Catatan Indonesia Corruption Watch di Akhir Tahun 2017
Jakarta, beritakorupsi.co – Upaya pemberantasan Korupsi selama tahun 2017 mengalami pukulan terberat dari berbagai upaya untuk menghambat maupun melemahkan kinerja-kinerja penegakan hukum dalam pemberantasan Korupsi. Salah satu yang paling mencolok diantaranya adalah dibentuknya pansus hak angket DPR RI, yang tujuannya lebih condong untuk melemahkan KPK dengan mencari kesalahan dan mendorong revisi UU KPK.
Itulah sebagai catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) dikahir tahun 2017 ini. Selain itu, komitmen pemberantasan Korupsi pada lembaga Eksekutif dan Yudikatif juga dipertanyakan. Mandeknya pengungkapan penyerangan terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan, hingga penangkapan terhadap Panitera dan Hakim Pengadilan, merupakan gambaran umum melemahnya upaya pemberantasan korupsi selama tahun 2017.
Dalam catatan ICW di akhir tahun 2017, terdapat 3 bagian yang akan disampaikan, yaitu; 1. Kepentingan Ekonomi dan Politik Menghambat Pemberantasan Korupsi. 2. Penegakan Hukum Korupsi Tersendat-Sendat dan Ke- 3. Wajah Muram Sektor Yudikatif.
Kepentingan Ekonomi dan Politik Menghambat Pemberantasan Korupsi
Mengamati perkembangan satu tahun terakhir (2017) dalam agenda pemberantasan korupsi dibawah Pemerintahan Jokowi-JK, ICW mencatat bahwa agenda pemberantasan korupsi ditempatkan pada dua hal pragmatis, yakni kepentingan ekonomi jangka pendek dan kepentingan politik elit yang cenderung transaksional dan kompromis. Sementara pada saat yang sama, politik tidak merestui adanya upaya pemberantasan korupsi yang kuat dan serius yang dibuktikan dari terjeratnya KPK dalam labirin kepentingan politik parlemen dan partai politik melalui skema pansus angket KPK.
Tiga hal diatas menunjukkan satu hal, yakni lemahnya niat negara untuk membangun tata kelola pemerintahan yang baik.Karena itu pula, menjadi tidak terlalu aneh jika pada tahun 2017 kita dihadapkan pada berbagai macam pelecehan norma dan etika yang ditunjukkan oleh banyak elit politik dan pejabat tinggi yang semestinya memberikan panutan bagi masyarakat luas bagaimana menjadi politisi dan pejabat publik yang berintegritas.
Pemberantasan Korupsi di Bawah Ketiak Kepentingan Ekonomi
Prioritas pembangunan pemerintah saat ini adalah bidang ekonomi, khususnya bagaimana mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas ekonomi nasional. Oleh karena itu, iklim investasi harus dibuat lebih kompetitif dan bersahabat. Berbagai proyek deregulasi, pemangkasan proses ijin dan biaya berinvestasi serta penyediaan infrastruktur yang mendukung adalah strateginya. Hasilnya memang positif, posisi Ease Doing Business Indonesia meningkat tajam yakni dari ranking 91 (untuk 2017) ke ranking 72 (2018). Berbagai proyek deregulasi memang erat kaitannya dengan antikorupsi. Asumsinya, aturan yang rumit dan proses yang berbelit-belit melahirkan rente ekonomi (korupsi). Namun sayangnya, Pemerintah hanya fokus untuk membenahi tata kelola yang berkontribusi langsung terhadap perbaikan sektor ekonomi saja.
Pemberantasan Korupsi Diganjal Kepentingan Politik
Berkali-kali Presiden Jokowi melontarkan pernyataan bahwa KPK harus diperkuat. Salah satu tindakan konkret yang dilakukan adalah tidak menghendaki revisi UU KPK. Namun hal itu tidak berlaku bagi gerilya Pansus Angket KPK yang dimotori salah satunya oleh PDI P dan Golkar di parlemen.
Kepentingan politik partai dan elitnya untuk menggergaji KPK tampaknya tak pernah berhenti. Hal ini adalah konsekuensi logis dari upaya KPK untuk menegakkan hukum terhadap praktek korupsi di sektor politik.
KPK pada konteks konsolidasi kepentingan politik-ekonomi elit adalah gangguan yang serius. Sudah banyak politisi yang diproses KPK, baik mereka yang dalam posisi anggota DPR/DPRD, Kepala Daerah maupun Ketua Umum Partai serta mereka yang ada di sektor swasta yang selama ini membangun kolusi dengan pejabat politik untuk mendapatkan akses anggaran dan proyek. Harus diakui bahwa KPK belum bisa menjangkau aktor besar yang selama ini dianggap sebagai oligark, namun gebrakan KPK tampaknya sudah cukup dianggap merepotkan.
Selain penggunaan Pansus Angket KPK, Komisi III DPR sempat bermanuver dengan mendorong gagasan pembentukan Densus Tipikor Mabes Polri. Secara politis, gagasan ini adalah sebuah strategi untuk menggeser fungsi dan wewenang KPK pada Mabes Polri melalui Densus. Targetnya, jika Densus Tipikor terbentuk, maka ada justifikasi baru untuk membubarkan KPK, sementara program pemberantasan korupsi yang akan dikerjakan Densus Tipikor tentu akan lebih mudah dikendalikan oleh parlemen.
Kasus Novel Baswedan yang masih gelap ujung pangkalnya menjadi ujian kemauan politik Pemerintah untuk memperkuat dan melindungi kerja-kerja pemberantasan korupsi KPK. Sayangnya, sampai laporan ini dibuat, sinyal bahwa akan ada pelaku yang diseret ke meja hijau tidak ada sama sekali.
Penegakan Hukum Korupsi Tersendat-Sendat
Pemerintahan Jokowi-JK sejak awal menempatkan institusi penegak hukum sebagai bagian dari tawar menawar politik. Akibatnya, sulit bagi publik untuk mengharapkan ada gebrakan dan upaya serius, khususnya dari Kejaksaan Agung dalam penegakan hukum korupsi. Komitmen pemerintah terhadap penegakan hukum juga kian menipis karena anggaran penegakan hukum secara umum mengalami penyusutan/pemangkasan. Selama tahun 2017, hampir tidak ada satu kasus korupsi besar yang ditangani oleh, baik Kejaksaan Agung RI maupun Mabes Polri.
Situasi penegakan hukum korupsi tertolong oleh gebrakan KPK yang terus menangani kasus cukup besar, seperti E-KTP, BLBI dan berbagai praktek suap yang melibatkan anggota DPR dan pengusaha.
Program untuk mendorong reformasi aparatur sektor penegakan hukum juga tidak tampak, kecuali penggunaan yang lebih intens mereka untuk menyapu bersih praktek pungli, yang secara positif memiliki dampak meski berjangka pendek, dan menempatkan Kejaksaan dan Kepolisian sebagai pengawas langsung program dana desa. Alih-alih menjadikan program dana desa bebas dari masalah korupsi, berbagai keluhan aparatur desa mengemuka karena menjadi korban pemerasan oknum penegak hukum.
Potret Muram Kuasa Yudikatif
Tahun 2017 dibuka dengan berita penangkapan salah satu Hakim Konstitusi, Patrialis Akbar dalam Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan oleh KPK pada 26 Januari. Patrialis Akbar ditangkap oleh KPK karena menerima suap terkait dengan penanganan permohonan uji materil Undang-Undang Peternakan.
Selain penangkapan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, Mahkamah Konstitusi juga diperhadapkan dengan masalah dugaan pelanggaran etika yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat. Sepanjang tahun 2017, Arief Hidayat tercatat sudah 2 (dua) kali dilaporkan ke Dewan Etik Konstitusi, karena diduga melakukan pelanggaran etik yang berkaitan dengan nilai integritas.
Dugaan pelanggaran etik yang terkini dilakukan olehnya adalah dugaan lobi politik yang dilakukan oleh Arief Hidayat untuk memertahankan posisinya sebagai Hakim Konstitusi perwakilan DPR RI dan Ketua Mahkamah Konstitusi. Upaya lobi tersebut diduga dibarter dengan putusan menguntungkan bagi DPR RI dalam Uji Materil UU MD3 yang diajukan oleh masyarakat sipil.
Selain Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung juga menghadapi salah satu permasalahan pelik akibat oknum panitera dan hakim pengadilan yang ditangkap karena melakukan korupsi. Per Oktober 2017, tercatat ada 2 (dua) orang hakim dan 1 (satu) orang panitera yang ditangkap oleh KPK, karena menerima suap terkait dengan penanganan perkara.
Dibawah Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali, terdapat paling tidak 25 oknum Mahkamah Agung yang terlibat dalam perkara korupsi. Hal ini menunjukkan reformasi lembaga pengadilan yang digagas sejak 2003 oleh Mahkamah Agung belum bisa dianggap berhasil.
Kesimpulan
Pertama, program pemberantasan korupsi dibawah pemerintahan Jokowi-JK dimaknai sebatas faktor pendorong pemulihan sektor ekonomi melalui berbagai pendekatan reformasi teknokratis, yakni deregulasi, pemangkasan proses bisnis dan revisi atas tarif dan biaya investasi.
Kedua, kemauan politik untuk memberantas korupsi sangat lemah. Wacana penguatan KPK tidak pernah diterjemahkan dalam aksi dan kebijakan konkret Pemerintah dan parlemen. Sebaliknya, sektor politik menjadi episentrum korupsi yang membuat KPK tak pernah berhenti menghadapi terror dan serangan politik.
Ketiga, penegakan hukum korupsi tidak mengalami lompatan besar. Hampir tidak ada korupsi kelas kakap yang ditangani penegak hukum, khususnya Kejaksaan Agung dan Kepolisian. Politik anggaran pemerintah melalui mengurangan anggaran penegakan hukum turut menurunkan kinerja penegak hukum dalam menangani kasus korupsi.
Pada saat yang sama, sedari awal pemerintahan Jokowi-JK berjudi dengan menempatkan politisi sebagai pemain sentral dalam penegakan hukum di Kejaksaan Agung sehingga upaya pemberantasan korupsi oleh pemerintah melalui kerja-kerja penegakan hukum tidak cukup dirasakan masyarakat. Sementara itu, Pemerintah terus menjejali mereka dengan kerja-kerja ad hoc seperti menjadi tim saber pungli dan menjadi pengawas langsung penyaluran dan penggunaan dana desa.
Keempat, politik meracuni yudikatif dengan berbagai skandal korupsi yang diungkap KPK. OTT terhadap Patrialis Akbar, hakim MK dan manuver politik Ketua MK, Arif Hidayat agar tetap terpilih menjadi Hakim MK oleh DPR mencerminkan bagaimana mekanisme politik telah menurunkan citra dan martabat MK sebagai institusi. Pada konteks MA, banyaknya oknum pengadilan yang tersandung korupsi mengindikasikan reformasi sektor peradilan masih jauh dari harapan.
Rekomendasi
Pertama, Pemerintah harus memperluas cakupan agenda antikorupsi yang tidak sebatas pada sektor ekonomi, melainkan sektor-sektor strategis bagi peningkatan kualitas dan kesejahteraan masyarakat, yakni sektor layanan publik dasar, seperti kesehatan dan pendidikan, sektor pengadaan barang dan jasa yang masih menjadi sarang korupsi serta reformasi birokrasi.
Kedua, Pemerintah jangan menggunakan KPK sebagai alat untuk membangun konsensus politik dengan partai politik pendukung maupun partai yang berada di luar kekuasaan. Wacana penguatan KPK harus dikonkretkan dalam kebijakan politik pemerintah dan meletakkan agenda penguatan KPK dalam kerangka ratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi (UNCAC, 2003).
Ketiga, Pemerintah harus memiliki kendali dan target atas kerja penegakan hukum korupsi, tidak hanya menggunakan secara pragmatis institusi penegak hukum untuk kepentingan ad hoc belaka seperti saber pungli. Memerintahkan aparat penegak hukum menjadi pengawas langsung bagi penyaluran dan penggunaan dana desa bisa menjadi boomerang apabila pemerintah tidak bekerja untuk memperbaiki integritas dan profesionalitas aparat penegak hukumnya.
Keempat, MK dan MA harus mengambil langkah serius untuk menjaga martabat dan wibawa lembaga peradilan, dan menjaga agenda reformasi dengan tidak memberikan ruang sekecil apapun bagi terjadinya pelanggaran etika dan hukum. (ICW/Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :