1

beritakorupsi.co – “Harusnya dipailitkan PT PAL itu, supaya tidak jadi ATM,”. Kalimat inilah yang diucapkan Majelis Hakim DR. Lufsiana, dalam sidang perkara Korupsi OTT PT PAL yang digelar pada Senin, 2 Oktober 2017.

    Apa yang disampaikan oleh DR. Lufsiana bukan tidak beralasan. Sebab, dalam persidangan sebelumnya terungkap, bahwa PT PAL sebagai perusahaan strategis negara ternyata tidak memberikan keuntungan kepada pemerintah, sementara pemerintah mengucurkan dana PMN (Penanaman Modal Negara) kepada PT PAL diantaranya pada tahun 2012 sbesar Rp 850 M. Disisi lain, PT PAL masih ada kewajiban yang harus diabayar yaitu Dana Komando ke RNI AL sebesar Rp 18,12 milliar yang baru dibayar Rp 5 milliar lebih. Selain itu, denda ke Pertamina yang hingga sekarang belum lunas, akibat keterlambatan kontrak kerja kapal dari 2 tahun menjadi 4 tahun dijamanya Direktur Utama PT PAL Harsusanto tahun 2011. Belum lagi PT PAL yang masih menghadapi proses hukum Arbitrase Internasional, akibat proyek  7 kapal dalam kontrak Internasional yang belum selesai.

    Dalam fakta persidangan sebelumnya juga terungkap, bahwa Dana Komando ternyata sudah dibahas pada tahun 2011, saat PT PAL memperoleh dan menandatangani kontrak kerja 3 kapal KCR (Kapal Cepat Rudal) dan 1 kapal Tug Boat 2000 hp milik TNI AL dengan nilai kontrak sebesar Rp 470 Milliar dikali 8 persen atau sebesar Rp 36 milliar. Namun setelah Firmansyah Arifin menajadi Direktir Utama, Dana Komando menutun menjadi 4 persen atau sebsar Rp 18 milliar.

    Dalam sidang kali ini, Senin, 2 Oktober 2017, saksi juga menjelaskan, bahwa kontrak proyek kapal KCR milik TNI AL dibaut pada tahun 2011. Namun untuk membayar Dana Komando yang sudah dibahas, dibayar setelah pergantian Dirut PT PAL dari Harsusanto ke Firmansyah Arifin.

    Dan saksi menjelaskan, setelah Arif Cahyana ditangkap KPK dan berbuntut dijadikannya Dirut dan Direktur Keuangan menajdi tersangka yang saat ini menajdi terdakwa, Dana Komando tidak lagi diutamakan.

    Keterangan itu disampaikan dalam persidangan dihadapan Majelis Hakim, JPU KPK dan Penasehat Hukum terdakwa, oleh 4 orang saksi yaitu Didik Subiantoro, Taufik, Sri Utami dan Muspiadi (mantan Direktur Pengembangan Usaha PT PAL sejak tahun).

“Paling muncuknya saat proyek KCR,” kata Didik menjawab pertanyaan Hakim DR. Andriano. Saat Hakim DR. Andriano menanyakkan kembali, kapan pengumpulan dana-dana dari Vendor, saksi tak dapat menjawab. Sementara Sri Utami mengatakan, bahwa Dana Komando itu diperuntukkan untuk biaya penagihan.

“Tidak lagi diutamakan. Yang diutamakan yang mau bayar dulu,” kata Sri Utami menjawab pertanyaan Hakim tentang Dana Komando.




   

    Apa yang disampaikan oleh Sri Utama kali ini, sama dengan apa yang dijelaskan saksi-saksi sebelumnya maupun dari terdakwa saat dihadirkan menjadi saksi untuk terdakwa Agus Nugroho, yang mengatakan bahwa untuk menagih anggaran, Dana Komando harus terlebuh dahulu dibayar. Bahkan, saat itu Arif Cahyana dan Firmansyah Arifin mengatakan, ada anggaran yang belum dibayar karena Dana Komando belum lunas.  (Redaksi)

Posting Komentar

  1. Kamis 12 Oktober 2017, 19:26 WIB
    Korupsi Pengadaan Tangki, Eks Dirut PT Dok Surabaya Jadi Tersangka
    Yulida Medistiara - detikNews
    Share 0Tweet Share 00 komentar
    Korupsi Pengadaan Tangki, Eks Dirut PT Dok Surabaya Jadi Tersangka
    Gedung Kejagung (Foto: dok detikcom)
    Jakarta - Kejaksaan Agung mengusut kasus pengadaan tangki pendam fiktif di Jambi yang dilakukan oleh PT Dok dan Perkapalan Surabaya. Dari hasil penyidikan Kejagung menetapkan eks Dirut PT Dok dan Perkapalan Surabaya berinisial MFA jadi tersangka.

    "Nama tersangka MFA sebagai mantan Dirut Utama PT Dok dan Perkapalan Surabaya," kata Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung, Warih Sadono dalam keterangannya, Kamis (12/10/2017).

    "Tersangka dikenakan pasal 2 ayat 1 atau 3 UU Tipikor," imbuhnya.

    Dalam kasus ini Kejagung menetapkan 4 orang tersangka dari PT Dok Perkapalan Indonesia (DPS). Selain MFA, yaitu mantan Direktur Pemasaran dan Pengembangan Usaha inisial MY, mantan Direktur Produkai inisial IWYD, dan mantan Direktur Keuangan NST.

    Warih mengatakan kasus ini terjadi pada tahun anggaran 2010. Dalam proses pengadaan tangki pendam di Muara Sabak Jambi, ternyata proyek tersebut fiktif sedangkan uang telah dicairkan.

    "Fiktif, seolah-olah ada pekerjaan dibikin kontrak, tapi tidak ada pekerjaan uangnya sudah dicairkan," kata Warih.

    Kasus ini bermula pada Agustus 2010, PT Dok dan Perkapalan Surabaya melakukan kontrak dengan PT Berdikari Petro untuk melakukan pembangunan tangki pendam di Muara Sabak Jambi dengan nilai sebesar Rp. 179,92 miliar. Kemudian dalam pelaksanaannya PT Dok dan Perkapalan Surabaya melakukan subkontrak kepada AE Marine, Pte. Ltd di Singapura. Akan tetapi dalam prosesnya dilakukan proses rekayasa.

    "Selanjutnya merekayasa progress fisik (bobot fiktif) pembangunan tangki pendam di Muara Sabak Jambi. Kemudian PT Dok dan Perkapalan Surabaya melakukan transfer sebesar USD 3,96 juta kepada AE Marine. Pte, Ltd. Namun, dalam pelaksanaannya tidak ada pekerjaan di lapangan atau di lokasi," ujarnya.

    Selanjutnya uang sebesar USD 3,96 juta digunakan untuk membayar kekurangan pembuatan 2 (dua) kapal milik Pertamina kepada Zhang Hong, Pte. Ltd yang telah mempunyai anggaran tersendiri.

    Akan tetapi, kontrak antara PT DPS dengan Zhang Hong. Pte, Ltd tidak sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa. Atas dasar itu PT Dok dan Perkapalan Surabaya dirugikan. Kejagung menyebut kerugian dalam perkara ini hampir USD 4 juta.

    "Sekitar USD 3 juta, hampir USD 4 juta," ujarnya.
    (yld/rvk)

    BalasHapus

Tulias alamat email :

 
Top