0
Ahli Hukum PPATK dan Ahli Hukum TPPU




 beritakorupsi.co – Akankah penyidik dan Pimpinan KPK, benar-benar menegakkan  hukum tanpa pandang bulu dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), yang menyeret Wali Kota (non Aktif) Madiun, Bambang Irianto ?

Sebab, kasus yang mejerat Bambang Irianto, dapat menyeret beberapa orang diantaranya, “wanita teman akrab” terdakwa Bambang Irianto yakni, Liana Rahmawaty, istri dan anak serta adik kandung terdakwa, termasuk para pejabat Kota Madiun, mulai dari seluruh SKPD (Kepala Dinas), Rekanan/Kontraktor, seluruh anggota DPRD dan pejabat Forpimda (Forum Pimpinan Daerah) Kota Madiun yang “memberi dan menerima uang suap”, dimana para pejabat tersebut, mengerti dan memahami tentang hukum terutama Undang-Undang Korupsi.

Ahli Hukum LKPP
 Anehnya, apakah para pejabat Kota Madiun yang mengerti dan memahami tentang hukum, namun akan “terbebas” dari jeratan hukum karena adanya kebijakan hukum ?. seperti yang disampaikan JPU Fitroh Rohcahyanto dari KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) kepada media ini seusai persidangan pada beberapa waktu lalu (Jumat, 16 Juni 2017).

“Diproses atau tidak, dalam penegakan hukum kan ada kebijakan, karena ada etikat baik mengembalikan seluruhnya itu (maksudnya pengembalian uang yang diterima para pejabat),” ujar JPU Fitroh, Jumat, 16 Juni 2017.

Saat ditanya lebih lanjut, terkait kebijakan dalam penegakan hukum Khususnya dalam kasus Korupsi dengan terdakwa Bambang Irianto, dimana para pejabat Kota Madiun yang mengerti hukum namun menerima ratusan juta “uang haram” yang tidak ada aturan atau istilah “menerima suap”, kemudian dikembalikan setelah ada penyidikan yang dilakukan oleh KPK. Lalu para pejabat tersebut pun tak tersentuh hukum, bila dibandingkan dengan beberapa tersangka/terdakwa yang yang bukan pejabat namun melakukan hal yang sama, dan tidak mengerti hukum atau karena penyidiknya yang berbeda, lalu sangsi pidana pun harus tetap berjalan ?

Ahli Hukum Administrasi Negara
 “Betul, penegakan ini kan Katusitik. Kalau ini kan jelas. Kalau seluruh anggota Dewan tidak tau. Barangkali yang dimaksud adalah pasal 4 (UU Korupsi.red), pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana seseorang. Kalau konteks ini kan gratifikasi. Apa yang mereka terima adalah gratifikasi. Kita ambil yang sebetulnya, pola yang paling besar. Kalau kita bicara gratifikasi oleh Wali Kota, berapa orang yang harus kita proses kalau bicara dari proses hukum. Seluruh pemberian, seluruh SKPD, seluruh Kontraktor, seluruh anggota Dewan, apakah harus diproses masuk semua,’ tutur JPU Fitroh dengan nada bertanya.

Namun JPU Fitroh mengakui, apabila penegakan hukum dilakukan secara normative dalam kasus Korupsi Bambang Irianto, maka semua pejabat Kota Madiun bisa masuk penjara.

“Kalau secara normative, semuanya kena (maksudnya jadi tersangka),” jawabnya kemudian.

Hal senada juga disampikan JPU Feby Dwiyandospendy, kepada media ini seusai persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan 4 (Empat) orang Ahli yang dihadirkan JPU KPK diantaranya, Ahli LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan barang/jasa Pemerintah), Ahli PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), Ahli TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) dan Ahli Administrasi Negara, pada Selasa, 4 Juli 2017.

Feby menjelaskan, PPATK berpendapat bahwa transaksi-transaksi yang bukan atas nama dirinya, ketika diketahui sumbernya itu dari tindak pidana, maka patut diduga telah terjadi pencucian uang.

“Tinggal terdakwa apakah dapat membuktikan, kalau itu bukan dari hasil tindak pidana. Kalau kami kan sudah menyatakan dalam dakwaan itu, sumbernya itu dari hasil tindak pidana, pasal 12 B atau gratifikasi menurut saksi di persidangan,” ujar Feby.

Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Saat ditanya, apakah kasus TPPU dapat menyeret “wanita teman akrab” terdakwa Bambang Irianto, yakni Liana Rahmawaty, menjadi tersangka terkait aliran dana yang diterimanya. Feby menjelaskan, bahwa dari fakta persidangan, semua penerima TPPU yang disebut dengan istilah get hiver dalam pasal 5 (UU No 8/2010 tentang TPPU) itu bisa.

“Kita belum menentukan sikap itu. Dari fakta persidangan, semua penerima TPPU yang disebut dengan istilah get kiver dalam pasal 5 (UU No 8/2010 tentang TPPU) itu bisa. Jadi ada kemungkinan menyeret yang lain,” ungkapnya.

Kasus TPPU bukan saja dapat menyeret Liana Rahmawaty, melainkan beberapa orang. Namun JPU Feby menjelaskan bahwa, kualifikasinya harus dilihat dulu dari pengetahuannya get kifer itu.

Saat disinggung, apakah istri, anak dan adik kandung terdakwa yang juga anggota DPRD termasuk anggota DPRD lainnya serta para pejabat Forpimda yang diduga turut menerima aliran dana dari terdakwa, yang berasal dari hasil tindak pidana, dapat diminta pertanggung jawaban hukum ?.  JPU Feby menjelaskan, tergantung dari keterangan saat diperiksa sebagai terdakwa.

“Kita liha nanti dari hasil pemeriksaan terdakwa. Karena pemberian uang ke pihak-pihak lain kan hanya trdakwa yang tau. Beberapa saksi mengatakan, memang betul untuk peruntukannya untuk si A si B si C tetapi yang menyerahkan kan terdakwa. kecuali yang anggota DPR itu, akan kita urai nanti dalam tuntutan. Jadi akan jelas nanti saat dituntutan,” pungkasnya.

Terpisah. Menanggapi hal itu, Penasehat Hukum terdakwa Bambang Irianto, Indra Priangkasa, menjelaskan bahwa, terkait pendapat Ahli dari LKP, seharusnya PT Lince itu harusnya digugurkan. Ini dalam ranah tanggung jawab pihak pengadaan, panitia lelang atau PPKm bukan tanggung jawab Kepala Daerah.

“Ini pendapat ini nggak membumi. Dia tidak sadar bahwa ketika lelang ternyata yang dimenangkan yang terendah, tentu ada proses sengketa ditingkat pengadaan. Jadi pendapat Ahli dari LKPP itu tidak membumi. Penuntut Umum bisa nggak mebuktikan bahwa dibelakang PT Lince itu ada orang lain. Harus dibuktikan dong, jangan hanya ngomong. Ini tanggung jawab pejabat pengadaan atau PPKm ,” ucapnya.

Mengenai mendapat Ahli dari TPPU, indra menjelaskan, bahwa ada pertanyaannya yang tidak dapat dijelaskan oleh Ahli.

“Didalam UU TPPU harus dibuktikan. Penyelidikan TPPU harus dilakukan oleh PPATK. Tadi saya tanya. Ada nggak penyidikan terkait TPPU ini, penyidik menerima LHA atau LHB dari PPATK. Dia nggak tahu. Kata kuncinya berarti, dalam penyidikan TPPU harus diawali dengan produk dalam bentuk LHA, LHB yang dibuat oleh PPATK. Itu perintah Undang-undang. 

“Kalau dari semua keterangan atau pendapat dari Ahli tadi, semua normative. Kalau dihiunungkan dengan fakta persidangan, keterangan-keterangan Ahli, selama dia ditanya berdasarkan fakta persidangan, dia akan memberikan jawab yang benar,” ucapnya.  (Redaksi

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top