0
 #Dalam Persidangan, Tim PH Terdakwa Meminta JPU KPK Mengembalikan Uang  Fee Sebesar Rp 50 Juta Yang Disita #  
beritakorupsi.co – Sidang perkara dugaan Korupsi Dana Dekonsentrasi Dirjen PLS Dispendikbud Provinsi NTT pada tahun 2007 lalu, yang menelan anggaran dari APBN sebesar Rp 77.675.354.000 milliar, dan merugikan keuangan negara berdasarkan hasil audit BPK RI senilai Rp 4.292.378.200, menunggu Vonis dari Majelsi Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya.

Sebab, pada Senin, 24 Juli 2017, Tim Pensehat Hukum (PH) terdakwa Marthen Luter Dira Tome (52), Bupati (non aktif) Sabu-Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT), telah membacakan Replik dihadapan Majelis Hakim yang di Ketuai Hakim Tahsin, atas Duplik dari JPU (Jaksa Penuntut Umum) KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) pada persidangan, Jumat, 21 Juli 2017.

Proses persidangan ini memang begitu lama sejak Senin, 3 April 2017. sebanyak 55 orang saksi dari Atambua, Flores dan Sabu Raijua termasuk Ahli dihadirkan JPU dari KPK serta 14 orang saksi dihadirkan Tim Penasehta Hukum (PH) terdakwa Marthen Luter Dira Tome (52), Bupati (non aktif) Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Sementara penyidikan dilakukan sejak 2007 lalu, oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Kupang, atas laporan dari salah seorang anggota DPR RI yang juga pemilik Anita Media Center (AMC) yakni, Anita Yacob Gah. Kemudian pada tahun 2009 diambil alih oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT, dan sempat dihentikan karena tidak cukup bukti.

Dan akhirnya, pada tahun 2015, kasus ini pun diambil alih oleh penyidik KPK dan menetapkan mantan Kasubdin PLS Dispendikbud NTT, Marthen Luter Dira Tome sebagai tersangka. Sebelum KPK menyeret Marthen Luter Dira Tome ke Pengadilan Tipikor Surabaya, KPK sempat kalah di Praperadilan Pengadilan Negeri (PN) Jakara Selatan pada 2016. Sebagai lembaga anti rasuah, KPK tak mau kalah begitu saja, sehingga KPK kembali menetapak Marthen Luter Dira Tome, yang menjabat sebagai Bupati Sabu Raijua 2 Periode, sebelum KPK melaksanakan putusan Majelis Hakim Praperadian PN Jakarta Selatan.

Hal ini seperti yang dsampaikan PH terdakwa dalam persidangan dihadapan Majelis Hakim, dengan agenda pembacaan Pledoi (Pembelaan) atas tuntutan JPU KPK terhadap terdakwa pada sidang minggu lalu.

Anenya, tidak hanya Marthen Luter Dira Tome ditetpakan sebagai tersangka oleh penyidik KPK. Melainkan, uang sebesar Rp 50 juta sebagai fee (jasa) Tim Pengacara untuk mendampingi Marthen Luter Dira Tome pun turut disita, dua minggu setelah KPK menangkap Mathen Luther Dira Tome saat dirinya ke Jakarta, untuk menanyakkan statsunya sebagai tersangka ke penyidik KPK.

Pada hal, uang sebesar Rp 50 juta tersebut, tidak ada kaitannya dengan kasus yang menyeret terdakwa, atau kasus ini bukan kasus OTT (Operasi Tangkap Tangan) maupun TPPU (Tindak Pidana Pencuian Uang). Melainkan murni sebagai jasa beberapa orang pengacara untuk mendapingi terdakwa sejak penyidikan hingga persidangan.

Hal ini diungkapkan Tim PH terdakwa Marthen Luter Dira Tome, Yohanis D Rihi dkk, dalam persidangan, dengan agenda pembacaan Replik dihadapan Majelis Hakim, pada Senin, 24 Juli 2017.

“Terdapat barang bukti berupa uang sebesar Rp 50.000.000, yang disita oleh Penyidik Tindak Pidana Korupsi dari tangan para pengacara yang diserahkan oleh Advokat Abdul Wahab, setelah 2 minggu pengkapan terhadap terdakwa. Ternyata, sesuai fakta persidangan, tidak ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang didakwakan kepada terdakwa. Oleh karena itu, melalui duplik ini, terdakwa dan Tim Penasihat Hukum terdakwa, memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim, untuk memerintahkan Penuntut Umum untuk menyerahkan kembali barang bukti tersebut kepada terdakwa atau Tim Penasihat Hukumnya,” kata salah PH terdakwa kepada Majelis Hakim.

Apakah uang sebesar Rp 50 juta yang menjadi fee para pengacara terdakwa adalah bagian dari hasil Korupsi terdakwa sendiri, sehingga uang tersebut disita dan dijadikan sebagai barang bukti ? Atau, apakah ini hal baru dalam penanganan kasus Korupsi yang ditangani oleh KPK, sehingga uang jasa pengacara untuk mendampingi tersangka turut disiata ?

Tidak hanya itu. Tim PH terdakwa juga menyatakan dalam Repliknya kepada Majelis Hakim bahwa,  BPK RI dalam melakukan audit, tidak melakukan wawancara secara langsung terhadap 11.100 penyelenggara kelompok belajar, terkait pemotongan transport penyelenggara oleh terdakwa sebesar Rp 50.000/kelompok, untuk diberikan kepada Camat, Lurah/Kepala Desa dan Kepala Dinas cabang. Melainkan hanya berdasarkan data dari penyidik KPK, atas keterangan beberapa saksi dalam Berita Acara Penyidikan (BAP) yang terdiri dari 14 FTLD (Forum Komunikasi Tenaga Lapangan Dikmas) Kabupaten/Kota yang membawahi 840 penyelenggara kelompok belajar.

“Penentuan nilai kerugian keuangan negara tersebut menurut Ahli DR. Achsin, adalah tidak akurat, jelas, berimbang dan relevan. Sehingga tidak dapat digunakan sebagai pedoman untuk menentukan nilai kerugian keuangan negara. Lagipula, jika dikaitkan pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, maka kerugian negara yang ditentukan oleh BPK RI, tidak bersifat nyata dan pasti jumlahnya,” ujar PH terdakwa

Menurut PH terdakwa dalam Repliknya, seharusnya jumlah FTLD di Prov. NTT sebanyak 16 FTLD Kabupaten/Kota, sedangkan jumlah penyelenggara kelompok belajar adalah 11.100. Berarti, BPK RI dalam menentukan kerugian keuangan negara sebesar Rp. 3.330.000.000, hanya didasarkan atas penarikan sampel sebanyak  14 FTLD untuk mewakili populasi sebanyak 16 FTLD dan 840 penyelenggara kelompok belajar mewakili 11.100 penyelenggara kelompok belajar.

“Bahwa besarnya dana bantuan penyelenggaraan pendidikan keaksaraan atau dalam Pos Pelaksanaan Program dan Anggaran Dana Dekonsentrasi Tahun 2007, dan Petunjuk Lapangan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi NTT disebut, transportasi penyelenggara yang ditetapkan dalam RKA-KL Satuan Kerja Dispendikbud Prov. NTT sebesar Rp. 900.000/kelompok. Dana transportasi penyelenggara sebesar Rp 900.000  dalam RKA-KL Satuan Kerja Dispendikbud Proponsi NTT atau disebut Bantuan Penyelenggara Pendidikan Keaksaraan, sama dengan yang ditetapkan dalam Petunjuk Lapangan yang dikeluarkan oleh Dispendikbud Propinsi NTT, yaitu Rp. 900.000/kelompok ,”  lanjutnya               

 

Tim PH Terdakwa Tuding JPU KPK Menyalahgunakan Kewenangan Menghabiskan Anggaran Dalam Proses Persidangan



Proses persidangan dari Pengadilan Tipikor Kupang ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya, menurut Tim PH terdakwa  merupakan penyalahgunaan kewenangan dari JPU KPK, yang mengakibatkan anggaran negara yang seharusnya tidak dikeluarkan untuk biaya transportasi dan akomodasi bagi 52 saksi ke Surabaya, hanya untuk memproses perkara ini.

Alasan Tim PH terdakwa yakni, tindakan JPU KPK untuk memperoleh Keputusan Mahkamah Agung RI untuk melakukan proses persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya, tidak didasarkan atas prosedur hukum yang benar. Sebab, lanjut PH terdakwa, yang mengajukan permohonan agar perkara ini disidangkan di Pengadilan Tipikor Surabaya bukalah KPK selaku JPU, melainkan Kejaksaan Negeri Kupang yang tidak memiliki hubungan dengan penuntutan perkara ini

Apa yang disampaikan oleh Tim PH terdakwa ada benarnya juga. Sebab, berdasar informasi yang didapt media ini dari beberapa saksi dan sumber saat di Pengadilan Tipikor beberapa waktu lalu terkait saksi sebanyak 52 orang yang terdiri dari, 4 orang saksi berasal dari Sabu Raijua dengan biaya per orang sekitar Rp 7 juta dikali 4 orang. Dari daratan Timur (Atambua) sebanyak 16 orang saksi dengan biaya akomondasi per orang sekitar Rp 6 juta X 16 orang dan 32 orang saksi berasal dari Flores dengan biaya per orang sekitar Rp 5 juta X 32 orang.


Menanggapi Replik Tim PH terdakwa, kepada media ini JPU KPK  Dodi Sukmono menjelaskan, ini hanya mekanisme hukum acara ada Duplik ada Replik. Terhadap tuntutan, JPU sudah bacakan surat tuntutan, kemudian dibalas dengan Pledoi (Pembelaan), lalu kita tanggapi lagi dengan Replik. Jadi ini menanggapi Duplik.

Namun saat ditanya, terkait penyitaan uang sebesar Rp 50 juta dari Tim PH terdakwa sebagai fee, dengan kasus Korupsi Dana Dekonsentrasi Derektorat Jenderal (Dirjen) PLS (Pendidikan Luar Sekolah) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dispendikbud) Provinsi NTT (Nusa Tenggara Timur) pada tahun 2007 lalu, JPU KPK ini hanya mengatakan, masih dibutuhkan sebagai banrang bakti untuk perkara lain.

“Dalam perkara ini terkait barang bukti, kita masih mengajukan untuk dikemabalikan kepada Penuntut Umum, karena masih ada perkara lain yang akan menggunakan barang bukti tersebut. Barang bukti ini masih terkait dengan perkara ini,” ujar JPU KPK Dodi.

Disinggung mengeania uang pengganti (UP) dalam surat tuntutan JPU KPK sebesar Rp 3,7 milliar yang dibebankan kepada terdakwa, JPU KPK Dodi Sukmono menjelaskan bahwa, terdakwa selaku PPKm bertanggung jawab terhada pengeluaran anggaran.

“Terdakwa dalam posis sebagai PPK. Dia bertanggung jawab terhadap penggunaan pengelauaran pencairan uang untuk program tersebut. Dan fakta persidangan ditemukan, bahwa uang-uang itu  mengalir ke orang yang tidak berhak sesuai dengan surat tuntutan kami, bahwa Camat, Kepala Desa dan seterusnya itu, bukan penyelenggara yang berhak menerima unag itu. Diperintah atau tidak, itu adalah tanggung jawabnya dia (terdakwa),” lanjutnya.

JPU KPK Dodi Sukmono mengatakan bahwa terdakwa adalah PPK namun bukan sebagai KPA (Kuasa Pengguna Anggaran). Lalu, apakah PPK yang bukan sebagi KPA, bertanggung jawab terhadap anggaran sesuai Kepres 80 tahun 2003 tentanng Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ?. Bila PPK yang bertanggung jawab terhadap anggaran, lalu apa tanggung jawab Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan PA (Pengguna Anggaran) yang bersumber dari APBN dalam Program PLS di Dispendikbud Prov. NTT tahun 2007 ?
Terpisah.  Terkait uang pengganti sebesar Rp 3,7 milliar dan uang sebanyak Rp 50 juta yang disita penidik KPK, terdakwa Marthen Luter Dira Tome maupun Yohanis D. Rihi dkk selaku PH terdakwa menjelaskan,

Bahwa uang pengganti dalam surat tuntutan JPU KPK tidak pernah diterima terdakwa dan bahkan bahkan uang tersebut berada ditangan yang berhak yakni, penyelenggara program PLS.

“Saya tidak pernah terima dan tidak melaakukan pemotongan. Dan uang utu ada ditangan yang berhak untuk menerima itu. Persoalannya adalah, ketika penyidik dan BPK tidak bertemu atau konfirmasi langsung terhadap penerima itu, jadilah seolah-olah dana itu ada disaya. Saya sebagai PPK bertanggung jawab terhadap pelaksanaan program itu. Dan program tersebut terlakasana, jauh diatas target pemerintah, dan saya bukan sebagai KPA. KPA-nya adalah Kepala Dinas kalau PA naya di Pusat (Jakarta) karena ini APBN,” jawab terdakwa.

Sementara, Yohanis D. Rihi menjelaskan terkait uang yang disita peyidik KPK bahwa, Kita merasa KPK itu melakukan perbuatan sewenang-wenang. Karena ketika KPK melakukan penangkapan terhadap terdakwa, dia tidak menemukan bukti apa-apa. Kemudian uang yang merupakan honor pengacara, diambil dua minggu setelah terdakwa di tangkap. Uang itu sebagai honor kita, kita ditelepon, disuruh untuk mengumpulakan kalau tidak saya tangkap kalian,” ungkap Yohanis menirukan telepon dari penyidik KPK

“Yang telepon itu, Hendi Kristian, ketua penyidik KPK. Karena pengacara semua pada takut, kita kumpulkan kembali dan dititiplah kepada Abdul Wahab, diserahkan ke mereka (KPK). Saya tidak tau, apakah penyitaan ini dari terdakwa atau dari pengacara, tidak ada surat penetapan penyitaan. Uang itu tidak jelas, stasnya apa. Kalau unag itu merupakan barang bukti, tentu dalam dakwaan dan penuntutan diungkapkan, apa kaitannya dengan terdakwa,” beber Yohanis.

Namun, ditanya lebih lanjut, apakah uang sebanyak Rp 50 juta yang disita penyidik KPK dari para pengacara terdakwa, dianggap sebahagian dari hasil Korupsi?. Dia (Yohanis) menjelaskan bahwa, bila hal itu yang dianggapa sebagai aliran dana dari hasil Korupsi, KPK keliru. Bahkan Dia mengungkapkan, hai ini sudah di sampiakan ke Tim Angket 


Penyitaan uang sebanyak Rp 50 juta dari para pengacara terdakwa sebagi fee, namun disita oleh KPK, hal ini pun sudah disampaikan ke Tim Angket KPK DPR.

“Uang itu tidak ada kaitannya dengan Korupsi, itu hak kita. Kita sudah laporkan ke Tim Angket KPK Di DPR,” ungkap Yohanis.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top