0
beritakorupsi.co – Sidang perkara dugaan Dana Dekonsentrasi Derektorat Jenderal (Dirjen) PLS (Pendidikan Luar Sekolah) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dispendikbud) Provinsi NTT (Nusa Tenggara Timur) pada tahun 2007 lalu, yang menelan APBD sebesar Rp 77.675.354.000 milliar, dan merugikan keuangan negara berdasarkan hasil audit BPK RI senilai Rp 4.292.378.200, kembali digelar di Pengadilan Tipikor Surabaya, pada Senin, 19 Juni 2017.

Sidang yang berlangsung di Ketua Majelis Hakim Tahsin, dengan agenda pemeriksaan terdakwa, Bupati (non aktif) Sabu-Raijua, Marthen Luter Dira Tome (52), semasa dirinya menjabat sebagai Kepala Sub Dinas (Kasubdin) PLS Dispendikbud Provinsi NTT, tahun 2007.

Sidang yang berlangsung berjalan alot antara JPU (Jaksa Penuntut Umum) dari KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dengan terdakwa Marthen Luter Dira Tome, yang didampingi Penasehat Hukum (PH)-nya, Yohanes D. Rihi dkk.

JPU Yadin menanyakkan terkait kelengkapan dokumen Forum Komunikasi Tenaga Lapangan Dikmas (FKTLD) dalam pelaksanann program pendidikan berdasarkan Inpres (Instruksi Presiden)   Nomor 5 tahun 2006 tentang percepatan dan penuntasan buta aksara di Indonesia. Selain itu, JPU juga mempermasalahkan SK terdakwa selaku Kasubdin, termasuk aliran dana sebesar Rp 405 juta yang dicairkan sebelum kegiatan, berdasarkan bukti transfer yang dimiliki oleh JPU KPK sebagi bukti

Terkait hal tersebut, kepada Wartawan Media ini, terdakwa mengatakan bahwa, SK yang dimilikinya sebagai PPKm, sejak terdakwa menjabat Plh (Pelaksan harian) bukan sebagai Pj (pejabat). Sebeb menurut terdakwa, PJ itu adalah untuk seorang PNS yang belummemenuhi syarat forum dari segi golongan.

“SK saya sebagai PPKm selisih Satu hari dengan SK Kepala Bidang. Sebelum saya resmi diangkat menjadi Kasubdin, sudah Plh, hanya melanjutkan dari Plh menjadi Kasudin. Jadi disitu, Pj itu dipikir Plh. Pj itu, karena pangkat saya belum memenuhi pangkat maksimal menjadi Kepala Bidang, maka disebut Pj, semua juga begitu,” kata terdakwa.

“Plh, pelaksana harian. Kalau Pj itu, pejabat karena pangkatnya belum memenuhi syarat-syarat forum. Jadi waktu itu sudah Plh sekaligus menjadi PPKm. Sehari setelah SK PPKm, resmi menjadi Kasubdin. Kabid (Kepala Bidang.red) itu ya sama dengan Kasubdin untuk sebagahgian daerah, pejabatnya ia sama. Itu pejabat Eslon III. Jadi saat jabatan Plh, saya juga menjadi PPKm. Yang dipermasalahkan JPU tadi itu,” ujar terdakwa

Saat ditanya, ada tidaknya kerja sama antara FKTLD dengan Dinas Pendidikan, termasuk surat keputusan (SK) Kemenkum HAM terkait pembentukan FKTLD Provinsi NTT, terdakwa mengatakan ada kerjasama.

“Ketika Forum Pusat dibentuk, seketika Forum di Provinsi dan Kabupaten/Kota terbentuk. Ada kerjasama antara Forum dengan Dinas. Dalam AD/ART termasuk Akte pendirian, Forum adalah penyelenggara. Kalau SK Kemenkum HAM nya saya tidak melihat kesitu,” ungkap terdakwa

Terdakwa menambahkan, bahwa program yang dilakanakan oleh Dinas Pendidikan Provinsi NTT dngan anggaran APBD adalah anggaran Blogren atau sama dengan swakelola. Progam ini, lanjut terdakwa, tidak sama dengan pendidikan Formal melainkan Non Formal, yang bertujuan untuk menuntaskan masyarakat buta aksara, berdasarkan Inpres (Instruksi Presiden) Nomor 5 Tahun 2006 tentang percepatan dan penuntasan buta aksara di Indonesia.

“Ini program tidak sama dengaan sekolah formal, ini non formal. Sementara ada modul yang harus disediakan, dan harus beli dari Jawa (Jakarta) karena tidak ada dijual selain di Jawa, karena tidak dijual bebas. Tidak ada penerbit di NTT. Yang penting adalah tujuan dari program ini bisa tercapai dengan baik. Aturannya adalah, Inpres No 5 Tahun 2006 tentang penuntasan wajib belajar 9 tahun dan penuntasan buta aksara. Karena Indonesia ini, negara yang salah Satu pendidikan yang paling rendah. Karena tiga hal yang menentukan masusia itu adalah, ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Di NTT ada 350 ribu orang buta hufuf. Nah, dibuatlah Inpres ini untuk percepatan peningkatan pendidikan dengan melibatkan berbagai pihak,” pungkas terdakwa.

Sementara JPU Yadin dari KPK mengatakan bahwa, JPU dapat membuktikan dalam persidangan, bahwa SK yang disampaikan oleh terdakwa adalah Akte Notaris terkait pendirian Forum. Yang menurut JPU Yadin, bahwa Forum belum memiliki legimitit formil. Selain itu, JPU juga membuktikan adanya pencairan dana sebesar Rp 405 juta melalui transfer sebelum kegiatan dilaksanakan.

“Mereka berdalih tentang legimitit formil. Legimitik formil itu, kalau mereka mengatakan ini berbadana hukum harus berdasarkan surat keputusan (SK) Kementerian Hukum dan HAM. Faktanya yang mereka sampaikan itu setelah kita buktikan dalam persidangan, itu bukan SK Kemenkum HAM melainkan Akte pendirian Notaris, yang berbeda dengan yang kita sampaikan. Jadi ini belum memiliki legimitit formil. Kemudian yang kedua terkait uang, kita tadi bisa membuktikan bahwa penerimaan uang itu bukan 390, tetapi 405 juta dan itu diberikan sebelum adanya kegiatan. Berdasarkan data transfer, 2 Maret 2007, artinya uang itu sudah dinerikan sebelum ada kegiatan,” ungkapnya

Terkait kewenangan terdakwa selaku PPKm dalam pelaksanaan program pendidikan, JPU mengakui bahwa terdakwa memiliki kewenangan berdasarkan surat yang dikeuarkan Menteri. Hanya saja menurut JPU, bahwa terdakwa menyalahgunakan kewenangannya.

“Prinsip dalam sebuah kewenagan itu ada tiga, atribusi, karena undang-undang dan delegasi, penyerahan kewenangan dan mandat pelimpahan. Kalau ini sifatnya mandat sebagaimana keterangan ahli sebelumnya, dia harus melaporkan kepada pejabat yang bersangkutan dan meminta persetujuan. Ada penyelahgunaan kewenagan yang menyimpang disitu. Artinya, ketika ini persoalan mandat, tetap harus dia meminta persetujuan dari atas. 2 Januari 2007 belum menjabat jadi Pj. Apapun yang dikatakannya itu, yang penting bukti. Yang jelas, dia belum pernah Plh, yang ada Pj. 3 Pebruari 2007, ada satu bulan masanya itu, dan setelah SK dari Menteri, satu hari kemudian diganti SK itu. Kalau kewenangan, dia ada surat yang diterbitkan oleh Menteri. Cuma, surat yang dibuat ini, menyimpang dari surat Menteri,” tegasnya.
Terpisah. Menanggapi pernyataan JPU terkait SK milik Forum Provinsi NTT dan uang sejumlah Rp 405 juta, PH terdakwa, Yohanes D. Rihi mengatakan bahwa, JPU KPK harusnya  professional untuk menjalankan tugasnya sebagai penuntut umum. Alasannya, JPU harusnya membuktikan dakwaannya terhadap terdakwa dalam persidangan, bukan menetapkan tersangka, terdakwa lalu mencari bukti.

“Berharap bahwa JPU itu professional untuk menjalankan tugasnya sebagai penuntut umum. Hukumnya ialah, bahwa dalam ruang sidang, JPU punya tugas untuk membuktikan apa yang didakwakan. Karena, hal-hal yang terbukti tetapi tidak didakwakan kepada terdakwa, tidak bisa disalahkan kepada terdakwa. walaupun terbukti tetapi tidak didakwakan, terdakwa tidak bisa dipersalahkan, dia harus dibebaskan, karena itu diluar dakwaan. Dia tidak boleh jadi tersangka, terdakwa baru cari bukti, ini kan baru dia dapatkan sekarang. Fakta itu, yang dia omongin itu tidak ada kaitannya dengan terdakwa. itu kaitannya uang dari Alim dikirim ke Simon lewat John. Silahkan ditanyakkan kepada Alim, Simon dan John bukan kepada terdakwa. Dia (JPU) tidak boleh menyimpulkan bahwa ada aliran dana ke terdakwa. Kurang professional sekali, JPU dari KPK tetapi membuktikan hal-hal yang tidak didakwkan,” kata Yohanes.

Terkait kelengkapan dokumen berupa SK Kemenkum HAM milik Forum Provinsi, PH terdakwa mengatakan dengan tegas bahwa hal itu bukan kewenangan terdakwa. Alasannya bahwa, Pembentukan Forum bukan oleh terdakwa melainkan SK Kepala Dinas Pendidikan dan surat dari Forum pusat (Jakarta).

“Forum itu sudah terbentuk, ada aktenya dan ada surat dari pusat untuk membentuk Forum di tingkat Provinsi. Bahwa tidak terdaftar di Kemenkum HAM, itu bukan tugas dari terdakwa, karena pembentukan Forum itu ditingkat pusat, maka itu tugas dari Forum pusat. Karena Forum itu tidak bisa dibentuk dengan Akte tersendiri. Forum itu dibentuk dengan satu Akte Notaris yaitu dipusat dan berlaku untuk semua daerah. Kalau itu tidak didaftarkan, bukan tugas kita. Tidak adanya SK Kemenkum HAM dalam dokumen tersebut, itu bukan tugas PPKm ataupun tugas dari Forum di Provinsi, karena mereka itu mendapat kiriman dari pusat. Dokumen itu kan dikirim dari Forum pusat. Yang bentuk bukan terdakwa tetapi SK Kepala Dinas. Jadi tidak ada kewajiban bagi terdakwa untuk meneliti itu,” katanya dengan tegas. (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top