0
beritakorupsi.co – Sudah tertangkap tangan oleh KPK, karena dugaan menerima uang suap, dan ancaman hukumannya pun tergolong ringan, tetapi malah tidak merasa bersalah. “konyolnya”, malah menyalahkan KPK karena penyadapan yang dilakukan sehingga terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT).

Itulah yang disampaikan oleh tedakwa Purnomo selaku Ketua DPRD Kota Mojokerto melalui Penasehat Hukum (PH)-nya, dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor Surabaya dengan agenda pembacaan Pledoi (Pembelaan) dihadapan Majelis Hakim yang diketuai H.R Unggul Warso Mukti, pada Selasa, 28 Nopember 2017.

Dalam sidang sebelumnya, terdakwa Purnomo (Ketua DPRD), Abdullah Fanani dan Umar Faruq, Keduanya sebagai Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto periode 2014/2019, terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan Tindak Pidana Korupsi secara berlanjut, sebagaimana diancam dan diatur dalam pasal 12 huruf a jo pasal 18 UU RI   No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 tahun 1999 pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHPidana jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana, dan dituntut pidana penjara masing-masing selama 5 tahun.

Tuntutan ini pun tergolong ringan, mengingat para terdakwa adalah lembaga Legislatif, yang membuat dan mengawasi aturan atau Peraturan Daerah (Perda) termasuk membahas dan mensahkan anggaran APBD Kota Mojokerto. Namun malah mmasih mengajukan menjadi JC (Jastice Callubulator).


Dalam Pledoinya, Penasehat Hukum terdakwa menilai, bahwa materi tuntutan JPU KPK banyak yang tidak sesuai dengan fakta persidangan, diantaranya, pasal 12 huruf a UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang diterapkan dalam tuntutan JPU KPK.

“Tuntutan JPU KPK banyak yang tidak sesuai dengan fakta persidangan,” ucap PH terdakwa.

Mananggapi Pledoi para terdakwa, JPU KPK langsung menyampaikan tanggapan (Replik)-nya secara langsung. JPU KPK mengatakan, sudah menyampaikan secara jelas dalam surat tuntutan. Terkait penyadapan yang dilakukan oleh KPK dan menjadi isi dari Pledoi PH terdakwa, JPU KPK menanggapinya, harus dikesampingkan dari Undang-undang ITE.

“Unsur dalam Pasal 55 ayat (1) KUHPidana, harus dinyatakan terbukti, karena pemberi dan penerima suap sama-sama diketahui. Sedang hal lainnya tidak perlu kami tanggapi, karena sudah kami uraikan dalam materi tuntutan,” kata Budi.

Terkait permohonan menjadi JC, JPU KPK Budi menyampaikan, bahwa JC bukan permohonan melainkan pemberian dari KPK. JPU KPK Budi juga menyampaikan, bahwa hingga saat ini, JPU belum menerima terkait permohonan JC.

Kasus ini berawal Pada sekitar akhir tahun 2016, seperti yang tertuang dalam surat dakwaan JPU KPK, yakni  adanya kesepakatan antara Mas’ud Yunus dengan pimpinan DPRD Kota Mojokerto, dimana Mas’ud Yunus akan memberikan komitmen kepada para Pimpinan dan anggota DPRD Kota Mojokerto, yang bersumber dari persentase atas pelaksanaan anggaran di Dinas PUPR pada program pembangunan infrastruktur pedesaan dengan nama kegiatan penataan lingkungan pemukiman penduduk pedesaan atau Penling, atau yang dikenal dengan istilah program jaring aspirasi masyarakat atau (Jasmas) sejumlah Rp 26 millyar, serta tambahan fee sebesar Rp 65 juta pertahun untuk masing-masing anggota DPRD kota Mojokerto, sebagai uang lelah dalam membahas anggaran yang rencananya diberikan per triwulan di tahun 2017. Pada sekitar bulan Februari 2017, bertempat di ruang kerja Ketua DPRD Kota Mojokerto, terdakwa Purnoma, Umar Farooq dan Abdullah Fanani serta beberapa Ketua Fraksi mengadakan pertemuan dengan Wiwid Febrianto membahas pekerjaan terkait Jasmas, serta tidak lanjut komitmen fee.

Ternyata, hingga bulan Mei 2017, komitmen fee kepada para Pimpinan dan anggota DPRD belum dilakukan. Pada hal ada permasalahan, terkait pelaksanaan anggaran Dinas PUPR pada APBD Tahun Anggaran 2017, yang mungkin akan dipermasalahkan oleh DPRD yang bisa jadi akan berpengaruh terhadap pengajuan perubahan APBD tahun 2017 dan APBD tahun 2018, diantaranya Dinas PUPR Kota Mojokerto tahun 2016, dengan persetujuan Mas’ud Yunus telah menggunakan dana talangan yang bersumber dari Kas Daerah (Kasda) untuk membiayai kekurangan pembayaran atas pekerjaan yang bersumber dari DAK fisik bidang transportasi daerah sejumlah Rp 13.284.905.600 dan fisik bidang infrastruktur perumahan air minum dan sanitasi sejumlah Rp 67.359.000, yang total keseluruhan sejumlah Rp 13.352.264.600 sebagai akibat tidak terealisasinya transfer DAK tahun 2016 dari Kementerian Keuangan Kepada Pemerintah Kota Mojokerto, karena keterlambatan pelaporan pekerjaan DAK fisik oleh dinas PUPR.

JPU KPK mengungkapkan, pada Selasa, 5 Juni 2017, terdakwa Purnomo, Umar Faruq dan Abdullah Fanani menemui Mas’ud Yunus di rumah dinasnya, guna menanyakan tindak lanjut pemberian komitmen fee. Menindaklanjuti pertemuan tersebut, Mas’ud Yunus kemudian meminta Wiwid Febrianto untuk merealisasikan komitmen fee dan menyampaikan kepada para pimpinan DPRD, agar tidak mempersulit pembahasan APBD perubahan tahun 2017 maupun APBD tahun 2018.

Setelah pertemuan di rumah dinas Wali Kota, kemudian dilanjutkan pertemuan di Kantor DPRD Kota Mojokerto keesokan harinya. Terdakwa Purnomo dan Abdullah Fanani, meminta Wiwid Febrianto agar segera merealisasikan komitmen fee sejumlah Rp 395 juta per triwulan, dan tahap pertama dari 8% dana program Jasmas sebesar Rp 500 juta, dan Wiwid Febrianto pun menyanggupinya.

Untuk memenuhi permintaan Dewan itu, pada tanggal 6 Juni 2017, terdakwa Wiwiet Febriyanto bertemu dengan 2 rekanan (Kontraktor) PUPR yakni, Direktur CV Benteng Persaada, Irfan Dwi Cahyono alias Ipang dan Direktur Operasional PT Agrindo Jaya Sejahtera, Dodi Setiawan, di Restoran Bon Cafe Pakuwon Trade Center Surabaya. Dalam pertemuan tersebut, terdakwa Wiwiet Febriyanto meminta uang sejumlah Rp 930 juta, dengan imbalan, pekerjaan yang akan dianggarkan pada APBD perubahan tahun 2017.

Permintaan itu pun langsung disanggupi kedua kontraktor itu. Dari Irfan Dwi Cahyanto alias Ipank sebesar Rp 200 juta dan Dodi Setiawan Rp 730 juta, yang akan diberikan dalam 2 tahap yakni, tahap pertama Rp 430 juta dan tahap kedua sejumlah Rp 500.000.000.

Pada tanggal 10 Juni 2017 dini hari, terdakwa Wiwiet Febriyanto menerima uang sebesar Rp 380 juta, yang berasal dari Ipang 150 juta rupiah dan dari Dodi sebesar Rp 230 juta, diserahkan di parkiran KFC Jalan Adityawarman depan Surabaya Town Square. Kemudian, sekitar pukul 10.00 WIB, terdakwa menyerahkan uang sebesar Rp 150 juta kepada Purnomo, di parkiran Restoran Mc Donald, Jalan Sepanjang Geluran Sidoarjo. Uang tersebut sebagai realisasi komitmen fee dan mengatakan bahwa, sisanya sejumlah Rp 350.000.000 akan diserahkan pada pertengahan bulan Juni 2017.

Kemudan, Purnomo pun membagi-bagikan uang tersebut kepada 22 anggota DPRD Kota Mojokerto yang masing-masing sejumlah Rp 5 juta, Umar Faruq dan Abdulah Fanani masing-masing Rp 12.500.000, Purnomo kebagian Rp 15 juta.

JPU KPK dalam surat dakwaannya merinci, pada tanggal 10 Juni 2017, sekitar pukul 12.00, di alun-alun Kota Mojokerto, Purnomo memberikan uang Rp 57.500.000 kepada Umar faroq, selanjutnya Umar Faruq menyerahkan uang tersebut kepada Gunawan sejumlah Rp 30 juta untuk dibagikan kepada 6 anggota Fraksi gabungan masing-masing Rp 5 juta yakni, Dedi Novianto (Partai Demokrat), Uji Pramono (Partai Demokrat), Kholid Firdaus Waji (Partai Keadilan Sejahtera), Edy Prayitno (PKS), Raihan Mustafa (PPP) dan Gunawan (PPP).

Selain itu, Umar Faruq juga memberitahukan kepada masing-masing anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) yakni, Yuli Veronica, Maschur, Suryono dan Aris Satrio Budi, bahwa masing-masing mendapat bagian uang Rp 5 juta, yang disepakati dipergunakan untuk membeli parcel.

Sekitar pukul 1730 WIB, Purnomo menemui Abdulah Fanani  di  rumahnya di Jalan Surodinawan Mojokerto dan menyerahkan uang sebesar Rp 37.500.000. Kemudian, Abdullah Fanani menyerahkan uang Rp 10 juta kepada Junaidi Malik (Ketua Fraksi PKB) dan Choiroiyah, sebagai bagiannya. Dan Rp 15 juta untuk Sony Basuki Rahardjo (Ketua Fraksi Golkar), Hardi Ashanty dan Anang Wahyudi.

Sedangkan sisanya, dibagikan kepada anggota Fraksi PDIP masing-masing  Rp 5 juta yakni, Darwanto, Yunus Suprayitno, Febriana Meldiyawati, Suliat dan Gusti Fatmawati. Selain itu, Purnomo juga menyerahkan uang sejumlah Rp 15 juta kepada Dwi Edwin Indrapraja (Ketua Fraksi Gerindra), Moh. Harun dan Ita Primaria Lestari, masing-masing Rp 5 juta.

Sementara sisa uang sebesar Rp 280 juta yang diterima terdakwa Wiwiet Febriyanto dari Irfan Dwi Cahyanto alias Ipank, pada hari Selasa tanggal 12 Juni 2017 di Komplek Ruko Citra Harmoni Sidoarjo, dipergunakan untuk keperluan pribadi terdakwa sendiri sebesar Rp 180 juta, dan yang Rp 100 juta, sebagai cicilan pertama atas temuan audit BPK RI dalam proyek Graha Mojokerto Service City (GMSC).

Pada tanggal 16 juni 2017 sekitar 15.00 14.00 WIB, terdakwa Wiiwet Febriyanto menghubungi Umar Faruq, membicarakan rencana penyerahan uang komitmen tahap kedua sejumlah Rp 300 juta, yang kemudian disepakati uang tersebut akan diserahkan melalui Hanif Mashudi, selaku orang kepercayaan Umar Faruq.

Sekita pkl 15.40 WIB, terdakwa bertemu dengan Hanif Mashudi di kantor PUPR dan mengatakan, agar nanti malam, Hanif Mashudi menemui Taufik Fajar guna menerima uang komitmen tahap kedua sebesar Rp 300 juta dari terdakwa, untuk diserahkan kepada anggota DPRD kota Mojokerto melalui Umar Faruq.

Sekitar pukul 23.00 pagi, terdakwa Wiwiet Febriyanto bertemu dengan Irfan Dwi Cahyanto alias Ipang dan Dodi Setiawan, di kantor Dinas PUPR Mojokerto, yang akan menyerahkan uang sebesar Rp 500.000.000. Uang tersebut adalah kekurangan dari kesepakatan sebesar Rp 930 juta, yang berasal dari patungan Irfan Dwi Cahyanto alias Ipang Rp 100 juta dan Dodi Setiawan Rp 400.000.000.

Wali Kota Mojokerto (foto bawah) sudah ditetapkan menajdi tersangka
Namun terdakwa meminta, agar uang tersebut diserahkan melalui Taufik Fajar alias Kaji. Kemudian Irfan Dwi Cahyanto alias Ipang, memerintahkan Agung Hariyanto untuk mengantarkan uang tersebut kepada terdakwa melalui Taufik Fajar alias Kaji.

Kemudian terdakwa menghubungi Taufik Fajar untuk menerima penyerahan uang dari Agung Hariyanto dan melaporkan kepada terdakwa, dan terdakwa meminta Taufik Fajar alias Kaji, agar menyisihkan uang sejumlah Rp 300 juta, untuk diserahkan kepada Hanif Mashudi, dan Rp 30 juta diminta untuk disimpan. Sisa sebsar Rp 170 juta, diminta untuk diserahkan kepada terdakwa.

Sekitar pukul 21.00 WIB, Taufik Fajar menyerahkan uang sebesar Rp 300 juta kepada Hanif Mashudi di depan ruahnya. Sementara terdakwa Wiwiet Febriyanto, sekitar pukul 20.00 WIb,  menghadiri rapat dengar pendapat (RDP) sebagai permulaan, dilakukannya pembahasan rencana perubahan APBD tahun 2017, terkait permasalahan penganggaran PENS yang sekaligus tindak lanjut atas hasil konsolidasi dengan Kementerian Dalam Negeri. RDP tersebut, juga dihadiri oleh Purnomo, Umar Faruq dan Abdullah Fanani beserta anggota Komisi III DPRD Kota Mojokerto serta dihadiri juga oleh Kepala Dinas Pendidikan, Novi Raharjo, Subektiarso (Kepala Bidang Anggaran BPPKA), Ani Wijaya (Kepala Bidang Aset DPPKA) juga Helmi (Kepala Bidang Perencanaan Infrastruktur, SDA dan Ekonomi BAPEKO).

Pada saat berlangsungnya RDP, Umar Faruq menerima telepon dari Hanif Mashudi, yang menyampaikan bahwa, telah menerima uang Rp 300 juta dari terdakwa Wiwiet Febriyanto melalui Taufik Fajar alais Kaji. Dari telepon tersebut, Umar Faruq menemui Hanif Mashudi di kantornya di Jalan Surodinawan Mojokerto, untuk memastikan uang yang diberikan oleh terdakwa yang diterima Hanif Masudi. 

Sekitar pukul 23.00 WIB setelah selesai RDP, terdakwa menemui Purnomo diruang kerjanya, dan menyampaikan bahwa uang komitmen tahap pertama program Jasmas yang dapat direalisasikan oleh terdakwa adalah sejumlah Rp 300.000.000 dan telah diserahkan melalui Umar Faruq. Sedangkan sisanya, akan direalisasikan kemudian hari. Terdakwa Wiwiet Febriyanto lalu mengambil uang Rp 170 juta dari Taufik Fajar untuk dipergunakan membayar cicilan rumah sejumlah Rp 30 juta, dan sisanya Rp 140 juta sebahai tambahan uang triwulan anggota DPRD Kota Mojokerto.

Pada dini hari, 16 Juni 2017, setelah selesai RDP, Purnomo menemui Umar Faruq di rumah PAN. Tidak lama kemudian, Umar Faruq menghubungi Hanif Mshudi, supaya datang ke rumah PAN membawa uang Rp 300 juta dari terdakwa, yang disimpan dalam tas ransel berwarna hitam merk ECCE. Tak lama kemudian, merekapun di tangkap KPK.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top