0

beritakorupsi.co – Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, lain “Hakim lain pula putusannya”. Ungkapan ini barangkali “tepat” dalam kasus perkara Korupsi penjualan asset daerah Pemprov. Jatim yang dijual oleh PT Panca Wira Usaha (PT PWU), yang menyeret Dahlan Iskan, selaku mantan Direktur Utama dan Wishnu Wardhana, mantan Ketua Tim Penjualan Aset pada tahun 2003 lalu, yang merugikan negara sebesar Rp 11.071.914.000.

Dalam amar putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya, tanggal 21 April 2017 menyatakan, bahwa benar, pada bulan Agustus 2003, terdapat 5 penawar yang memasukkan surat penawarannya, seolah-olah proses lelang sudah berlangsung. Sebelum dibuka penawaran lelang, 30 Agustus 2003, sudah dilakukan pembayaran oleh Sam Santoso berupa BG yang jatuh tempo pada tanggal 23 September 2003. Semua uang tersebut masuk ke PT PWU tanggal 25 September 2003.

Sehingga Majelis Hakim menyatakan, adanya rekayasa lelang mulai dari kesepakatan harga, dan pembayaran pada tanggal 30 Agustus 2003. Pada hal, persetujuan RUPS baru dilakukan pada tanggal 3 September 2003, dan taksiran harga dari lembaga terkait baru dilakukan sekitar pertengahan Oktober 2003, setelah dilakukan transaksi dan pembayaran atas asset yang terletak di Kediri dan Tulungagug. Dan negoisasi kedua, harga penjualan asset yang oleh Wishnu Wardana selaku penjual, dengan calon pembeli yang diwakili oleh Sam Santoso, baru dilakukan pada tanggal 16 Oktober 2003.

Pada hal, pembayaran sudah dilakukan pada tanggal 30 Agustus 2003. Penanda tanganan Akte No 39 tentang pembatalan atas Akte No 5 dan 6 tentang Akte jual beli, yang ditanda tangani oleh terdakwa Dahlan Iskan selaku penjual asset milik PT PWU Jatim dengan Oepoyo Sarjono dan Sam Santoso selaku pembeli setelah dilakukannya pembayaran.

Menurut Majelis Hakim bahwa, pelepasan aseet di dua tempat tesebut seluas ribuan meter persegi berupa bangunan dan tanah, tidak sesuai dengan prosedur diantaranya, harga penjualan dibawah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), tidak melibatkan tim penilai hara tanah (Appraisal), tidak melalui proses lelang, tidak membuat pengumuman di media nasional berbahasa Indonesia, sudah ada pembayaran sebelum jadwal pembukaan lelang dan pelaksanaan RUPS (rapat umum pemegang saham) serta penandatanganan Akte jual beli antara Dahlan Iskan dengan Sam Santoso, Direktur PT Sempulur Adi Mandiri (PT SAM) dan kemudian Akte tersebut dibatalkan setelah adanya pembayaran. Penanda tanganan Akte tersebut di kantor Dahlan Iskan di Graha Pena, Jalan Ahmat Yani Surabaya bukan di kantor Notaris.

Sehingga, 5 Majelis Hakim diataranya, Hakim Tahsin, selaku Ketua Majelis dengan dibantu 4 Hakim anggota antara lain, H.R. Unggul Warsomukti. S.H., M.H; DR. Andriano., S.H., M.H; Samhadi. S.H., M.H dan Sanghadi. S.H, sepakat menyatakan bahwa, terdakwa Dahlan Iskan selaku Dirut PT PWU, bersama-sama dengan Wishnu Wardana selaku Ketua Tim Pelepasan asset, adalah perbuatan yang sewenang-wenang, karena jabatan yang melekat pada dirinya.

Dalam putusan Majelis Hakim berbunyi, “Menyatakan terdakwa Dahlan Iskan, terbukti secara sah dan meyakinkan, bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan subsidair. Menjatuhkan pidana penjara selama 2 tahun denda sebesar Rp 100 juta. Bilamana terdakwa tidak membayar, maka diganti dengan kurungan selama 2 bulan. Memerintahkan agar terdakwa tetap dalam tahanan kota,” ucap Ketua Majelis Hakim Tahsin, 21 April 2017 lalu.

Anehnya, 5 Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Tinggi Surabaya, Jawa Timur yaitu, DR. Andriani Nurdin. SH., MH,; Mulijanto. SH., MH,; Syamsul Ali. SH., MH,; Irwan Rambe. SH., MH, dan H. Moch. Ichwan. SH., M.Hum, sepakat untuk membebaskan mantan menteri BUMN itu dari segala dakwaan dan menyatakan bahwa, mantaan Dirut PT PWU itu tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, melakukan tindak pidana Korupsi, sebagaimana dalam dakwaan maupun tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi – Jawa Timur (Kejati Jatim).

Yang lebih anehnya lagi, dalam putusan perkara No. 49/Pid.Sus-TPK/2017/PT Sby tanggal 31 Agustus 2017, ke- 5 Majelis Hakim PT ini justru membatalkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, No. 242/Pid.Sus-TPK/2016/PN Sby tanggal 21 April 2017.

Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi terhadap terdakwa Dahlan Iskan, disampaikan oleh Humas Pengadilan Tinggi, Untung Widarto, kepada wartwan di kantornya, pada Rabu, 6 September 2017.

"Juga membatalkan putusan Pengadilan Negeri  Tipikor Surabaya  pada Pengadilan Negeri Surabaya tertanggal 21 April 2017." ucapnya, saat jumpa pers didepan awak media.

“Dengan demikian, lanjut Untung, Pengadilan Tinggi menyatakan bahwa terdakwa Dahlan Iskan tidak terbukti secara sah dan    membebaskan terdakwa dari segala dakwaan yang dimaksud,” lanjutnya.

Untung menambahkan, saat ini Pengadilan Tinggi Surabaya sedang merapikan berkas putusan perkara tersebut, untuk diteruskan ke Pengadilan Negeri Surabaya.

"Yang jelas, putusannya sudah turun, sekarang tinggal proses administrasinya saja. Kalau soal pertimbangan kenapa dibebaskan, itu bukan wewenang saya." pungkasnya.

Terkait putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi yang lebih dulu diketahui oleh awak media sebelum diberitahukannya ke pihak PN Surabaya dan Kejati Jatim, Maruli Hutagalung, selaku Kepala Kejaksaan Tinggi - Jawa Timur pun justru merasa heran.

Hal itu dikatakannya saat dihubungi wartawan media ini melalui telepon pribadinya.

Menurut Maruli Hutagalung, seharusnya Humas PT memberitahukannya terlebih dahulu ke Pengadilan Nehgeri Surabaya dan Kejaksaan Tinggi, baru ke media. Maruli justru bertanya, ada apa dengan Pengadilan Tinggi yang terlebih dahulu mengumumkan ke media dari pada ke Pengadilan Negeri dan Kejaksaan ?

“Bagaimana saya mau menanggapi yang saya tidak tahu. Humas PT harusnya tidak boleh berkomentar terlebih dahulu sebelum menyampaikannya ke pihak Pengadilan Negeri Surabaya dan ke Jaksa. Ada apa ?,” kata Maruli dengan nada heran.

Maruli Hutagalung menambahkan, Hakim Pengadilan Tinggi hanya membaca dokumen, sementara Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya tidak hanya membaca, melainkan mendengar keterangan saksi maupun terdakwa, memeriksa bukti-bukti.

“Kalau begini, bagaimana hokum di negeri ini. Hakim PT hanya membaca dokumen, sementara Hakim Tipikor Surabaya tidak hanya membaca tetapi mendengar langsung keterangan saksi-saksi maupun terdakwa serta memeriksa bukti0bukti yang diajukan Jaksa,” ujar Maruli.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top