0

beritakorupsi.co – Andaikan penyidik dan Pimpinan KPK, benar-benar menegakkan  hukum dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), yang menyeret Bambang Irianto tanpa pandang bulu, bisa jadi pemerintahan Kota Madiun pun “terancam lumpuh”.

Sebab, kasus yang mejerat Wali Kota non aktif itu dapat menyeret para pejabat lainnya mulai dari seluruh SKPD (Kepala Dinas), Rekanan/Kontraktor, anggota Dewan dan pejabat Forpimda Kota Madiun yang “memberi dan menerima uang suap”.

Dihadapan Majelis Hakim, para wakil rakyat yang digaji dari hasil keringat masyarakat itu mengakui, telah menerima uang dari Bambang Irianto melalui Armaya, adik kandung terdakwa yang juga anggota DPRD dari Fraksi Partai Demokrat.

Armaya dan Bondan, seusai sidang minngu lalu
 Namun beberapa anggota Dewan ternyata tidak mampu untuk mengembalikan seluruh uang yang diterimanya. Seperti Dewi. Dia menerima sebesar Rp 63 juta, yang dikembalikan hanya Rp 15 juta.

“Saya hanya mampu mengembalikan segitu,” kata Dewi dihadapan Majelis, sambil senyum. Kehadiran anggota Dewan ini di Pengadilan Tipikor dianggap seperti melakukan kunjungan kerja bersama Hakim Tipikor. Sebab tingkalaku para wakil rakyat ini justru dibuat ajang foto-foto alias Selfi saat JPU KPK menunjukkan bukti kepada Majelis Hakim.

Namun oleh KPK, ada kebijakan dalam penanganan kasus Korupsi dengan terdakwa Bambang Irianto selaku Wali Kota (non aktif) Madiun, karena para anggota Dewan dan pejabat Forpimda itu, telah mengembalikan puluhan hingga ratusan juta uang “haram yang dinimatinya” dari terdakwa setelah adanya penyidikan yang dilakukan oleh penyidik KPK.

Hal itu disampaikan oleh JPU Fitroh dari KPK, kepada Wartawan Media ini diruang sidang usai persidangan dengan agenda pemeriksaan puluhan saksi dari anggota DPRD yang dihadirkan oleh JPU, dalam persidangan dihadapan Majelis Hakim yang di Ketuai Hakim H.R. Unggul Warso Mukti, pada Jumat, 16 Juni 2017.

“Si Atok ini bersama si Bu dewi, belum lengkap, bukan nggak mengembalikan. Dia mengembalikan tapi belum penuh. Saya perintahkan tadi kan secara tidak langsung, saudara harus mengembalikan. Diproses atau tidak, dalam penegakan hukum kan ada kebijakan karena ada etikat baik mengembalikan seluruhnya itu,” ujar JPU Fitroh

Saat ditanya lebih lanjut, terkait kebijakan dalam penegakan hukum Khususnya dalam kasus Korupsi dengan terdakwa Bambang Irianto, dimana para pejabat Kota Madiun yang mengerti hukum namun menerima ratusan juta uang yang tidak ada aturan atau istilah “menerima suap”, kemudian dikembalikan setelah ada penyidikan yang dilakukan oleh KPK. Lalu para pejabat tersebut pun tak tersentuh hukum, bila dibandingkan dengan beberapa tersangka/terdakwa yang melakukan hal yang sama, namun karena mereka tidak mengerti hukum atau karena penyidiknya yang berbeda, lalu sangsi pidana pun harus tetap berjalan ?

“Betul, penegakan ini kan Katusitik. Kalau ini kan jelas. Kalau seluruh anggota Dewan tidak tau. Barangkali yang dimaksud adalah pasal 4 (UU Korupsi.red), pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana seseorang. Kalau konteks ini kan gratifikasi, apa yang mereka terima adalah gratifikasi. Kita ambil yang sebetulnya pola yang paling besar. Kalau kita bicara gratifikasi oleh Wali Kota, berapa orang yang harus kita proses kalau bicara dari proses hukum. Seluruh pemberian, seluruh SKPD, seluruh Kontraktor, seluruh anggota Dewan, apakah harus diproses masuk semua,’ tutur JPU Fitroh menjelaskan.

Namun JPU Fitroh mengakui, apabila penegakan hukum dilakukan secara normative dalam kasus Korupsi Bambang Irianto, maka semua pejabat Kota Madiun bisa masuk penjara.

“Kalau secara normative, semuanya kena,” jawabnya kemudian.

Kebijakan penegakan hukum yang dimaksud, Khsusnya dalam kasus Korupsi yang menyeret Wali Kota Madiun ini, semakin tampak dinilai masyarakat adanya “tebang pilih”. Sebab, JPU dari KPK “tidak” mungkin mengahadirkan para pejabat Forpimda Kota Madiun yang terdiri dari; Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari), Ketua Pengadilan Negeri (Ka PN), Kapolres sebagai sebagai saksi di persidanagan Pengadilan Tipikor, walau nama-nama pejabat tersebut tercantum dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan)

Pasalnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyeret Bambang Irianto ke Pengadilan Tipikor Surabaya yang saat ini diadili dalam kasus dugaan Korupsi yang bermula dari Proyek Pembangunan Pasar Besar Madiun pada tahun 2009, sejak dirinya pertama kali duduk di kursi jabatan selaku Wali Kota.

Ternyata, kasus yang menyeret Wali Kota (non aktif) itu tidak hanya dalam Proyek Pasar Besar Madiun, namun ada “perbuatan” yang lebih “sadis” yakni, penerimaan setoran dari 33 Kepala SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah), para rekanan/kontraktor dan Camat serta Lurah, yang besarnya berpariasi, sejak menjabat Wali Kota 2009 hingga 2016. Uang “haram” yang jumlahnya puluhan milliaran itu pun, selain diperguankan sendiri juga dibagi-bagikan kepejabat lainnya.

Uang yang diperoleh terdakwa Bambang Irianto tak tanggung-tanggung. Jumlahnya sekitar Rp 57 Milliar. Uang “haram” itu pun sebahagian dibagi-bagikan kepada pejabat Forpimda (Forum Pimpinan Daerah) Kota Madiun termasuk kepada semua anggota Dewan yang terhormat sebagai wakil rakyat melalui Armaya.

Selain ke Pejabat Forpimda Kota Madiun, uang “haram” itu, juga “dinikmati” oleh Istri sah terdakwa, Endang Suliestyawati, anak kandungnya Bonnie Laksamana (Sekretaris DPD Partai Demokrat, Jatim) serta kedua adiknya yakni Bondan Pandji Saputro dan Armaya, yang juga sebagai wakil rakyat.  Serta sebahagian lagi dipergunakan untuk membeli tanah, ruah dan beberapa unit mobil mewah yang salah satu diantaranya merek Hammer Type H2 dengan Plat B 11 RUU seharga Rp 2,6 M.

Yang mengejutkan adalah, uang “haram” itu juga diberikan terdakwa Bambang Irianto kepada wanita teman akrabnya yakni, ‘Liliana’ yang berprofesi sebagai Dosen disalah satu Perguruan Tiggi di Jember, yang juga istri sah salah seorang “Ulama” di Jombang. Menurut JPU KPK kepada media ini, Liliana meneriam aliran dana sebesar Rp 270 juta melalui transfer.

Kasus menerima dan bagi-bagi uang “haram” inilah yang kemudian menjerat Wali Kota (non aktif) Madiun, Bambang Irianto dalam Tindak Pidana Pencucuian Uang (TPPU), sesuai dengan Undang-Undang No 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal ini terungkap dalam persidangan dari keterangan beberapa saksi yang sudah diperiksa.

Terdakwa Bambang Irianto pun “menerima hadiah penghargaan” dari KPK berdasarkan Undang-Undang Korupsi, pasal 12 huruf i atau pasal 12 huruf  B  jo pasal 65 ayat (1) KUHP  dan Undang-Undang TPPU pasal 3 jo pasal 65 ayat (1) KUHP. Dengan ancaman pidana penjara paling lama 20 tahun.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top