beritakorupsi.co – Ketua dan Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto yang di tangkap KPK dalam Operasi Tangkap Tangan pada 17 Juni 2017 lalu, tak lama lagi di adili dan saat ini sedang menunggu jadwal persidangan dan Majelis Hakim yang akan mengadilinya di Pengadilan Tipikor Surabaya.
sebab, JPU KPK telah melimpahkan berkas perkara atas nama tersangka, Purnomo (Ketua DPDR) dan Umar Faruq (Wakil Ketua DPRD) ke Pemgadilan Tipikor.
sebab, JPU KPK telah melimpahkan berkas perkara atas nama tersangka, Purnomo (Ketua DPDR) dan Umar Faruq (Wakil Ketua DPRD) ke Pemgadilan Tipikor.
Hal itu seperti yang disampaikan Humas Pengadilan Tipikor DR. Lufsiana maupun Panmud Tipikor, M. Nur saat ditemui di ruang kerjanya, pada Senin, 25 September 2017.
“Hari ini, JPU KPK telah melimpahkan berkas perkara atas nama tersangka/terdakwa Purnomo dan Umar Faruq. Untuk jadwal sidang dan Majelis Hakimnya, masih menunggu penetapan Ketau Pengadilan,” kata DR. Lfsiana.
Hal itu juga diakui oleh Panmud Pengadilan Tipikor, M.Nur. “JPU KPK barusan melimpahkan 2 berkas perkara atas nama Purnomo dan Umar Faruq,” kata Nur.
Dalam kasus ini, KPK menangkap 4 tersangka suap yakni Purnomo, Umar Faruq, Abdullah Fanani (Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto) dan Wiwit Febrianto, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Rumah (PUPR) Kota Mojokerto (saat sedang prses persidangan).
Tersangka Purnomo, selaku Ketua DPRD Kota Mojokerto bersama-sama dengan Umar Faruq dan Abdullah Fanani, selaku Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto, diduga menerima “uang suap” dari Wiwiet Febryanto, selaku Kepala Dinas PUPR Kota Mojokerto, agar Anggota DPRD Kota Mojokerto, menyetujui pengalihan anggaran dari anggaran hibah PENS (Politeknik Elektronika Negeri Surabaya) menjadi Anggaran Program Penataan Lingkungan pada Dinas PUPR Kota Mojokerto, Tahun 2017 sekitar Rp 13 miliar.
Tersangka Wiwiet Febryanto diduga sebagai pemberi “suap”, dijerat dengan pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
Dalam kasus ini, selain Wiwiet Febryanto, KPK juga menetapkan 3 tersangka lainnya yakni, Purnomo (Ketua DPRD Kota Mojokerto), Umar Faruq dan Abdullah Fanani, Kedaunya sebagai Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto.
Tersangka Purnomo, selaku Ketua DPRD Kota Mojokerto bersama-sama dengan Umar Faruq dan Abdullah Fanani, selaku Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto, diduga menerima “uang suap” dari Wiwiet Febryanto, selaku Kepala Dinas PUPR Kota Mojokerto, agar Anggota DPRD Kota Mojokerto, menyetujui pengalihan anggaran dari anggaran hibah PENS (Politeknik Elektronika Negeri Surabaya) menjadi Anggaran Program Penataan Lingkungan pada Dinas PUPR Kota Mojokerto, Tahun 2017 sekitar Rp 13 miliar.
Dari surat dakwaan JPU KPK atas nama terdakwa diketahui, bahwa Dinas PUPR Kota Mojokerto tahun 2016, dengan persetujuan M. Yunus, selaku Wali Kota Mojokerto, telah menggunakan dana talangan yang bersumber dari kas daerah untuk membiayai kekurangan pembayaran atas pekerjaan terkait, dana alokasi khusus (DAK) fisik bidang transportasi daerah sejumlah Rp 13.284.905.600 dan DAK fisik bidang infrastruktur perumahan norma air minum dan sanitasi sejumlah Rp 67.359.000.
Sehingga, seluruh kekurangan dana menjadi Rp 13.352.264.600 sebagai akibat dari tidak direalisasikannya transfer DAK Tahun Anggaran 2015 dari Kementerian Keuangan, kepada Pemerintah Kota Mojokerto, karena keterlambatan pelaporan pekerjaan DAK fisik oleh dinas PUPR.
Wali Kota Mojokerto M. Yunus, memprioritaskan pembangunan gedung Politeknik elektronika Negeri Surabaya di Mojokerto, yang telah dianggarkan dalam anggaran dinas PUPR tahun 2017 sebesar Rp 13.969.130.000, namun penganggaran Dinas PUPR tersebut, terdapat kekeliruan karena dicantumkan dalam mata anggaran belanja modal. Padahal, supaya gedung PENS dapat dihibahkan, seharusnya penganggarannya dicantumkan dalam mata anggaran belanja barang dan jasa.
Uang yang disetorkan tersangka kepada Ketua dan 2 Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto, diduga sebahagian berasal dari rekanan (Kontraktor) yakni IDC alias I (Derektur CV BP) dan DS (Direktur operasional PT AJS) yang besarnya sekitar Rp 930 juta. Dengan “imbalan” kedau rekanan itu akan diberiak proyek.
Namun sial, apa daya tangan tak sampai. Karena sebelum rencana tersebut berjalan, KPK telah “meringkus” Hanif Budi dan Umar Faruq, pada 17 Juni 2017, sekira pkl. 23.00 WIB. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :