Jakarta, beritakorupsi.co - Setya Novanto, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPR) dan Ketum Partai Golongan Karya (Golkar), ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai Tersangka kasus korupsi KTP-elektronik. Penetapan status itu menandakan KPK terus mengembangkan dan mengejar aktor-aktor yang turut diduga menerima uang dalam persekongkolan pengadaan KTP-el mengacu kepada keterangan saksi dan fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
Novanto disangkakan melakukan tindak pidana Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang ancaman pidana maksimalnya adalah hukuman seumur hidup (dalam keadaan tertentu dapat dihukum mati). Keterlibatan Setya dapat dilacak sejak awal persidangan melalui pengakuan saksi seperti pertemuan di Grand Melia (SN, Kemendagri dan Andi Narogong), Kesaksian Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tanos yang mengaku pernah dua kali menemui Setya Novanto, kesaksian Johanes Richard Tanjaya, yang merupakan salah satu tim IT yang mengetahui jatah 7 persen untuk SN dkk.
Dengan kesaksian dan alat bukti yang dimiliki KPK, keterlibatan SN dalam kasus KTP-el menjadi sangat terang benderang. Aroma persekongkolan penganggaran hingga pengadaan terasa kentara dengan permainan SN bersama Konsorsium yang dikendalikan Andi Narogong.
Tentu saja tuduhan melakukan korupsi akan semakin mencoreng citra DPR, apalagi saat ini yang bersangkutan berstatus sebagai pimpinan DPR. Jika dalam kasus Papa Minta Saham, Setya mengundurkan diri, maka sudah selayaknya yang bersangkutan mundur sebagai Ketua DPR untuk menghadapi proses hukum.
Pada saat yang sama, status hukum Novanto pastinya akan berdampak kepada sikap politik yang harus ditempuh Golkar secara kelembagaan, kondisi hukum tata negara yang harus dihadapi DPR, dan tindakan hukum yang harus pula ditempuh KPK. Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) perlu menjelaskan langkah-langkah hukum dan politik yang terkait kasus tersebut sebagai berikut:
1. DPR dapat memberhentikan Setnov dengan mengacu pada ketentuan Pasal 87 ayat (1) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Berdasarkan ketentuan tersebut Pimpinan DPR dapat diberhentikan karena tiga hal:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau
c. diberhentikan
Ketentuan tentang “diberhentikan” itu diatur lebih lanjut dalam ayat (2) ketentuan yang sama bahwa pimpinan DPR dapat diberhentikan apabila diusulkan oleh Partai Golkar.
Apabila Partai Golkar mengusulkan pemberhentian Novanto, maka berdasarkan
2. ketentuan Pasal 87 ayat (3) UU MD3, maka kursi Novanto sebagai Ketua DPR dapat diisi oleh salah satu pimpinan DPR yang ada saat ini, dengan status sebagai pelaksana tugas (Plt) Ketua DPR sampai ditunjuk Ketua DPR defenitif menggantikan Novanto;
3. Partai Golkar penting untuk memberhentikan Novanto dikarenakan sebagai partai besar, Golkar akan memerlukan sosok pimpinan yang fokus dalam menjalankan tugas. Apalagi tahun-tahun politik yang semakin dekat, termasuk pembahasaan rancangan undang-undang Pemilu yang memasuki fase pengambilan keputusan terakhir, membutuhkan seorang pemimpin yang fokus menjalankan roda organisasi partai. Status tersangka Novanto akan menguras waktu, tenaga, dan pikirannya untuk menyelesaikan kasusnya di KPK. Pilihan Golkar untuk memberhentikan Novanto penting, selain berupaya membenahi partai dari anggotanya yang bermasalah dalam kasus korupsi, juga merupakan langkah yang penting untuk memperkuat organisasi partai di tahun politik yang sangat luar biasa ini;
4. Partai Golkar harus memberikan ruang kepada Novanto untuk fokus menyelesaikan kasus hukum yang menjeratnya. Jika Golkar tetap mempertahankan Novanto, pastinya akan menganggu konsolidasi dan jalannya organisasi partai. Bahkan, bukan tidak mungkin kepercayaan publik terhadap partai politik, khususnya Partai Golkar akan semakin menurun, karena seorang yang sudah ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi masih menjabat ketua umum, sekaligus Ketua DPR. Sikap tegas Golkar tidak terkait dengan perkara Novanto dapat ditunjukan dengan memberhentikan Novanto sebagai Ketua DPR;
5. Sikap KPK dalam perkara ini harus lebih tegas dengan menahan Novanto, apalagi terhadap Novanto dituduhkan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor yang ancaman pidananya maksimal seumur hidup (bahkan dalam keadaan tertentu dapat dikenakan sanksi hukuman mati). Selain itu, penahanan Novanto penting untuk segera dilakukan, untuk mempercepat penanganan perkara, serta menghindari potensi seorang tersangka menghilangkan barang bukti dan melarikan diri, sehingga sulit untuk diketahui keberadaannya. Karena, meskipun Novanto sudah dicekal untuk bepergian keluar negeri, tindakan melarikan diri tidak bisa dipandang sebagai upaya melarikan diri keluar negeri saja. Seorang tersangka kasus korupsi yang berada di wilayah Republik Indonesia juga sangat berpotensi menghilang, dan sulit untuk diketahui keberadaannya, jika tidak segera ditahan oleh KPK.
Sumber : Pusat Studi Konstitusi Fak. Hukum Unand & Indonesia Corruption Watch
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar
Tulias alamat email :