#Terdakwa membeberkan beberapa masalah yang ditinggalkan Heri Susanto (Dirut), diantaranya kasus kapal tenggelam, kontrak kapal pertamina, kapal LDP, hutang Bank, kasus hukum 7 kapal dalam kontrak internasional yang dibawa ke Arbitrase internasional#
beritakorupsi.co – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepertinya “diuji keberanian dan ketegasan” demi menegakkan supremasi hukum pemberantasan Korupsi, untuk mengungkap beberapa kasus di PT PAL Indonesia, sebagai perusahaan strategis milik negara, seperti yang terungkap dalam persidangan, pada Jumat, 29 September 2017.
Pada Jumat, 29 September 2017, JPU KPK Mungki Hadpratikto, Ronald Ferdinand Worotikan, Budi Sarumpaet dan Irman Yudiandri menghadirkan 4 orang saksi dalam sidang perkara kasus Korupsi OTT (operasi tangkap tangan) yang dipimpin Ketua Majelis H. Tahsin. SH., MH, yang dibantu 2 anggota Majelis Hakim, yakni Hakim Ad Hock DR. Lufsiana dan Hakim Ad Hock DR. Andriano untuk terdakwa Arif Cahyana (GM Keuangan PT PAL thn 2012), Saiful Anwar (Direktur Keuangan PT PAL thn 2012) dan M. Firmansyah Arifin (Direktur Utama PT PAL sejak thn 2012).
Ke – 4 saksi tersebut diantaranya, Heri Suanto (mantan Direktur Utama PT PAL), Edi Widarto (mantan Direktur Produksi PT PAL yang saat ini menjabat Dirut PT IKI), Turitan (Direktur Pembangunan) dan Cornelius Asmono (bagian Akutansi), sementara ke- 3 terdakwa didampingi Penasehat Hukum (PH)-nya, diantaranya Gunadi Wibakso, Sigit Darmwan, G.Subiakto dan Wira.
Dari keterangan 4 orang saksi inilah, dihadapan Majelis Hakim terungkap beberapa hal diantaranya, pemberian/pembahasan Dana Komando atau disebut DK dari PT PAL ke TNI AL tanpa ada “aturan/peraturan” yang ternyata sudah ada sebelum terdakwa Firmansyah Arifin menjabat sebagai Dirut PT PAL sejak 8 Pebruari 2012 menggantikan Heri Susanto atas keputusan Pemegang Saham Nomor KEP-66/MBU/2012 tentang pemberhentian dan pengangkatan Direksi PT PAL.
Namun tragis, saat ini Firmansyah Arifin, Saiful Anwar dan Arif Cahyana mendekam di balik jeruji besi penjara setelah ditangkap KPK pada Maret lalu, kemudian diadili di Pengadilan Tipikor Surabaya. Andaikan ke- 3 pejabat perusahaan stragegis milik NKRI ini tidak tertangkap KPK, bisa jadi DK tidak akan terungkap dan akan terus berlanjut ??
Terkait DK yang masih “teka teki” karena belum terungkap siapa pencetusnya dan dengan apa dasarnya. Mantan Dirut PT PAL Heri Susanto, atas pertanyaan Majelis Hakim tidak mengakui adanya DK serta tidak pernah melaksanakannya. Ia hanya mendiskusikan, tetapi mengetahui kalau DK ada sebelum dirinya termasuk dana Harkan (pemeliharaan dan perbaikan kapal) yang nilainya ratusan juta rupiah juga dijamanya.
“Konyolnya”, tidak mengakui dan tidak pernah melaksanakan DK, tetapi pernah membahasnya dalam rapat BOD (Board of Director) saat hendak mendapatkan proyek kapal KCR (Kapal Cepat Rudal) dari TNI AL. selain itu, mantan Dirut PT PAL di tahun 2010 itu juga pernah mengajukan anggaran ke pemerintah sebesar Rp 850 milliar, dengan alasan akan menjadikan asset inventaris salah satunya membangun jaringan listrik.
“Apakah tidak pernah menyampaikannya ke Komisiaris Utama ? Dana Komando itulah yang membuat kesuliatan keuangan PT PAL bagaima itu,” tanya Majelis Hakim.
“Tidak pernah. Saya tida tau, tidak pernah melaksanakan itu tetapi saya pernah mendengar. Kalau sebelum saya itu ada. Saya hanya mendiskusikannya,” kata Heri Susanto.
Pada Jumat, 29 September 2017, JPU KPK Mungki Hadpratikto, Ronald Ferdinand Worotikan, Budi Sarumpaet dan Irman Yudiandri menghadirkan 4 orang saksi dalam sidang perkara kasus Korupsi OTT (operasi tangkap tangan) yang dipimpin Ketua Majelis H. Tahsin. SH., MH, yang dibantu 2 anggota Majelis Hakim, yakni Hakim Ad Hock DR. Lufsiana dan Hakim Ad Hock DR. Andriano untuk terdakwa Arif Cahyana (GM Keuangan PT PAL thn 2012), Saiful Anwar (Direktur Keuangan PT PAL thn 2012) dan M. Firmansyah Arifin (Direktur Utama PT PAL sejak thn 2012).
Ke – 4 saksi tersebut diantaranya, Heri Suanto (mantan Direktur Utama PT PAL), Edi Widarto (mantan Direktur Produksi PT PAL yang saat ini menjabat Dirut PT IKI), Turitan (Direktur Pembangunan) dan Cornelius Asmono (bagian Akutansi), sementara ke- 3 terdakwa didampingi Penasehat Hukum (PH)-nya, diantaranya Gunadi Wibakso, Sigit Darmwan, G.Subiakto dan Wira.
Dari keterangan 4 orang saksi inilah, dihadapan Majelis Hakim terungkap beberapa hal diantaranya, pemberian/pembahasan Dana Komando atau disebut DK dari PT PAL ke TNI AL tanpa ada “aturan/peraturan” yang ternyata sudah ada sebelum terdakwa Firmansyah Arifin menjabat sebagai Dirut PT PAL sejak 8 Pebruari 2012 menggantikan Heri Susanto atas keputusan Pemegang Saham Nomor KEP-66/MBU/2012 tentang pemberhentian dan pengangkatan Direksi PT PAL.
Namun tragis, saat ini Firmansyah Arifin, Saiful Anwar dan Arif Cahyana mendekam di balik jeruji besi penjara setelah ditangkap KPK pada Maret lalu, kemudian diadili di Pengadilan Tipikor Surabaya. Andaikan ke- 3 pejabat perusahaan stragegis milik NKRI ini tidak tertangkap KPK, bisa jadi DK tidak akan terungkap dan akan terus berlanjut ??
Terkait DK yang masih “teka teki” karena belum terungkap siapa pencetusnya dan dengan apa dasarnya. Mantan Dirut PT PAL Heri Susanto, atas pertanyaan Majelis Hakim tidak mengakui adanya DK serta tidak pernah melaksanakannya. Ia hanya mendiskusikan, tetapi mengetahui kalau DK ada sebelum dirinya termasuk dana Harkan (pemeliharaan dan perbaikan kapal) yang nilainya ratusan juta rupiah juga dijamanya.
“Konyolnya”, tidak mengakui dan tidak pernah melaksanakan DK, tetapi pernah membahasnya dalam rapat BOD (Board of Director) saat hendak mendapatkan proyek kapal KCR (Kapal Cepat Rudal) dari TNI AL. selain itu, mantan Dirut PT PAL di tahun 2010 itu juga pernah mengajukan anggaran ke pemerintah sebesar Rp 850 milliar, dengan alasan akan menjadikan asset inventaris salah satunya membangun jaringan listrik.
“Apakah tidak pernah menyampaikannya ke Komisiaris Utama ? Dana Komando itulah yang membuat kesuliatan keuangan PT PAL bagaima itu,” tanya Majelis Hakim.
“Tidak pernah. Saya tida tau, tidak pernah melaksanakan itu tetapi saya pernah mendengar. Kalau sebelum saya itu ada. Saya hanya mendiskusikannya,” kata Heri Susanto.
Keterangan mantan Dirut ini tidak jauh beda dengan keterangan Plt. Direktur Keuangan yang juga menjabat sebagai Direktur SDM dan Umum, Etty Soewardani, pada sidang minggu lalu. Kepada Majelis, Etty mengatakan, tidak tau DK tetapi pernah mendengar dari pegawai. Selain tidak mengetahui DK, juga tidak mengakui tentang keikut sertaan PT PAL dalam proyek pengadaan kapal Philipina tetapi menandatangani 2 dokumen pencairan namun lupa dibayar dengan nilai uang apa. Masuk akalkah seorang Direktur mengetahui yang sifatnya urgen dalam perusahaan negara dari kariyawan ?
Atas keterangan Heri Susanto, Majelis Hakim DR. Andriano pun “berang”. “Kalau tidak tau Dana Komando, mengapa membahasnya dalam rapat BOD ? saat mau mendapatkan kapal KCR disitu dibahas Dana Komando ? Lalu buat apa pemerintah menyuntik dana sebesar 850 milliar, kan nggak mungkin pemerintah membrikan begitu saja ke PT PAL,” tanya Hakim DR. Andriano dengan nada tinggi. Lalu melanjutkan pertanyaan ke saksi Turitan dan Edi Widarto.
“Saya jelaskan. Saat saya mengerjakan kapal KCR, saat mengerjakan progress 50 persen, saya terkendala karena belum dibayar, alasannya belum lunas (karena belum lunas Dana Komando ?, tanya JPU KPK). Itu saya tau dari keuangan, Direktur Keuangannya Pak Imam. Pak Imam pasti tau itu. Proyek saya terkendala karena itu,” kata saksi. “Tahun 2010, itu sudah ada. 1,25 persen tidak dicatat dalam pembukuan perusahaan. Itu dipergunakan untuk operasional perusahaan dan Dana Komando,” kata saksi.
Sementara dalam persidangan sebelumnya saat terdakwa Agus Nugroho, Imam Sulistyanto, Arif Cahyana, Firmansyah Arifin, mengakui dihadapan Majelis Hakim, bahwa pada Januari 2015 lalu, Imam dan Arif sudah pernah menyetorkan uang sebesar US USD 163.000.000 Dollar AS atau sekitar Rp 2.119.000.000 untuk melunasi sebahagian dari Dana Komando yang jumlahya mencapai Rp 18,12 milliar. yang sebelumnya menurut Firman, sudah disetorkan juga sebesar US250 Dollar AS atau sekitar Rp 3 milliar rupah.
Sementara uang US 25.000 Dolaar AS juga bagian dari fee 1,25 persen sekaligus menghantarkan Agus Nugoro (sudah di Vonis 2 tahun), Arif Cahyana, Saiful Anwar dan Firmansyah Arifim dimasukkan KPK ke penjara, namun tersangka Kirana Kotama selaku Pemilik PT Perusa Sejati masih “melanggak lenggok” di Amerika Serikat.
Atas keterangan Heri Susanto, Majelis Hakim DR. Andriano pun “berang”. “Kalau tidak tau Dana Komando, mengapa membahasnya dalam rapat BOD ? saat mau mendapatkan kapal KCR disitu dibahas Dana Komando ? Lalu buat apa pemerintah menyuntik dana sebesar 850 milliar, kan nggak mungkin pemerintah membrikan begitu saja ke PT PAL,” tanya Hakim DR. Andriano dengan nada tinggi. Lalu melanjutkan pertanyaan ke saksi Turitan dan Edi Widarto.
“Saya jelaskan. Saat saya mengerjakan kapal KCR, saat mengerjakan progress 50 persen, saya terkendala karena belum dibayar, alasannya belum lunas (karena belum lunas Dana Komando ?, tanya JPU KPK). Itu saya tau dari keuangan, Direktur Keuangannya Pak Imam. Pak Imam pasti tau itu. Proyek saya terkendala karena itu,” kata saksi. “Tahun 2010, itu sudah ada. 1,25 persen tidak dicatat dalam pembukuan perusahaan. Itu dipergunakan untuk operasional perusahaan dan Dana Komando,” kata saksi.
Sementara dalam persidangan sebelumnya saat terdakwa Agus Nugroho, Imam Sulistyanto, Arif Cahyana, Firmansyah Arifin, mengakui dihadapan Majelis Hakim, bahwa pada Januari 2015 lalu, Imam dan Arif sudah pernah menyetorkan uang sebesar US USD 163.000.000 Dollar AS atau sekitar Rp 2.119.000.000 untuk melunasi sebahagian dari Dana Komando yang jumlahya mencapai Rp 18,12 milliar. yang sebelumnya menurut Firman, sudah disetorkan juga sebesar US250 Dollar AS atau sekitar Rp 3 milliar rupah.
Sementara uang US 25.000 Dolaar AS juga bagian dari fee 1,25 persen sekaligus menghantarkan Agus Nugoro (sudah di Vonis 2 tahun), Arif Cahyana, Saiful Anwar dan Firmansyah Arifim dimasukkan KPK ke penjara, namun tersangka Kirana Kotama selaku Pemilik PT Perusa Sejati masih “melanggak lenggok” di Amerika Serikat.
Foto dari kiri, Gonot Hendrasmono, Agus Budianto, Jumarma dan Joko Sutrisno (Foto bk 2182017) |
Keterangan Turitan, Edi, Arif, Saiful dan Firman tentang Dana Komando dikuatkan oleh Cornelius Asmono. Menjawab pertanyaan Majelis Hakim, Cornelis Asmono selaku GM Akuntansi mengatakan, bahwa dana keluar dari PT PAL maupun dana cas tidak dicatat karena tidak ada bukti setoran dan bukti penerimaan. Cornelius juga menjelaskan bahwa pembayaran fee agen ke Ashanty Sales Inc. dibayarkan melalui PT Perusa Sejati.
“Tida dicacat di pembukuan karena tidak ada bukti penerimaan. Pembayaran melalui PT Perusa,” kata Cornelius. Namun saat Majelis Hakim menanyakkan, aturan mana yang memperbolehkan uang cas tidak dicatat, Cornelisu tak menjawab.
Diakhir persidangan, mantan Dirut PT PAL Heri Susanto, tak menjawab pertanyaan Arif Cahyana terkait pemindahan rekening. Sehingga pembayaran fee agen ke Ashanty Sales Inc. melalui PT Perusa Sejati.
Sebelum sidang ditutup dan akan dibuka kembali pada minggu depan, Ketua Majelis Hakim menanyakkan tentang cash back 1,25 persen dari total nilai kontrak, bila diuangkan ke rupiah, nilainya berapa. Wira, salah atu tim PH terdakwa Firman maupun yang lainnya mengatakan, sekitar 13 milliar.
“Tiga belas Milliar bukan uang sedikit. Dana Komando 8 Milliar kan masih ada sisa. Untuk apa ? Apakah setiap pekerjaan kapal dari Angkatan Laut selalu merugi semua ?. selain itu, pada sidang sebelumnya, saat Agus Nungroho sebagai terdakwa dengan agenda pemeriksaan saksi, Majelis Hakim DR. Lufsiana memerintahkan JPU KPK Afni, untuk menyita semua catatan dan diajukan ke Presiden.
“Yang menyerahkan langsunh diserahkan ke Pekas, Pemegang Kas tidak tahu namanya. Kita sudah beberapa kali menanyakkan termasuk Majelis Hakim juga tidak menyebutkan. Intinya diruangan itu ada 4 orang tapi dia tidak tahu,” kata JPU KPK Afni saat ditanya wartawan media ini seuasi sidang, pada Jumat, 14 Juli 2017.
Selain DK, terungkap pula, bahwa penunjukan Ashanti Sales Incorporation, salah Satu perusahaan di Philipina, sebagai agen yang akan membantu PT PAL Indonesia dalam mendapatkan proyek pembangunan 2 kapal perang jenis SSV (Strategic Sealift Vessel), untuk memenuhi kebutuhan pemerintah Philipina, ternyata tidak ada SOP (Standard Operating Prosedure).
“Tida dicacat di pembukuan karena tidak ada bukti penerimaan. Pembayaran melalui PT Perusa,” kata Cornelius. Namun saat Majelis Hakim menanyakkan, aturan mana yang memperbolehkan uang cas tidak dicatat, Cornelisu tak menjawab.
Diakhir persidangan, mantan Dirut PT PAL Heri Susanto, tak menjawab pertanyaan Arif Cahyana terkait pemindahan rekening. Sehingga pembayaran fee agen ke Ashanty Sales Inc. melalui PT Perusa Sejati.
Sebelum sidang ditutup dan akan dibuka kembali pada minggu depan, Ketua Majelis Hakim menanyakkan tentang cash back 1,25 persen dari total nilai kontrak, bila diuangkan ke rupiah, nilainya berapa. Wira, salah atu tim PH terdakwa Firman maupun yang lainnya mengatakan, sekitar 13 milliar.
“Tiga belas Milliar bukan uang sedikit. Dana Komando 8 Milliar kan masih ada sisa. Untuk apa ? Apakah setiap pekerjaan kapal dari Angkatan Laut selalu merugi semua ?. selain itu, pada sidang sebelumnya, saat Agus Nungroho sebagai terdakwa dengan agenda pemeriksaan saksi, Majelis Hakim DR. Lufsiana memerintahkan JPU KPK Afni, untuk menyita semua catatan dan diajukan ke Presiden.
“Yang menyerahkan langsunh diserahkan ke Pekas, Pemegang Kas tidak tahu namanya. Kita sudah beberapa kali menanyakkan termasuk Majelis Hakim juga tidak menyebutkan. Intinya diruangan itu ada 4 orang tapi dia tidak tahu,” kata JPU KPK Afni saat ditanya wartawan media ini seuasi sidang, pada Jumat, 14 Juli 2017.
Selain DK, terungkap pula, bahwa penunjukan Ashanti Sales Incorporation, salah Satu perusahaan di Philipina, sebagai agen yang akan membantu PT PAL Indonesia dalam mendapatkan proyek pembangunan 2 kapal perang jenis SSV (Strategic Sealift Vessel), untuk memenuhi kebutuhan pemerintah Philipina, ternyata tidak ada SOP (Standard Operating Prosedure).
Penunjukan Ashanty Sales Incorporation yang menjadi agen PT PAL di Philipina juga sudah ada dijaman Heri Susanto untuk penualan kapal OPV (offshore Pratrol Vesse) dan SSV produksi PT PAL Persero Indonesia kepada Fhilipina, berdasarkan Agency Agreement Nomor B/19/10000/V/2011 tanggal 9 Mei 2011 yang ditandatangani oleh Hari Susanto, selaku Direktur Utama PT PAL Indonesia dengan Liliosa L Saavedra, selaku Chief Executive Officer (CEO) Ashanty Sales Inc. dan PT Perusa Sejati sebagai “perantara” atau perwakilan Ashanty Sales Incorporation di Indonesia (PT Perusa Sejati sebelumnya bergerak dibidang pengadaan alat pesawat terbang).
Kemudian, atas persetujuan Dewan Direksi yang terdiri dari M. Firmansyah Arifin (Dirut), Etty Soewardani (Direktur SDM dan Umum), Edy Widarto (Direktur Produksi), Imam Sulistyanto (Direktur Keuangan), Eko Prasetiyanto (Direktur Perencanaan dan Pengembangan Usaha) dan Saiful Anwar (Direktur Desain dan Teknologi), diperbaharui perjanjian kerjasama PT PAL dengan Ashanty Sales Inc. dengan Agency Agreement Nomor. SPER/38/10000/VIII/2012 tanggal 30 Agustus 2012 yang ditandatangani bersama Liliosa L Saavedra, selaku Chief Executive Officer (CEO) Ashanty Sales Inc.
Selanjutnya, “lahirlah” fee agen 3,5 persen dari nilai kontrak 2 kapal jenis SSV sebesar US 86.987.832,5 Dollar atas permintaan Ashanty Sales Incorporation. Sementara, penghitungan fee agen saat dilakukan penghitungan cost structure harga yang akan dicantumkan dalam Price Estimation SSV Philippines Navi sejumlah US 43.262.556.00 Dollar Amerika dengan fee agen 2,5 persen.
Anehnya, rapat Dewan Direksi yang terdiri dari M. Firmansyah Arifin, Etty Soewardani, Edy Widarto, Imam Sulistyanto, Eko Prasetiyanto dan Saiful Anwar justru menentukan fee agen menjadi 4,75 persesen dimana 1,25 persenya atau setara dengan nilai rupiah sebesar Rp 13 Milliar untuk PT PAL atas persetujuan rapat Dewan Direksi juga tanpa ada SOP atau peraturan manapun.
Beberapa saat seusai persidangan dan masih diruang sidang, Edi Widarto dan Firmansyah Arifin mengatakan kepada media ini, bahwa Dana Komando sudah dibahas oleh Dirut sebelumnya. Namun Ia mengakui menjadi “korban” untuk membayar. Selain Dana Komando, Firmansyah Arifin juga membeberkan beberapa masalah yang ditinggakan Heri Susanto, diantaranya kasus tenggelamnya kapal, ada kontrak Pertamina 2 tahun selesai 4 tahun, kasus hukum Arbitrase 7 kapal kontrak internasional, hutang PT PAL tahun 2012 ke Bank sebesar 1,4 Rp Trilun dan Kapal LDP (landing platform Dock) pesanan TNI AL.
“Dana Komando sudah dibahas dijamannya Pak Heri Susanto tetapi saya yang harus membayar. Ada 27 kapal kontrak internasional dan 7 dibawa ke Arbitrase. Kalau tidak mau hukumnya ia bayar dendanya. Masalahnya, karena tidak ada uang kapal tidak delivery (pengiriman) tepat waktu, pemesan memutuskan kontrak. Kita didenda karena tidak delivery, 7 kapal tidak jadi, itu semua lari kesaya,” ungkap Firmansyah Arifin..
Arifin melanjutkan, “Kapal tenggelam, kapal Pertamina kontrak 2 tahun selesai 4 tahun, saya yang beresin. Selama periode 5 tahun, saya tidak bisa menyelesaikan kontrak yang 7 kapal. Kalau kapal tenggelam, kapal Pertamina, hutang ke Bank, saya selesaikan. Ketiak saya masuk taun 2012, saya tau dari hasil audit Kantor Akuntan Publikutang, hutang PT PAL ada 4 T ke Bank eksibilitasnya 5, jangankan bayar bunga bayar modalnya aja nggak sanggup,” beber Arifin.
Kemudian, atas persetujuan Dewan Direksi yang terdiri dari M. Firmansyah Arifin (Dirut), Etty Soewardani (Direktur SDM dan Umum), Edy Widarto (Direktur Produksi), Imam Sulistyanto (Direktur Keuangan), Eko Prasetiyanto (Direktur Perencanaan dan Pengembangan Usaha) dan Saiful Anwar (Direktur Desain dan Teknologi), diperbaharui perjanjian kerjasama PT PAL dengan Ashanty Sales Inc. dengan Agency Agreement Nomor. SPER/38/10000/VIII/2012 tanggal 30 Agustus 2012 yang ditandatangani bersama Liliosa L Saavedra, selaku Chief Executive Officer (CEO) Ashanty Sales Inc.
Selanjutnya, “lahirlah” fee agen 3,5 persen dari nilai kontrak 2 kapal jenis SSV sebesar US 86.987.832,5 Dollar atas permintaan Ashanty Sales Incorporation. Sementara, penghitungan fee agen saat dilakukan penghitungan cost structure harga yang akan dicantumkan dalam Price Estimation SSV Philippines Navi sejumlah US 43.262.556.00 Dollar Amerika dengan fee agen 2,5 persen.
Anehnya, rapat Dewan Direksi yang terdiri dari M. Firmansyah Arifin, Etty Soewardani, Edy Widarto, Imam Sulistyanto, Eko Prasetiyanto dan Saiful Anwar justru menentukan fee agen menjadi 4,75 persesen dimana 1,25 persenya atau setara dengan nilai rupiah sebesar Rp 13 Milliar untuk PT PAL atas persetujuan rapat Dewan Direksi juga tanpa ada SOP atau peraturan manapun.
Beberapa saat seusai persidangan dan masih diruang sidang, Edi Widarto dan Firmansyah Arifin mengatakan kepada media ini, bahwa Dana Komando sudah dibahas oleh Dirut sebelumnya. Namun Ia mengakui menjadi “korban” untuk membayar. Selain Dana Komando, Firmansyah Arifin juga membeberkan beberapa masalah yang ditinggakan Heri Susanto, diantaranya kasus tenggelamnya kapal, ada kontrak Pertamina 2 tahun selesai 4 tahun, kasus hukum Arbitrase 7 kapal kontrak internasional, hutang PT PAL tahun 2012 ke Bank sebesar 1,4 Rp Trilun dan Kapal LDP (landing platform Dock) pesanan TNI AL.
“Dana Komando sudah dibahas dijamannya Pak Heri Susanto tetapi saya yang harus membayar. Ada 27 kapal kontrak internasional dan 7 dibawa ke Arbitrase. Kalau tidak mau hukumnya ia bayar dendanya. Masalahnya, karena tidak ada uang kapal tidak delivery (pengiriman) tepat waktu, pemesan memutuskan kontrak. Kita didenda karena tidak delivery, 7 kapal tidak jadi, itu semua lari kesaya,” ungkap Firmansyah Arifin..
Arifin melanjutkan, “Kapal tenggelam, kapal Pertamina kontrak 2 tahun selesai 4 tahun, saya yang beresin. Selama periode 5 tahun, saya tidak bisa menyelesaikan kontrak yang 7 kapal. Kalau kapal tenggelam, kapal Pertamina, hutang ke Bank, saya selesaikan. Ketiak saya masuk taun 2012, saya tau dari hasil audit Kantor Akuntan Publikutang, hutang PT PAL ada 4 T ke Bank eksibilitasnya 5, jangankan bayar bunga bayar modalnya aja nggak sanggup,” beber Arifin.
Saat ditanya mengenai PMN (Penyertaan Modal Negara) sebesar Rp 850 milliar, Firman menjelaskan, bahwa itu diajukan disaat Dirut PT PAL yang lama namun realisasinya dijamannya. Dana tersebut dipergunakan untuk modal kerja, untuk fasilitas karena PT PAL dianggap sudah kolaps.
“MPN itu ngurusnya dijamannya Pak Heri Susanto tapi cairnya dijaman saya. Alasan untuk mencairkan itu katanya tadi kan, karena Pak Sby (mantan Presiden RI DR. Susilo Bambang Yudoyono) bukan itu, paling karena sudah nyungsep makanya dikasihlah waktu itu. Peruntukannya adalah modal kerja karena sudah nggak mungkin bisa pinjam ke Bank. Yang Kedua, untuk faslitas. Fasilitas itu sudah nggak bisa. Kalau ke PT PAL, ada tertulis disitu 300 ton tertulis gede’ (besar) tapi kapasitasnya hanya bisa 100 ton. Kalau Dana Komando sudah dibahas dijamannya tetapi saya yang bayar walaupun saya nggak lunas,” bebernya.
Mengenai Arbitrase kapal yang 7, ada kapal LDP pesanan TNI AL, ini nggak karu-karuan, warisannya ke saya, itu jamannya beliau. Kalau LDP kan masalah kita jadi nggak sampai ke Arbitrase Internasional, tetapi yang namanya hukum, hancurnya perusahaan karena Angkatan Laut harus jadi itu kapal. Dengan berbagai cara, nggak tau dari mana Pak Heri Suanto, kapal itu dijadikan. Tapi kapal yang 7 tadi nggak jadi. Jadi saya mau blak-blakan aja (buka-bukaan), karena Arbitrase ini ada asset PT PAL mau di sita. Ini kan perusahaan strategis negara jadi kita disuntik dana PMN, peruntukannya ada 3, yaitu modal kerja. Saya mendanai untuk KCR (Kapal Cepat Rudal), Fasilitasnya diperbaiki, naik ia dari PMN, SDM nya saya rekrut, ia PMN. Karena yang 3 ini diperbaiki, kita ikut tender di Philipina lulus, kalau nggak diperbaiki dari mana lulus. Kan ada pos qualification (tim penilai) dari Philipina datang kesini, diperiksa,” ucapnya.
Apa yang disampikan Firmansyah Arifin juga di ia kan Edi Widarto, yang saat ini menjadi Dirut PT IKI (Indstri Kapal Indonesia) di Makassar. “PT PAL rugi sebesar 1.3 T. Saya dianggap sukses makaya saya dipindah ke Makassar di PT IKI, Pak Imam Sulistiyono dan Pak Eko juga pindah,” ucap Edi. (Redaksi)
“MPN itu ngurusnya dijamannya Pak Heri Susanto tapi cairnya dijaman saya. Alasan untuk mencairkan itu katanya tadi kan, karena Pak Sby (mantan Presiden RI DR. Susilo Bambang Yudoyono) bukan itu, paling karena sudah nyungsep makanya dikasihlah waktu itu. Peruntukannya adalah modal kerja karena sudah nggak mungkin bisa pinjam ke Bank. Yang Kedua, untuk faslitas. Fasilitas itu sudah nggak bisa. Kalau ke PT PAL, ada tertulis disitu 300 ton tertulis gede’ (besar) tapi kapasitasnya hanya bisa 100 ton. Kalau Dana Komando sudah dibahas dijamannya tetapi saya yang bayar walaupun saya nggak lunas,” bebernya.
Mengenai Arbitrase kapal yang 7, ada kapal LDP pesanan TNI AL, ini nggak karu-karuan, warisannya ke saya, itu jamannya beliau. Kalau LDP kan masalah kita jadi nggak sampai ke Arbitrase Internasional, tetapi yang namanya hukum, hancurnya perusahaan karena Angkatan Laut harus jadi itu kapal. Dengan berbagai cara, nggak tau dari mana Pak Heri Suanto, kapal itu dijadikan. Tapi kapal yang 7 tadi nggak jadi. Jadi saya mau blak-blakan aja (buka-bukaan), karena Arbitrase ini ada asset PT PAL mau di sita. Ini kan perusahaan strategis negara jadi kita disuntik dana PMN, peruntukannya ada 3, yaitu modal kerja. Saya mendanai untuk KCR (Kapal Cepat Rudal), Fasilitasnya diperbaiki, naik ia dari PMN, SDM nya saya rekrut, ia PMN. Karena yang 3 ini diperbaiki, kita ikut tender di Philipina lulus, kalau nggak diperbaiki dari mana lulus. Kan ada pos qualification (tim penilai) dari Philipina datang kesini, diperiksa,” ucapnya.
Apa yang disampikan Firmansyah Arifin juga di ia kan Edi Widarto, yang saat ini menjadi Dirut PT IKI (Indstri Kapal Indonesia) di Makassar. “PT PAL rugi sebesar 1.3 T. Saya dianggap sukses makaya saya dipindah ke Makassar di PT IKI, Pak Imam Sulistiyono dan Pak Eko juga pindah,” ucap Edi. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :