1
Terdakwa Amru menunjukkan barang bukti dalam persidangan Jilid IV
beritakorupsi.co – “Ibarat nasi sudah jadi bubur!”. Inilah yang terajdi dalam kasus Korupsi dana Pilgub Jatim yang menyeret 14 orang terdakwa, dan 10 dantaranya sudah di Vonis terlebih dahulu oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor. Karena perkara ini dibagi menjadi 4 “jilid”, sejak 2015, walau penyidikan dan penetapan tersangka yang dilakukan oleh penyidik Polda Jatim bersamaan pada tahun 2015 lalu.

Andaikan ke 14 terdakwa disidangkan bersamaan, dengan JPU dan Majelis Hakim yang sama, bisa jadi, kasus yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 5,3 milliar akan lebih jelas dan terang benderang untuk diketahui masyarakat. Namun faktanya, para terdakwa ini yang dibagi dalam 4 Jilid, disidangkan dalam waktu 3 tahun sejak 2015 hingga 2017, dengan JPU dan Majelis Hakim yang berbeda. Pada hal, saksi dan barang/alat bukti (BB), boleh diaktakan hamper sama.

Lalu, mengapa penyidik Polda Jatim dan Kejaksaan Tinggi – Jawa Timur (Kejati Jatim) “mengulur” hingga 3 tahun ?. Berbeda dengan kasus Korupsi dana Pilpres 2014 sebesar Rp 12 M di KPU Jatim, yang menyeret 10 terdakwa, kasus Korupsi KUR (Kredit Usaha Rakyat) Bank Jatim Jombang tahun 2011 sebesar Rp 50 M, yang menyeret 13 terdakwa, dapat disidangkan dengan waktu yang hampir sama ?

Dalam kasus ini, terdakwa utama (Jilid I tahun 2015) adalah Amru, selaku Sekretaris Bawaslu Jatim sekaligus selaku KPA (Kuasa Pengguna Anggaran), Gatot Sugeng Widodo (Bendahara Bawaslau), Anang Kuswaini (Calo yang juga rekanan), Endriyono (Rekanan/Pimpnan CV Canopus). Keempatnya divonis bersalah.

Jilid II, Dr. Sufyanto, (Ketua Bawaslu) serta dua komisioner, Andreas Pardede dan Sri Sugeng, Ketiganya di Vonis bebas. Dan III, Rochmat Budi Utomo, Firdaus dan Ali Sodikin (Ketiganya rekanan dan divonis bersalah).

Sementara Jilid IV ini yakni, Arif Rasmadin, Imam Widodo, Darmini Binti Jumiati dan Samudji Hendrik Susilo Bali atau Hendrik (perkara tersendiri), selaku Pejabat Pengadaan sekaligus sebagai pelapor kasus ini ke Penyidik Polda Jatim. Hendrik pun beruntung. Walau berstatus tersangka/terdakwa, dirinya mendapat perlindungan dari LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).

Sebagai saksi kunci dalam perkara ini adalah Sapto (Staf Hendrik) dan Pasaru Palembangan (Kordiantor Keuangan).

Dugaan Korupsi Korupsi adalah pengadaan fiktif dan dana THR (Tunjangan Hari Raya) dalam pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur tahun 2013 lalu, dengan anggaran bersumber dari dana hibah APBD dalam bentuk NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah), antara Ketua Bawaslu dengan Gubernur Jawa-Timur, sebesar Rp 142 M.

Kasus ini terjadi pada tahun 2013 lalu sekaligus untuk pertama kalinya, Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) Jatim, menerima dana Hibah dari APBD dalam bentuk NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah) untuk pelaksanaan Pilgub Jatim 2013 sebesar Rp 142 milliar, dan 11 milliar rupiah, dipergunakan oleh Bawaslu Jatim untuk pelaksanaan tahapan Pilgub, dan sisanya dipergunakan oleh 38 Panwaslu (Panitia Badan Pengawas Pemilu) Kabupaten/Kota se-Jawa Timur.

Dana sebesar Rp 11 M yang dipergunakan Bawaslu Jatim untuk pengadaan barang dan jasa diantaranya, mencetak Spanduk sebanyak 2.400.000 dengan 5 tahapan, mencetak buku panduan dan kaus sebanyak 8600 potong termasuk dana untuk perjalanan dinas oleh Bawaslu Jatim. Dana tersebut baru dicairkan sekitar Maret 2013, sementara Bawaslu sudah mulai melaksanakan tahapan Pilgub pada Januari 2013. Selama pelaksanaan tahapan pilgub, Bawaslu menggunakan uang pribadi dan dana pinjaman. Penggantian dana tersebut baru dibayarkan menjelang hari Raya Idul Fitri 2014.

Untuk pengadaan barang dan jasa di Bawaslu Jatim, Amru, selaku Sekretaris yang juga menjabat sebagai KPA, menunjuk CV Canopus untuk mengerjakan 2.400 Spanduk untuk 5 tahapan yang nilanya masing-masing tahapan dibawah 200 juta rupiah, termasuk untuk mencetak buku panduan juga nilanya dibawah 200 juta. Menurut Amru, penunjukan CV Canopus karena Pejabat Pengadaan belum membuat persiapan, sementara waktu pelaksanaan Pilgub semakin dekat.

Ternyata dalam pelaksanaan, ada 4 profil CV (rekanan) yang dipinjam Pasaru Palembangan dan Anang Kusaeni atas perintah Hendrik. Ke 4 CV tersebut semula hanya sebagai pembanding untuk mengerjakan pengadaan 8600 potong kaus. Karena yang mengerjakan adalah rekanan dari Jakarta. Namun faktanya, ke 4 CV tersebut justru mengerjakan semua pekerjaan dalam pengadaan di Bawaslu.

Pada hal, Hendrik mengetahui, kalau CV Canopus telah mengerjakan Spanduk dan buku. Pembayaran sudah dilakukan di Kantor Bawaslu. Hal ini terungkap dalam persidangan Jilid I. untuk mengerjakan dokumen-dokumen pengadaan ke 4 CV tersebut dikerjakan oleh Sapto atas perintah Hendrik.

Ada yang Aneh dalam perkara ini. Dokumen CV Canopus selaku rekanan yang ditunjuk oleh Amru termasuk hasil audit BPKP atas permintaan Sekretaris Bawaslu, tidak dijadikan menjadi bukti dalam perkara ini. yang lebih anehnya lagi, Pegawai BPKP Jatim yang menjadi Ahli dalam kasus Jilid II, membuat keterangan palsu dalam persidangan jilid II. Bahkan ahli dari BPKP itu sempat diancam akan dilaporkan ke Polisi oleh Suryono Pane selaku Penasehat Hukukum terdakwa.

Tidak hanya itu. Beberapa saksi dari Panwaslu Kabupaten/Kota yang dihadirkan di persidagan Jilid II mengakui di hadapan Majelis Hakim bahwa, dana yang semula adalah dana perjalanan dinas, yang dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) dikatakan menjadi dana THR (Tunjangan Hari Raya) adalah, karena para saksi mendapat tekanan dari penyidik Polda Jatim. Dan masing-masing saksi diminta mengembalikan dana tersebut ke penyidik. Kalau para saksi tidak mau mengembalikan, diancam akan disalahkan.

Belum lagi keterangan saksi dari salah seorang Manager Hotel di Malang yang dipakai Bawaslu Jatim dalam tahapan Pilgub yang mengatakan kepada Majelis Hakim bahwa, sisa anggaran sebesar Rp 160 juta dikembalikan kepada Hednrik dalam dua tahap.

Dalam persidangan (Jumat, 12 Pebruari 2013) juga terrungkap atas keterangan saksi yang juga terdakwa, Ahmad Khusaini, mengatakan bahwa, yang meminjam profil CV adalah dirinya atas perintah Samudji Hendrik Susilo Bali dan Pasaru Palembangan dengan imbalan uang sebesar 300 ribu rupiah.

Pada Senin, 11 Juni 2017, hal ini terungkap lagi dalam persidangan Jilid IV, oleh Amru yang dihadirkan oleh JPU dalam persidangan yang di Ketuai Hakim Rochmad. Dihadapan Majelis Hakim, Amru menjelaskan secara jelas mulai dari asal anggaran hingga penggeledahan yang dilakukan oleh penyidik Polda Jatim.

Amru menjelaskan, kalau dirinya pernah membuat surat pembatalan kontrak atas 4 CV setelh diketahui ada kejanggalan, namun dokumen itu hilang. Setelah hilangnya dokumen itu, hingga amru membuat nota Dinas karena selama 8 bulan, Bendahara belum juga membuat laporan pengeluaran. Kemudian menurut Amru, dirinya pernah diminta menandatangani surat berupa LPJ yang dibuat oleh Ketua Bawaslu Jatim kepada Gubernur. Namun Amru menandatangani dengan membuat catatan dibawah surat yang intinya, bahwa surat tersebut tidak dapat dipergunakan. Namun faktanya, surat tersebut menurut Amru, dikirimkan ke Gubernur Jatim.

Tidak hanya disitu. Kepada Majelis, Amru mengatakan, kalau dirinya sudah pernah melaporkan ke Gubernur termasuk meminta BPKP untuk melakukan audit di Bawaslu dengan Nomor : 966/PW13/2/2014 tanggal 25 Juli 2014. Dari hasil audit tersebut ditemukan adanya penyimpangan sebesar Rp 3.702.084.546. dan sebagai petunjuk BPKP, meminta kepada Ketua Bawaslu untuk memerintahkan Sekretaris Bawaslu melaporkan ke Gubernur dan kepada Aparat Penegak Hukum.

“Saya sudah melaporkan ke Gubernur. Saya juga sudah pernah meminta BPKP untuk melakukan audit, ada kerugian negara sebesar Rp 3.702.084.546. Ini ada dokumen yang baru saya temukan, yang tidak pernah diperiksa penyidik,” kata Amru.

“Ini kan tanggung jawab saudara selaku KPA. Harusnya melaporkannya ke Gubernur. Kalau tidak mampu, kenapa nggak menolak,” ucap Ketua Majelis Hakim yang “sedikit ceramah” dan tidak mempertimbangkan keterangan amru. Karena Amru dianggap bersalah dan bertanggung jawab mengenai dana hibah Pemprov Jatim.

Apapun yang dijelaskan Amru, sejujur apapun Amru, bersumpah apapun Amru, semuanya sudah tidak berarti. “Nasi sudah jadi bubur”, dirinya pun sudah divonis oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor dan dinyatakan bersalah yang saat ini menunggu putusan Mahkamah Agung RI dan putusan PK. Akankah yang “Hitam” menjadi “Putih” ?. Amru pun hanya berharap ada “Malaikat” untuk membuka “tabir” kasus Korupsi yang menyeret dirinya.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top