- Kabid Humas Polda Jatim Kobes Pol. Frans Barung Mangera :Pertimbangan JPU perlu dipertimbangkan penyidik sebelum disidangkan karena ada koordinasi Jaksa.
- Pakar hukum pidana Prof. Dr. Nur Basuki Minarno mengomentari : Pasal 11 UU Korupsi gandengannya pasal 13 bagi si pemberi#
beritakorupsi.co – Sepertinya Satgas Saber Pungli yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2016 tanggal 20 Oktober 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar, sepertinya hanya untuk sipenerima “uang suap” dalam pasal 11 UU Tindak Pidana Korupsi.
Apakah “sipenerima uang suap” dalam pasal 11 UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi, hanya bagi pegawai negeri spil (PNS) atau penyelenggara negara yang terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Tim Saber Pungli berdasarkan Perpres 86 Thn 2016 tentang Sapu Bersih Pungutan Liar ? Lalu bagaimana dengan “sipemberi” dalam pasal 13 UU Korupsi ?
Pasal 11; Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 13; Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 14; Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.
Pasal 15; Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Bila dalam pasal 11 UU Korupsi dikatakan, dipidana penjara bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji. Lalu bagaimana dengan sipemberi hadiah atau janji tersebut, apakah “wajib diselamatkan” oleh Tim Saber Pungli dalam operasi tangkap tangan, dengan “alasan” bahwa si tersangka/terdakwa menarik biaya (uang) diluar ketentuan yang ada dari masyarakat saat mengurus surat-surat di instasi pemerintah maupun dalam program Prona sertifikat gratis ?
Sebab, kata “menerima” berbeda dengan kata “menarik/meminta/memaksa/memeras” dari masyarakat agar membayar biaya administrasi diluar ketentuan yang sudah diatur oleh pemerintah. Menerima berarti ada yang memberikan.
Namun dalam faktanya tidak demikian. Setelah kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Satgas Saber Pungli Polrestabes Surabaya terhadap terdakwa tunggal selaku penerima suap, yakni Dina Karandina, staf pengawasan di Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Pemkab Sidoarjo Jawa Timur di Hotel JW Mariot, Jalan Embongmalang Surabaya, pada Kamis, 23 Maret 2017, kemudain di “seret” JPU dari Kejari Surabaya ke Pengadilan Tipikor Surabaya untuk diadili di hadapan Majelis Hakim dan sudah divonis 1 tahun penjara dari tuntutan 2 tahun dengan pasal 11 UU Korupsi.
Setelah itu, tim Satgas Saber Pungli Polrestabes Surabaya yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar, pada 20 Oktober 2016 lalu, kembali melakukan OTT terhadap 2 (Dua) pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surabaya II selaku penerima suap. Keduanya di “seret” oleh JPU dari Kejari Tanjung Perak dan setelah menjalani proses persidangan, Kedau terdakwa pun dituntut pidana penajara masing-masing selama 2 tahun dengan pasal yang dikenakan yakni pasal 11 UU Korupsi, dan saat ini masih menunggu Vonis dari Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya.
Kali ini, kasusu OTT dilakukan oleh Polres Situbondo terhadap 8 orang, yang terdiri dari 5 orang perangkat Desa termasuk diantaranya Mistari selaku Ketua PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap), Badriyanto selaku Bendahara PTSL dan 2 warga saat melakukan pembayaran terhadap panitia serta Asri Hadiyanto selaku Kepala Desa Kedunglo, Kecamatan Asembagus, pada Senin, 20 Februari 2017 sekira pukul 14.00 WIB.
Anehnya, yang ditetapkan menjadi tersangka oleh penyidik Polres Situbondo dan kemudian “diseret” ke Pengadilan Tipikor Surabaya oleh JPU dari Kejari Situbondo adalah Asri Hadiyanto. Setelah menjalani proses persidangan, terdakwa dituntut podana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan. pasal yang dikenakan pun pasal 11 UU Korupsi.
Pada Kamis, 30 Nopember 2017, Majelis Hakim yang diketuai Judi Prasetya menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 2 tahun dan 4 bulan terhadap terdakwa Asri Hadiyanto yang di dampingi Penasehat Hukum (PH)-nya yakni Yuditira Nugrogo, Musram Doso dan Heriyanto.
Dalam amar putusannya, Majelis Hakim menyatakan, bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi.
“Megadili; Menghukum terdakwa Asri Hadiyanto dengan pidana penjara selama 2 (Dua) tahun dan 4 (Empat) bulan, denda sebesar Lima puluh juta rupiah. dan apabila terdakwa tidak membayar, maka diganti dengan kurungan selama 2 bulan,” ucap Hakim Judi Prasetya
menggapi putusan Majelis Hakim, JPU mapun terdakwa melalui PH-nya mengatakan, akan pikiri-pikirdulu. “Kami piker-pikir dulu, Yang Mulia,” ucap terdakwa
Usai persidangan, saat wartawan media ini meminta tanggapan dari JPU (Jaksa Penuntut Umum) terkait pasal 11 UU Korupsi yang dikenakan terhadap terdakwa mengatakan, bahwa kasus ini dari Polres Situbondo.
“Ini kasus dari Polres, hanya penerima,” ucap JPU.
Saat ditanya lebih lanjut, terkait terdakwa Asri Hadiyanto yang menerima “Uang” dalam pasal 11 UU Korupsi, yang terjaring dalam OTT Tim Saber Pungli Polres Situbondo, apakah si pemberi dalam OTT Tim Saber Pungli tidak ikut diproses ?. JPU tak bisa menjelaskan lebih lanjut.
sementara PH terdakwa Asri Hadiyanto, Yuditira Nugrogo, Musram Doso dan Heriyanto mengatakan, terdakwa tidak mengetahui adanya biaya sebesar Rp 700 ribu yang dikenakan terhadap pemohon PTSL. Karena yang menyampaikan dan menarik adanya biaya dari pemohon itu adalah Mistari selaku Ketu PTSL.
“Terdakwa tidak tau kalau ada biaya dalam program PTLS. yang menyampaikan itu dalah Mistari, dan yang menerima pun dia. ada 37 pemohon yang membayar langsung ke Mistari bukan ke terdakwa. Saat sosialisai, dihadiri Pemda, Kejaksaan dan Polres. Saat itu diperkenankan menarik biaya tetapi yang sewajarnya. Wajarnya berapa, tidak jelas,” ucap PH terdakwa.
Terpisah. Terkait pasal 11 UU Korupsi yang dikenakan oleh Tim Saber Pungli Kepolisian di Jawa Timur dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT), yang hanya terhadap sipenerima “Uang” selaku Pengawai Negeri Spil (PNS), Kabid Humas Polda Jatim Kobes Pol. Frans Barung Mangera mengatakan, ada kasus itu displit (terpisah) dank an diproses sesuai berbeda peran. Kobes Pol. Frans Barung Mangera juga mengatakan, pertimbangan JPU perlu dipertimbangkan penyidik. Alasannya, sebelum disidangkan ada proses yang namanya koordinasi Jaksa.
“Ada kasus itu displit, kita akan proses sesuai ber beda peran. tapi yang terpenting putusan Hakim acuan kita, apakah pemberi itu dapat diproses atau dia korban tekanan, sehingga memberi. Pertimbangan JPU juga perlu dipertimbangkanpenyidik, sebab sebelum disidangkan ada proses yang namanya Koordinasi Jaksa,” kata Kombes Pol. Fran kepada wartawan media ini melalui pesan WhastApp, Jumat, 1 Desember 2017 sekira pukul 09.59 WIB.
Sementara
pakar hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH-Unair)
Surabaya Prof. Dr. Nur Basuki Minarno mengomentari, bahwa pasal 11 UU
Korupsi sebagai penerima, ada gandengannya bagi si pemberi yakni pasal
13. Pakar hukum pidana dari FH-Unair Surabaya ini mengatakan, secara
normativ bila ada yang menerima, ada yang member.
“Hehehe…..ini Tim Saber Pungli ia. Tidak bisa dong, pasal 11 itu ada gandengannya pasal 13. Ada yang menerima tapi tidak ada yang ngasih bagaimana ?. Secara normativnya ada pemberi,” kata Pakar hukum pidana ini saa hubungi melalui nomor selulernya.
Kasus ini bermula dari adanya program pemerintah yakni Prona (Proyek Opersional Agraria) sertifikat gratis bagi masyarakat Desa Kedunglo, Kecamatan Asembagus Kab. Situbondo melalui panitia pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) tahun 2017.
Berdasarkan hasil musyawarah Desa, terbentuklah panitia PTLS antara lain Mistari selaku Ketua dan Bafriyanto menjabat sebagai bendahara serta Muzamil, Hardiyanto dan Puriyanto sebagai Operator. Sementara anggota panitia terdiri dari Budiyanto, Supriyadi , Samsidi, Jai’is, Sahwiyanto, Khairul Umam, Yon Yanto dan Idris Afandi.
Pada tanggal 16 Februari 2017, saat diadakannya sosialisai di kantor BPN Situbondo dihadiri terdakwa selaku Kepala Desa bersama Kepala Desa lainnya selaku peserta PTSL 2017 BPN Situbondo. Selain itu, juga dihadiri dari Kejaksaan, Pemda dan kepolisian.
Dari keterangan saksi selaku pemohon Prona, diantaranya Jono, Hadari, Dihana, Martijo, Sabu alias H. Zainul Arifin, Misla dan Kamsuri mengatakan, bahwa yang menerima dan melakukan penarikan biaya adalah ketua Panitia PTSL yaitu Mistari. Biaya tersebut sebagai kewajiban Pemohon dalam pengurusan surat-surat, karena pemohon tidak dapat melengkapi syarat dan surat-surat sebagai kelengkapan peserta Prona.
Hal itu diakui oleh Mistari dalam persidangan. Mistari mengatakan, dirinya diangkat sebagai Ketua Panitia Prona berdasarkan musyawarah bersama di kantor desa Kedunglo Nomor : Panitia Prona/ PTSL 2017 Desa Kedunglo. selain itu, Mistari menyampaikan bahwa dirnyalah yang menentukan besarnya biaya Prona sebesar Rp 700 ribu per pemohon. Uang yang terkumpul dari 37 Pemohon dengan jumlah 45 Bidang sebesar Rp 22.450.000, dan sudah diserahkan kepada Badriyanto, sementara uang sebesar Rp. 481.500 digunakan untuk kepentingan PTSL 2017, antara lain ; transport konsultasi ke BPN Rp 30.000, konsumsi pekerja penurun patok Rp 20.000, Map kertas Rp 24.000, Fotocopy Rp 22.000, Fotocopy Rp 24.000, Fotocopy Rp 20.000, Fotocopy Rp 11.500, Bensin/Transport Rp 20.000, Konsumsi Panitia Rp 125.000, Konsumsi Panitia Rp 65.000, Konsultasi ke BPN Rp 100.000, Transport kirim undangan Rp. 20.000.
Saat dilakukan Operasi Tangkap Tangan oleh Polres Situbondo, pada tanggal 20 Pebruari 2017, Mistari adalah salah satu diantaranya. Lalu mengapa Mistari dan pihak lainnya tidak senasib dengan terdakwa Asri Hadiyanto ? (Redaksi)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Assalamualaikum wr.wb. Kalau boleh saya tau, berapa nomor putusan atas kasus korupsi prona di situbondo ? Terimakasih
BalasHapusMaaf, silahkan langsung menghubungi pihak Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Surabaya. Tks
BalasHapus