0
beritakorupsi.co – Tak sedikit Pejabat Kepala Daerah mulai dari Kepala Desa/Lurah, Bupati/Wali Kota, Gubernur hingga menteri, termasuk beberapa aparat penegak hukum (APH) seperti, Hakim, Jaksa, Polisi dan Pengacara,  yang menghabiskan masa tuanya di balik jeruji besi alias di penjara, karena menjalankan kekuasaannya hanya untuk “meminum keringat” masyarakat termasuk bawahannya yang melanggar sumpah jabatannya.

Hal itu pula yang “menimpa” Wali Kota (Non Aktif) Madiun, Bambang Irianto, yang saat ini mendekam di balik jeruji besi Rutan (Rumah Tahanan Negara) Medaeng, Sidoarjo, sejak dirinya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Desember 2016, dalam kasus Korupsi menerima gratifikasi dari pembangunan Pasar Besar Madiun pada tahun 2009.

Teradakwa Bambang Irianto yang akrabk dipanggil “BI” ini, mencalonkan Wali Kota Madiun untuk periode 2009 – 2014 diusung oleh Partai Demokrat dan terpilih menjadi Wali Kota. Dan untuk kedau kalinya, periode 2014 – 2019 kembali terpilih menjadi Wali Kota Madiun.

Ternyata, jabatan yang diembannya atas kepercayaan Masyarakat Madiun ini tidak dilakasanakan sesuai janji kampanye dan sumpah jabatannya. Kekuasaan dipundaknya justru dijalankan untuk meraup uang sebanyak mungkin dari para pejabat dibawanya dan masyarakat Madiun.

Bayangkan saja, baru 6 tahun menjabat Wali Kota sejak 2009 hingga 2016, Bambang Irianto, sudah meraup uang sebesar Rp 57 milliar lebih. Sementara, gaji berikut tunjangan jabatannya selama 6 tahun sebesar Rp 5 miliar lebih. Pada hal, orang Nomor Satu di Kota Madiun ini, adalah salah satu pengusaha besar yang memiliki 10 SPBU, Distributor LPG, Distributor Oli Pelumas dan beberapa usaha lainnya. Namun tak membuatnya puas melainkan semakin “buas”. Hal ini terungkap dalam surat dakwaan JPU dari KPK saat dibacakan di persidangan beberapa bulan lalu.

“Sumber” uang yang dimiliki Bambang Irianto, selain dari usahanya juga dari para pejabat dibawah kendalinya, mulai dari Lurah, Camat dan 33 Kepala SKPD (Kepala Dinas) serta puluhan rekanan atau kontraktor yang ada di Madiun. Jumlah uang yang disetorkan pun ke Bambang Irianto melalui orang kepercayaannya berfariasi tergantung dari hasil pendapatan Dinas-Dinas yang ada di Kota Madiun.

Sementara proyek yang di danai dari keringat masyarakat melalui APBD dibagi-bagi begitu saja kepada para rekanan tanpa melalui prosedur, agar Bambang Irianto tetap dapat “meraup” hasil. Bambang Irianto ini pun memang tidak terlalu “rakus”. Sebab, “kerinagt” yang terkumpul dari pejabat dibawahnya juga dibagi-bagi kepada para Pejabat lainnya yang sejajarnya dengannya di Kota Madiun yang tergabung dalam Forpimda (Forum Pimpinan Daerah) diantaranya, Kepala Kejaksaan Negeri, Kepala Kepolisian Resort, Katua Penggadilan Negeri dan DPRD (Dewan Pimpinan Rakyat Daerah).

Hal ini pula terungkap dari keterangan 12 orang saksi yang di hadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diantaranya, Fitroh Rohcahyanto, TrimulyonoHendradi, Herry B.S. Ratna Putra, Feby Dwiyandospendy, N.N. Gina Saraswati, Joko Hermawan, Alandika Putra dan Dormian dalam persidangan yang dibagi dalam 3 sesion, di hadapan Majelis Hakim yang di Ketuai Hakim H.R. Unggul Warso Mukto, pada Selasa, 30 Mei 2017.

Ke-12 saksi tersebut yakni, Karna Juita (Bendahara Pengeluaran PU); Sri Murni (Dinas Kependudukan); Ariyani (Administrasi Pembangunan); Sadikun (Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup), Kasinah, Sulastri, Totok Sugianto, Gembong Dwiarto Esti Handayani, Sariatno, Anita Kurnia Sari dan Sri Wahyuni.

Kepada Majelis Hakim, para saksi ini menjelaskan bahwa setiap kepala Dinas menyetorkan uang dengan nilai yang berbeda, antara 5 juta hingga ratusan juta rupiah yang disetorkan melalui pejabat yang ditunjuk terdakwa yakni, sri wahyuni, selaku pejabat Perbendaharaan. Hal itu tidak dibantah oleh Sri Wahyuni.

“Penarikan tersebut dari tahun 2009 hingga 2016, dana untuk kebersamaan.  Sebelum tahun 2009,  sebelum Pak Bambang (terdakwa Bambang Irianto.red)  menjabat, tidak pernah diminta untuk menyetor uang tersebut. Saya membuat bukti setoran tiap penyetoran dan buku besar itu sudah dibuang. Bukunya (bukti setoran), saya setorkan ke Pak Rusdianto, baru ke Pak Wali,” kata Sri Wahyuni.

“Tahun 2009, terkumpul 33 SKPD dengan total 800jutaan. Tahun 2010, ada pengeluaran  sebesar 767 juta. Dan tahun 2011,  pemasukan sekitar 1 milliar. Tahun 2009 hingga sekarang terkumpul 6 miliar. Tahun 2016, itu urusannya Pak Rusdianto. Taip tahun mengumpulkan uang, katanya pak Agus Purwo, untuk Pak Wali. Ada dana pengembalian 200 jutaan untuk Pak bambang. dan saya serahkan ke Pak Rusdianto,” beber saksi Sri Wahyuni.

Sakis Gembong Dwiarto (Kepala Perijinan menggantikan Totok) juga mengakui, adanya setoran sejak tahun 2012 hingga 2016 sebesar Rp 600 juta. Dana tersebut berasal dari biaya perijinan reklame.

“Jadi kepala perijinan menggantikan Pak Totok. Dari pak totok, bahwa ada uang keamanan dan disetorkan ke Pak Wali, sebesar 25 juta, tahun 2013. Tahun 2014 sebesar 30 juta, tahun 2015 sebesar 20 juta dan 2016 sebesar 20 juta. Ijin reklame dan menghadap ke Pak Wali, dan kata Pak Wali, belajar ke Pak Totok. Dan jumlahnya sama seperti saat dijabat Pak Totok. Jumlahnya sebesar Rp 50 juta,  diserahkan ke Pak Wali. Tahun 2012 hingga 2016, ada 18 izin bervariasi  antara 20 dan 30 juta yang totalnya sebesar Rp 600 juta. Tahun 2012 ada 1 ijin tower nilanyna 50 juta, totalnya 250 juta. Ijin reklame bervariasi dan totalnya 645 juta. Perijinan perumahan 2, 219 juta. Total semuanya 3,753 juta, menjadi 3,768 juta, hanya dari kantor perijinan. Setiap ada pemohon, harus ada rekomendasi dari Pak Wali dan dari perijinan membuatkan surat ijin prinsip,” ungkap saksi.

Saksi Sadikun, selaku Kabag Pembangunan juga mengungkap ke “buasan” terdakwa Bambang Irianto. Sadikun menjelaskan kepada Majelis Hakim, setelah APBD disahkan, lalu diserahkan ke Kepala Bagian Pembangunan untuk di evaluasi, dan setiap tahun, saksi mengaku diperintahkan Rusdianto untuk menyetor uang kewajiban yang diambilkan dari dana pegawai. Setelah dari Rusdianto barulah ke terdakwa Bambang Irianto.

“Setelah APBD disahkan, setiap APBD disetorkan ke Kabag untuk evaluasi. Setiap tahun, saya diperintahkan oleh Pak Rusdianto untuk menyetor uang kewajiban yang diambilkan dari dana pegawai, sebetulnya mbulet tapi karena terpaksa. Setelah dari Pak Rusdianto, akan disetorkan ke Pak Bambang. Perintah Agus Purwo untuk menyetor tunjangan kinerja sebesar 500 ribu atas kewajiban untuk Pak Bambang. Saya beranggapan ada 8 Asosi tapi saya tidak hafal ada berapa kontraktor,” kata saksi.

Saksi Gembong Dwiarto melanjutkan, “Pernah mengumpulkan Asosiasi kontraktor. Proyek kontruksi ada yang lelang ada yang PL, kemudian saya berikan laporan saya ke Pak bambang untuk dipelajari.  Ada yang dicentang dan ada yang tidak. Kemudian sisanya diberikan ke Asosiasi untuk dibagi rata supaya semua kebagian. Fungsi centang adalah, untuk menandai apa aja proyek untuk si A atau si B. Saya selalu mengikuti proses lelang. Yang dicontreng kadang-kadang ada yang meleset, seperti halnya Pak Yun, tidak menang,” kata saksi kepada Majelis.

Saksi Gembong, dengan jujur dan terus terang, menjelaskan apa yang saksi ketahui saat dirinya “dalam genggaman kekuasaan” terdalwa, untuk menjalnkan tugas yang diterimanya.

“Pak Bambang marah kepada saya. Saya mengumpulkan ketua Asosiasi, akan ada fee 5-6%. Pak Bambang memerintahkan saya untuk memberi tahu, jika harus menyetorkan fee sesuai dari kesepakatan. Untuk pembangunan gedung sekitar 7-8% setelah potong pajak. Untuk jalan 8%, Drainase 5-6%. saya tidak begitu hafal. Jembatan 7%. Yang menerima setoran adalah saya pribadi dari ketua Asosiasi atau kurirnya dan say setor ke Pak Bambang langsung 10-30 juta, namun sebagian besar disetor langsung dan tidak ada tanda terima karena dia (terdakwa) nggak mau. Saya tidak hafal mulai dari 2013-2016,” ungkap Gembong

Karena saya tidak pernah menghitung nominalnya, lanjut saksi Gembong kepada Majelis Hakim, sebenarnya saya punya list nominalnya berapa aja. Namun ketika Pak Bambang, hendak diperiksa KPK, saya disuruh untuk memusnahkan data-data setoran itu, kira-kira jumlahnya hingga milyaran.

“Sebelum saya menjabat sebagai Kabag, adalah Almarhum Suparmi. Sebelum Suparmi adalah Pak Ipung. Saya pernah ikut rapat rutin di ruang 13. Masing-masing SKPD harus soan (ijin) ke Pak Bambang untuk mendapat PL. Untuk asosiasi kontraktor yang tidak bayar, tak akan diberi proyek lagi. Setoran tiap tahun nilainya milliaran sejak 2013 hingga 2016. Saya tahu tapi saya takut diperiksa KPK. HP Samsung saya sudah disita KPK, isinya tentang setoran. Setiap bulan, SKPD melaporkan pekerjaan ke Kabag. langsung saya resume dan saya laporkan ke Wali Kota,” ungkap saksi kemudian. 

Menanggapi keterangan para saksi, terdakwa Bambang Irianto mengancam akan memperkarakan dengan perbuatan tidak menyenangkan. “Bahwa semua yang anda katakan adalah salah. Dan saya akan menuntut anda karena perbuatan tidak menyenangkan,” kata terdakwa.

Usai persidangan, terkait dihadirkannya atau tidak para pejabat Forpinda Kota Madiun termasuk salah satu saksi perempuan dari Jombang, yangkabarnya istri salah seorang “ulama”, kepada wartawan media ini JPU Febby mengatakan, tergantung dari keterangan terdakwa dan untuk saksi itu, akan dihadirkan tetapi belum waktunya.

“Akan dihadirkan tetapi belum waktunya. Kita selesaikan dulu pasal 12 nya baru ke TPPU. Di TPPU lah yang akan kita hadirkan. Memang katanya uang itu dibagikan kepada para Pemda, tetapi para saksi tidak mengetahui, karena terdakwa sendiri yang memberikan, jadi tergantung keterangan terdakwa nanti. Kita hanya melaporkan ke pimpinan sesuai persidangan,” kata Febby.  (Redaksi) 

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top