebagai orang nomor Satu di Kota Madiun.

Namun tak lama “kursi panas” itu pun “goyang” seiring dengan masuknya penyidik KPK dan mencium adanya dugaan gratifikasi dari pembangunan proyek yang dikenal dengan nama PBM (Pasar Besar Madiun) itu. Dari hasil penyidikan penyidik KPK berkembang menjadi adanya dugaan pencucian uang.

Tragisnya, orang nomor Satu di Kota Madiun itu pun “jatuh dari kursi panasnya” seiring ditetapkannya menjadi tersangka kasus dugaan Korupsi gratifikasi dan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang). Penetapan tersangka terhadap BI oleh penyidik KPK “berbuntut panjang”.
Kasus Korupsi yang menyeret orang nomor Satu di Pemkot Madiun ini, akan menarik perhatian masyarakat umum Khususnya Madiun. Paslanya, masyarakat menunggu, apakah JPU KPK, akan menghadirkan beberapa mantan pejabat Formpinda (Forum Pimpinan Daerah) Kota Madiun menjadi saksi di persidangan seperti mantan Kajari, Kapolres dan yang lainnya ? (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top