0
beritakorupsi.co -  Tak heran bila setiap terdakwa kasus Korupsi berharap bisa bebas setelah JPU membacakan surat dakwaannya dihadapan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) karena merasa dirinya tak bersalah.

Seperti yang dilakukan ke-4 (Empat) terdakwa kasus Korupsi dana Hibah Pilgub Jatim tahun 2013 lalu, sebesar Rp 11 milliar dari total anggaran Rp 142 M untuk pelaksanaan tahapan Pilgub yang dipergunakan oleh Bawaslu Jatim, yang bersumber dari dana NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah) APBD Pemerintah Provinsi (Pemprov) yang dianggap merugikan keuangan negara sejumlah 5,6 milliar.

Ke – 4 terdakwa dalam jilid IV ini yakni; Samudji Hendrik Susilo Bali (Hendrik, perkara tersendiri), selaku pejabat pengadaan sekaligus sebagai pelapor kasus ini ke Penyidik Polda, Arif Rasmadin, Imam Widodo dan Darmini Binti Jumiati.

Sementara Jilid I, II dan III sudah divonis terlebih dahulu walau penetapan tersangkanya sama pada tahun 2015 lalu diantaranya, Amru (Sekretaris Bawaslu Jatim), Gatot Sugeng Widodo (Bendahara),  Indriyono Pimpinan CV Canopus/rekanan dan Anang Kusweni (calo) ke 4 terdakwa ini di vonis bersalah dan kini sedang upaya Kasasi di Mahkamah Agung. Dalam Jilid II yakni, Dr. Sufyanto, (Ketua Bawaslu) serta dua komisioner, Andreas Pardede dan Sri Sugeng (ke Tiganyan di Vonis bebas dan Jaksa seang upaya Kasasi) dan Jilid III, Rochmat Budi Utomo, Firdaus dan Ali Sodikin (Di Vonis bersalah)

Dalam Jilid IV ini, terdakwanya tak mau disalahkan atas terjadinya kasus yang menimbulkan kerugikan keuangan negara dalam pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur pada tahun 2013 lalu yang menggunakan uang rakyat ini.

Sebab, ke 4 terdakwa ini tak terima atas surat dakwaan Jaksa Penunt Umum (JPU) Arif Usman dan Harwidi dari Kajaksaan Negeri (Kejari) Surabaya yang menyatakan bahwa para terdakwa melakukan Tindak Pidana Korupsi (TPK) dana Pilgub Jatim, dan minta dibebaskan dari “Hotel Prodeo” alias Rumah Tahanan Negara (Rutan)

Tak mau disebut melakukan Korupsi dan tidak terima surat dakwaan JPU tersebut, disampaikan para terdakwa melalui Penasehat Hukum (PH)-nya yang terdiri dari; Sulamul Hadi, Eko Gendra, Ddidik Suharsono, Berlian Luckytasari dan Aning Wijayanti di persidangan dengan agenda pemabcaan Eksepsi (Keberatan) di hadapan Majelis Hakim yang di Ketuai Hakim Rochmad, pada Senin, 15 Mei 2017.

Dalam persidangan, PH terdakwa mengatakan bahwa, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tidak berwenang mengadili perkara yang menyeret para terdakwa. Lalu yang berwenang Pengadilan Mana ?. Menurut PH terdakwa, yang berwenang adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Alasannya, karena kesalahan administrasi, adanya tanda tangan para terdakwa dalam dokumen yang berkaitan dengan pengadaan di Bawaslu terkait pelaksanaan Pilgub jatim.

Atas Eksepsi PH para terdakwa, JPU pun akan menanggapi dalam persidangan ayang akan datang. Bisa jadi JPU menjelaskan lebih lanjut perbuatan para terdakwa. Namun, apapun yang disampaikan PH para terdakwa maupun JPU, yang menentukan tetaplah Majelis Hakim yang menangadili perkara ini.

Fakta Persidangan pada Jilid I

Kasus ini bermula saat Hendrik membuat laporan ke Polda Jatim, sebelum BPK RI melukan audit di dua pos anggaran yang dipergunakan oleh Bawaslu Jatim yankni APBD untuk Pilgub 2013 dan APBN pelaksanaan Pilpres 2014.

Pada hal sebelumnya, Sekretaris Bawaslu, Amru telah membuat laporan ke Polda jatim setelah menerima hasil audit BPKP Perwakilan Jatim yang juga atas permintaan Amru, karena bendahara, tidak dapat mempertanggungjawabkan keuangan negara sebesar Rp 3.702.084.546,00 berdasakan hasil audit BPKP Perwakilan Jatim Nomor : 966/PW13/2/2014 tanggal 25 Juli 2014, setelah bendahara pengeluaran melarikan diri selama 8 bulan.
Tidak hanya itu, menurut Amru, bahwa yang meminjam dokumen CV untuk pengadaan dalam kegiatan Pilgub adalah Hendrik tanpa sepengetahuan Amru.

Semua dokumen dibuat diruangannya (Hendri) yang dikerjakan staf Hendrik sendiri, yakni Sapto. Hal ini seperti yang terungkap dalam persidangan. Hasil audit BPKP pun ada dua yaitu, atas permintaan Sekretaris Bawaslu jauh sebelum Hendrik melapor ke Polda Jatim dan hasil audit BPKP atas permintaan penyidik. Hasil audit BPKP yang pertama baru muncul dipersidangan saat perkara jilid II disidangkan

Fakta yang terungkap dalam Persidangan, Samuji Hendrik menyuruh Achmat Kusaini Untuk Meminjam Profil CV

Terkait adanya pengembalian sisa anggaran dari pihak salah satu Hotel di Malang, dalam persidangan mengatakan, telah mengembalikan sebesar 160 juta dalam dua tahap yang diterima Samudji Hendrik Susilo Bali. Terkait dokumen kontrak yang dianggap fiktif, dalam fakta persidangan sebelumnya saat pejabat pengadaan, Samudji Hendrik Susilo Bali (Hendrik) dihadirkan menjadi saksi dipersidangan terungkap bahwa, yang meminjam profil rekanan (CV) adalah Ahmad Khusaini, atas perintah Samudji Hendrik dan Pasaru Palembangan dengan imbalan uang sebesar Rp 300 ribu sekaligus menghantarnya kebalik jeruji besi.

Terdakwa Ahmad Khusaini, sebelumnya bekerja sebagai kariyawan serabutan foto Copy, sehingga beberapa rekanan (CV) dikenalnya. Perkenalan Ahmad Khusaini dengan Samudji Hendrik, adalah lewat Pasaru Palembangan, Koordinator keuangan Bawaslu Jatim, yang sudah dikelanya cukup lama.

Dalam fakta persidangan, pembuatan kontrak atas nama CV Singgasana Putih dan CV Jatayu Era Global dianggap fiktif yang menjadi “salah satu biang kerok” kasus ini adalah, Sapto. Atas perintah Samudji Hendrik, Sapto, mengerjakan dokumen dengan mencontoh dari file yang diterimanya dari Samudji Hendrik.

Kesalahan Fatal yang terjadi adalah, adanya tandatangan Amru dalam dokumen tersebut. Yang menurut Amru, saat itu Samudji Hendrik, selaku pejabat pengadaan menyodorkan beberapa dokumen untuk ditandatangani saat itu juga sehingga, tidak memeriksa terlebihdahulu.

Menurut Amru, dokumen tersebut sempat hilang sehari setelah ditandatangani dan muncul kembali saat penyidik polda datang ke kantor Bawaslu setelah adanya laporan dari Samudji Hendrik.

Dalam persidangan yang berlangsung (Jumat, 12 Pebruari 2013) juga terrungkap atas keterangan saksi yang juga terdakwa, Ahmad Khusaini, mengatakan, bahwa yang meminjam profil CV adalah dirinya atas perintah Samudji Hendrik Susilo Bali dan Pasaru Palembangan dengan imbalan uang sebesar 300 ribu rupiah.

“Yang meminjam profil itu saya atas perintah pak Hendrik dan pak Saru (Pasaru Palembangan). Saya dikasih uang 300 ribu oleh pak Hendrik. Saya kenal pak Hendrik dari pak Saru. Saya sudah kenal lama dengan Pasaru,” kata Khusaini kepada Majelis Hakim.

Namun ada yang menjadi “teka teki” dalam keterangan saksi/terdakwa Khusaini dan Gatot (selaku Bendahara) yakni tentang pelunasan sebesar Rp 669.810.000. Pembayaran atau pelunasan sebesar Rp 669.810.000 itu, fakta persidangan, sesuai kontrak yang ada atas nama CV Singgasana Putih dan CV Jatayu Era Global adalah, CV yang dipinjam Khusaini atas perintah Henrik dan Pasaru.

Sementara nilai kontrak yang sah atas nama CV Canopus, adalah sebesar Rp 221.426.000 dibayarkan langsung oleh bendahara. namun “nasi sudah jadi bubur”, tandatangan Amru menjadi pegangan Jaksa maupun Hakim. Keterangan Khusaini dan Gatot dalam persidangan bahwa uang sejumlah Rp 669.810.000 dimasukkan kedalam plastik kresek oleh Gatot kemudian diletakkan diatas meja kerjanya Amru setelah terdakwa Khusaini menandatangani kwitansi atas permintaan Amru.

Mengapa terdakwa Gatot memasukkan uang tersebut kedalam palstik kresk, tidak kedalam amplop warna kuning lajimnya pembayaran resmi di kantor ? Mengapa terdakwa Khusaini menandatangani kwitansi pembayaran atas kontrak pembuatan spanduk sebesar Rp 669 juta lebih, sementara kehadiran terdakwa di Bawaslu dan yang meminjam profil CV adalah terdakwa Khusiani atas perintah Hendrik dan Pasaru?

Yang sebelumnya sudah ada pembayaran yang dilakukan oleh terdakwa Gatot selaku Bendahara kepada terdakwa Khusaini sebesar Rp 49 juta, yang menurut terdakwa Khusaini, bahwa uang tersebut diberikan kepada Hendrik. Terdakwa Khusaini hanya menerima imbalan sebesar 300 ribu puiah. Faktanya, keterangan terdakwa Khusaini sudah ada perubahan saat penyidikan.

Agenda pokok dalam persidangan yang berlangsungpun malam itu (Jumat, 12 Pebruari 2016) terfokus pada pembayaran sebesar 669 juta lebih. Tidak lagi seperti dalam surat dakwaan yakni, adanya kegiatan perjalan fiktif, kontrak fiktif dan pemberian uang THR. Akankah kasus koruspi Bawaslu “jilid IV” ini akan menungkap “misteri” yang selama ini masih “gelap” ?  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top