0
Foto atas, saksi Sapto(baju batik) bersama terdakwa Hendrik saat dihadapan Majelis melihat Bukti dari JPU dan foto bawah, saksi Pasaru Palembangan

beritakorupsi.co – Pada Jumat, 9 Juni 2017, JPU (Jaksa Penuntut Umum) dari Kejaksaan Tinggi – Jawa Timur (Kejati Jatim), menghadirkan saksi kunci di persidangan dalam kasus perkara Korupsi dana Hibah Pilgub Jatim tahun 2013 lalu, yang merugikan keuangan negara sejumlah Rp 5,3 milliar dari total anggaran sebesar Rp 11 milliar yang bersumber dari dana NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah) APBD Jatim, Khusus untuk dipergunakan oleh Bawaslu Jatim dalam tahapan pelaksanaan Pilkada.

Sapto, adalah saksi kunci dalam perkara Korupsi dana Pilgub Jatim yang menyeret 14 orang terdakwa, dan 10 dantaranya sudah di Vonis terlebih dahulu oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor. Karena perkara ini dibagi menjadi 4 “jilid”, walau penyidikan dan penetapan tersangka yang dilakukan oleh penyidik Polda Jatim bersamaan pada tahun 2015 lalu.

Andaikan 14 terdakwa dalam perkara Korupsi Bawaslu Jatim ini disidangkan bersama-sama,  seperti kasus Korupsi dana Pilpres (pemilihan Presiden) tahun 2014, yang merugikan keuangan negara sejumlah Rp 12 milliar di KPU (Komisi Pemilihan Umum) Jatim yang menyeret 10 orang terdakwa, bisa jadi akan lebih “terang benderang”.

Memang, dalam kasus Korupsi Bawaslu Jatim ini ada dua hal, yang pertama mengenai pengadaan fiktif berupa pembuatan Spanduk sebanyak 2400 pcs, pengadaan buku panduan, pengadaan kaos, yang menyeret 4 rekanan, 1 calo dan 6 dari Bawaslu serta kasus kedua adalah perjalanan dinas yang menyeret pejabat-pejabat Bawaslu termasuk Ketua Bawaslu Jatim Dr. Sufiyanto yang divonis bebas.

Dalam kasus ini terjadi pada tahun 2013 lalu. Untuk pertama kalinya, Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) menerima dana Hibah dari APBD Pemrov. Jatim dalam bentuk NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah) untuk pelaksanaan Pilgub Jatim 2013 sebesar Rp 142 milliar, dan 11 milliar rupiah dipergunakan oleh Bawaslu Jatim untuk pelaksanaan tahapan Pilgub, dan sisanya dipergunakan oleh 38 Panwaslu (Panitia Badan Pengawas Pemilu) Kabupaten/Kota se-Jawa Timur. Dan tahun yang sama, Bawaslu juga menerima dana APBN untuk pelaksanaan Pilpres sekitar awal tahun 2014.

Dana sebesar Rp 11 M yang dipergunakan Bawaslu Jatim untuk pengadaan barang dan jasa diantaranya, mencetak Spanduk sebanyak 2.400.000 dengan 5 tahapan, mencetak buku panduan dan kaus sebanyak 900 potonng termasuk untuk perjalanan dinas oleh Bawaslu Jatim. Dana tersebut baru dicairkan sekitar Maret 2013, sementara Bawaslu sudah mulai melaksanakan tahapan Pilgub pada Januari 2013.

Untuk pengadaan barang dan jasa di Bawaslu Jatim, Amru, selaku Sekretaris yang juga menjabat sebagai KPA (Kuasa Pengguna Anggaran), menunjuk CV Canopus untuk mengerjakan 2.400 Spanduk untuk 5 tahapan yang nilanya masing-masing tahapan dibawah 200 juta rupiah, termasuk untuk mencetak buku panduan juga nilanya dibawah 200 juta rupiah. Sehingga PL (Penunjukkan Langsung) CV Canopus oleh KPA dianggap tidak menyalahi Peraturan Presiden (Perpres) No 54/2010 dan perubahan Perpres No 70/2012 tentang pengadaan Barang dan Jasa.

Ternyata dalam pelaksanaan, ada 4 profil CV (rekanan) yang dipinjam Pasaru Palembangan dan Anang Kusaeni atas perintah Hendrik tanpa sepengetahuan Amru. Kemudian profil CV tersebut diserahkan kepada Samudji Hendrik Susilo Bali (Hendrik). Hendrik menyuruh Sapto selaku stafnya, untuk mengerjakan dokumen-dokumen pengadaan tersebut dengan mencontoh File yang diberikan Hendrik. Pada hal, Hendrik mengetahui, kalau CV Canopus telah mengerjakan Spanduk dan buku dan sudah dilakukan pembayaran di Kantor Bawaslu. Hal ini terungkap dalam persidangan Jilid I. Disinilah menjadi “biang kerok” terjadinya kasus yang menyeret 14 orang terdakwa mulai dari Jilid I hingga Jilid IV ini.

Dihadapan Majelis Hakim yang diketuai Hakim Rochmad, saksi Sapto mengatkan bahwa, dirinyalah yang mengerjakan dokumen-dokumen pengadaan atas perintah Hendrik. Dia (Sapto) mengakui, dirinya hanya mengerkan sesuai nilai anggaran dalam kontrak yang diterimanya dari Hendrik.

“Saya yang mengerjakan dokumen kontrak atas perintah Hendrik. Filnya sudah ada, jadi hanya mengerjakan. Saya tidak membuat nilainya karena sudah ada nilai anggarannya. Saat mengerjakan, awalnya saya diawasi oleh Hendrik. Tapi selanjutnya tidak. Kata Hendrik, ini sesuai perintah atasan,” kata Sapto menjelaskan kepada Majelis Hakim.

Apa yang dijelaskan Sapto dalam jilid IV ini, sama dengan keterangannya pada saat jilid I dengan terdakwa Amru.

Selain Sapto, JPU juga menghadirkan saksi Pasaru Palembangan selaku Konsultan Keuangan. Kepada Majelis Hakim, Pasaru menjelaskan terkait dokumen kontrak, bahwa yang membuat adalah Hendrik. Apa yang dilakukan Hendirik, menurut saksi adalah atas perintah atasan. Saat ditanya JPU atasan yang dimaksud dalam hal pengadaan, saksi menyebut nama Amru.

“Hendrik mengatakan kalau itu atas perintah atasan. Kalau atasannya adalah Pak Amru,” kata Pasaru.

Ada yang Aneh dalam perkara ini. Dokumen CV Canopus selaku rekanan yang ditunjuk oleh Amru termasuk hasil audit BPKP atas permintaan Sekretaris Bawaslu, tidak dijadikan menjadi bukti dalam perkara ini. yang lebih anehnya lagi, Pegawai BPKP Jatim yang menjadi Ahli dalam kasus Jilid II, membuat keterangan palsu dalam persidangan jilid II. Bahkan ahli dari BPKP itu sempat diancam akan dilaporkan ke Polisi oleh Suryono Pane selaku Penasehat Hukukum terdakwa.

Tidak hanya itu. Beberapa saksi dari Panwaslu Kabupaten/Kota yang dihadirkan di persidagan Jilid II mengakui di hadapan Majelis Hakim bahwa, dana yang semula adalah dana perjalanan dinas, yang dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) dikatakan menjadi dana THR (Tunjangan Hari Raya) adalah, karena para saksi mendapat tekanan dari penyidik Polda Jatim. Dan masing-masing saksi diminta mengembalikan dana tersebut ke penyidik. Kalau para saksi tidak mau mengembalikan, diancam akan disalahkan.

Belum lagi keterangan saksi dari salah seorang Manager Hotel di Malang yang dipakai Bawaslu Jatim dalam tahapan Pilgub yang mengatakan kepada Majelis Hakim bahwa, sisa anggaran sebesar Rp 160 juta dikembalikan kepada Hednrik dalam dua tahap.

Dalam persidangan (Jumat, 12 Pebruari 2013) juga terrungkap atas keterangan saksi yang juga terdakwa, Ahmad Khusaini, mengatakan bahwa, yang meminjam profil CV adalah dirinya atas perintah Samudji Hendrik Susilo Bali dan Pasaru Palembangan dengan imbalan uang sebesar 300 ribu rupiah.

“Yang meminjam profil itu saya atas perintah pak Hendrik dan pak Saru (Pasaru Palembangan). Saya dikasih uang 300 ribu oleh pak Hendrik. Saya kenal pak Hendrik dari pak Saru. Saya sudah kenal lama dengan Pasaru,” kata Khusaini kepada Majelis Hakim saat itu.

Namun ada yang menjadi “teka teki” dalam keterangan saksi/terdakwa Khusaini dan Gatot (selaku Bendahara) yakni, tentang pelunasan kepada rekanan sebesar Rp 669.810.000. Pembayaran atau pelunasan sebesar Rp 669.810.000 itu sesuai kontrak yang ada atas nama CV Singgasana Putih dan CV Jatayu Era Global adalah, CV yang dipinjam Khusaini.

Sementara nilai kontrak yang sah atas nama CV Canopus, adalah sebesar Rp 221.426.000 dibayarkan langsung oleh bendahara. Keterangan Khusaini dan Gatot dalam persidangan, bahwa uang sejumlah Rp 669.810.000 dimasukkan kedalam plastik kresek oleh Gatot, kemudian diletakkan diatas meja kerja Amru, setelah terdakwa Khusaini menandatangani kwitansi atas permintaan Amru.

Mengapa pembayaran dan penandatanganan kwitansi kontrak sebesar Rp 669 juta lebih, kepada Khusaini, sementara kehadiran terdakwa Khusaini di Bawaslu adalah selaku “calo” peminjam profil CV atas perintah Hendrik dan Pasaru.

Pada hal, sebelumnya sudah ada pembayaran yang dilakukan oleh terdakwa Gatot selaku Bendahara kepada terdakwa Khusaini sebesar Rp 49 juta, yang menurut terdakwa Khusaini, bahwa uang tersebut diberikan kepada Hendrik. Terdakwa Khusaini hanya menerima imbalan sebesar 300 ribu puiah. Faktanya, keterangan terdakwa Khusaini sudah ada perubahan saat di penyidikan.

Berdasar informasi, terdakwa Amru akan dihadirkan sebagai saksi pada persidangan, Senin, 12 Juni 2017.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top