1
#Ketika “Senjata” seorang terdakwa “mengalahkan” Kekuasaan Majelis Hakim di Persidangan#


beritakorupsi.co – Senjata yang paling ditakuti oleh negara-negara di Dunia adalah senajata Nuklir. Dan bila di persidangan, “senjata mutahir” seorang terdakwa adalah sakit. Dan itu pula yang dipergunakan terdakwa kasus dugaan penipuan dan penggelapan, Henry J Gunawan.

Bos PT Gala Bumi Perkas itu, mengajukan penangguhan penahanan melalui Penasehat Hukum (PH)-nya, M. Sidik Latuconsina kepada Majelis Hakim yang diketuai H.R. Unggul Warso Mukti, pada persidangan minggu lalu, agar terdakwa boleh keluar dari penjara, dan tidak menghirup pengapnya udara dibalik jeruji besi di Rutan (Rumah Tahanan Negara) Kelas I Surabaya, Medaeng, Sidoarjo, Jawa Timur, yang dimasukkan Jaksa Kejara Surabaya pada Agustus lalu, setelah pembacaan surat dakwaan dari JPU, yang dilanjutkan dengan pembacaan Eksepsi (kebaratan) dari PH terdakwa, pada Kamis, 7 September 2017.

Pada Kamis, 14 September 2017, “senjata mutahir” alias karena penyakit jantung yang diderita  terdakwa pun “berhasil meluluhkan" ke Kuasaan Majelis Hakim, dengan mengabulkan permohonan dari PH terdakwa. Majelis Hakim “membebaskan” terdakwa dari penjara menjadi tahanan Kota,  walau terdakwa ini terlihat sangat sehat.

Pengalihan status tahanan penjara menjadi tahanan Kota bagi terdakwa Henry J Gunawan ini, dituangkan dalam surat penetapan yang dibacakan Ketua Majelis  Hakim H.R. Unggul Warso Mukti, usai Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Surabaya membacakan surat tanggapa atas eksepsi Tim Penasehat Hukum terdakwa Henry J Gunawan, M. Sidik Latuconsina.

Sebelum Majelis Hakim membacakan penetapan terkait pengalihan status tahanan,  terdakwa Henry J Gunawan cukup lama menunggu diruang sidang sambil duduk dikursi pesakitan yang didampingi PH nya, dengan pengawalan puluhan Polisi lengkap dengan senjata, semenatara Majelis Hakim dan JPU, enah kemana. Ternyata jawabannya adalah pengalihan status terdakwa.

Yang menjadi pertanyaan, dengan status tahanan Kota terhadap terdakwa Henry J Gunawan yang diberikan oleh Majelis Hakim, siapa yang dapat mengawasi, bila sewaktu-waktu terdakwa keluar dari Kota Surabaya ?. Bisa jadi, persidangan tertunda, dengan alasan, terdakwa sedang sakit, atau berobat keluar negeri karena kondisi terdakwa sedang kritis.
 
Bila kemanusiaan atau Hak Azasi Manusia yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim terhadap kondisi terdakwa yang menderita penyakit jantung, namun sejak awal persidangn minggu lalu terlihat sangat sehat, wartawan media ini teringat pada Juni tanun lalu.

Pada tanggal 8 Juni 2016 lalu sekira pukul 16.00 WIB, Majelis Hakim H.R. Unggul Warso Mukti, selaku Ketua Majelis Hakim dalam kasus perkara Korupsi perjalanan dinas DPRD Lamongan, justru mengeluarkan surat penetapan sebaliknya, terhadap terdakwa seorang wanita yang sedang hamil tua, Muniroh (38), usai JPU membacakan surat dakwaannya.

Terdakwa Muniroh, berdasarkan surat keterangan dokter (dr. Rizal Fitni,SpOG) yang memeriksa kandungan Muniroh menyatakan, rencana operasi diperkirakan tanggal 9 Juni 2016. Surat dokter ini diajukan PH terdakwa bersama permohonan penangguhan penahanan, bila sewaktu-waktu, Majelis Hakim membuat surat penetapan penahan.

Anehnya, Ketua Majelis Hakim tidak memrtimbangkan surat dokter tersebut. Majelis Hakim tetap memenjarakan Muniroh si pemilik Travel. Alasan Majelis Hakim, agar terdakwa tidak menghilangkan barang bukti. Entah barang bukti mana yang dimaskud. Sementara wanita yang sedang hamil tua itu sedang menjalani proses persidangan bukan penyidikan. Artinya, semua bukti sudah ditangan JPU. Mungkinkah tedakwa dengan perut buncit melarikan diri atau mencuri barang bukti dari Jaksa ???

Tragisnya, sekitar pukul 21.00 WIB, beberapa jam setelah Muniroh bersama bayi dalam kandungannya menginjakkan kaki di Rutan Medang, petugas Rutan melarikannya ke Rumah Sakit Bayangkara di Jalan Ahmat Yani Surabaya, untuk menjalani operasi Saesar.

Penegakan supremasi Hukum memang tidak pandang bulu. Baik tua maupun muda, pejabat maupun rakyat jelata, bila bersalah haruslah dihukum. Namun, apakah "tidak ada dispensasai, perikemanusiaan seperti butir ke-2 Pancasila, terhadap wanita hamil tua itu, agar bayi tanpa dosa yang dikandung Muniroh saat itu lahir di "alam bebas" bukan di dalam Lapas (lembaga pemasyrakatan) "berstatus tahanan" mengikuti ibundanya ?"

Sementara terdakwa Henry J Gunawan, Bos PT Gala Bumi Perkas yang katakan menderita penyait jantung namun terlihat cukup sehat, justru dikeluarkan Majelis Hakim dari Rutan.

Usai persidangan, PH terdakwa Henry J Gunawan, M. Sidik Latuconsina, kepada wartawan media ini mengatakan bahwa, terdakwa sudah menjalani operasi jantung sebanyak 3 kali. Dua diantaranya dilakukan di Singapur dan sekali di Surabaya. Namun tak menjelaskan di Rumah Sakit mana.

“Pertimbangan Majelis Hakim, karena kondisi kesehatan terdakwa. sudah Tiga kali operasi jantung. Dua kali di Singapur dan sekali di Suarabaya,” kata M. Sidik Lacutonsian.  


Memang, bila dibandingkan antara Henry J Gunawan dengan Muniroh, ibarat “Gajah dengan Semut”. Selain pengusaha yang banyak duit, terdakwa Henry J Gunawan adalah salah satu orang yang terkenal di Kota Pahlawan, terutama dikalangan pengusaha, Pengacara dan wartwan serta, orang-orang yang berbadan kekar. Yang tak sulit baginya untuk berhungan dengan berbagai kalangan.

Sementara Muniroh, adalah seorang wanita, yang tinggalnya jauh dari Kota besar, dan hanya memiliki usaha kecil yaitu, biro perjalanan yang tak terkenal di Indonesia, maupun di Surabaya termasuk di Kabupaten Lamongan.  (Redaksi).

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top