0
Foto dari kanan, terdakwa Djarwo Surjanto dan terdakwa Mieke Yolanda
beritakorupsi.co – Pungli atau pungutan liar, tidak ada yang tau pasti sejak kapan ada. Yang jelas, Pungli sudah merajalela di negeri ini, ibarat akar ilalng yang tumbuh ditanah yang subur.

Bisa jadi hal ini yang menjadi pertimbangan Presiden RI Ir. Joko Widodo mengeluarkan Kepres (Keputusan Presiden) Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli). Dengan harapan, agar para pelaku dapat ditangkap dan diproses hukum.

Anehnya, tak semua pelaku atau tersangka yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Tim Satgas Saber Pungli, diadili di Pengadilan Tipikor, melainkan  di adili di Pengadilan umum karena dianggap pidana umum, seperti kasus OTT Pelindo III Surabaya yang terjaring OTT Tim Saber Pungli Kepolisian pada Nopember 2016 lalu.

Berbeda dengan OTT terhadap pegawai Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sidaorjo dan 2 pegawai BPN Surabaya II oleh Tim Saber Pungli Polrestabes Surabaya, OTT terhadap 8 tersangka/terdakwa perangkat Desa Ploso Kabupaten Sidaorjo oleh Polresta Sidaorjo dan OTT terhadap Kepada Desa oleh Polres Situbondo. Dalam kasus ini, semua tersangkanya diadili di Pengadilan Tipikor pada Penagadilan Negeri (PN) Kelas IA Khusus Surabaya.

Selain OTT yang dilakukan oleh Tim Saber Pungli Kepolisian terhadap para pelaku yang di jerat dengan pidana umum, ada juga para tersangka  yang terjeraing OTT hanya sebagai penerima uang “suap atau hasil pungli” selaku PNS atau penyelenggara negara. sementara si “pemberi” tidak turut diproses dalam pasal 11 UU Korupsi.

Sementara kasus OTT Pelindo III Surabaya yang terjaring oleh Tim Saber Punngli Mabes Polri bersama Polda Jawa Timur dan Polres Pelabuhan Tanjung Perak terhadap 5 pelaku dan 2 diantaranya adalah pejabat Pelindo (Pelabuhan Indonesia) III Surabaya dengan barang bukti (BB) berupa uang ratusan juta rupiah, tidak diadili di Pengadilan Tipikor Surabaya, melainkan diadili di Peradilan umum, dengan dakwaan pemerasan.

Ke- 5 tersangka/terdakwa yakni Djarwo Surjanto (mantan Direktur Utama Pelindo III) Surabaya dan istrinya, Mieke Yolanda. Rahmat Satria (Direktur Operasional PT Pelindo III), Firdiat Firman (Direktur PT Angkara Multi Karya) dan Augusto Hutapea (Direktur PT Akara Multi Jaya).

Kepolisian dan Kejaksaan “sepakat”, kalau kasus OTT PT Pelindo III itu bukan Korupsi, melainkan pemerasan dan Undang-Undang yang dikenakan pun sudah pasti berbeda. Kalau Korupsi, pelakunya dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Sementara, kalau kasus “peras memeras”, pelakunya dijerat dengan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), yang tren dikalangan masyrakat disebut “kasih uang habis perkara”

Dan hal itu pun menjadi kenyataan. JPU dari Kejaksaan Agung RI dan Kejari Tanjung Perak, menyeret para tersangka ini untuk diadili di Peradilan umum Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, dengan tuduhan, melakukan tindak pidana, sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 368 KUHPidana ayat (1) Juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Sidang perkara ini pun mamakan waktu 1 tahun lebih sejak Tim Saber Pungli Mabes Polri melakukan OTT, dan baru berakhir hari ini (kemarin, 4 Nopember 2017).

Pada Senin, 4 Nopember 2017, kasus perkara OTT Pelindo III Surabaya ini pun telah berakhir, dengan dibacanya surat putusan (Vonis) oleh Majelis Hakim yang diketuai Maxi Sigerlaki terhadap 2 terdakwa yakni Djarwo Suryanto  (mantan Dirut PT Pelindo III) bersama Mieke Yolanda Fransiska alias Nonik istrinya.

Dalam amar putusannya, Majelis Hakim menyatakan, bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 368 ayat (1) KUHPidana tentang pemerasan. Menurut Majelis Hakim, tidak menemukan peran terdakwa I Djarwo Suryanto dalam sebagaimana dalam dakwaan Jaksa.

Majelis Hakim menyatakan dalam pertimbangannya, bahwa terdakwa Djarwo dianggap bukan sebagai pengambil keputusan saat terdakwa Firdiat Firman (berkas terpisah) mengajukan kerjasama sewa lahan di Blok B, PT TPS untuk kepentingan bongkar muat  PT Akara Multi Karya (AKM).

"Terdakwa Djarwo hanyalah pemberi pendapat, dan saat itu menyarankan agar Firdiat Firman untuk menghubungi PT TPS yang merupakan anak perusahaan PT Pelindo III. Sehingga pemberi saran bukanlah pengambil keputusan," ucap Hakim Maxi saat membacakan surat putusannya.

Majelis Hakim juga menyatakan, bahwa terdakwa Djarwo dianggap seserorang yang tidak dapat dipersalahkan pada kasus ini, karena terdakwa tidak ikut saat pembuatan perjanjian dan penetuan tarif harga bongkar muat antara Firdiat Firman dan Augusto Hutapea selaku Direktur PT AKM serta tidak pernah berkomunikasi dengan para pihak yang membuat keputusan.

"Sehingga terdakwa Djarwo Suryanto haruslah dibebaskan dari dakwaan jaksa,"kata Hakim Maxi.

Sementara terdakwa II Mieke Yolanda Fransiska alias Nonik juga bernasib mujur seperti suaminya. Sebab terdakwa dibebaskan dari dakwaan maupun tuntutan JPU tentang TPPU (Tindak Pidana  Pencucian Uang), sebagaimana diatur dalam pasal 3 UU RI No 8 Tahun 2010.

Majelis Hakim menyatakan, dalam fakta persidangan, jika terdakwa Mieke pernah menggunakan ATM yang  diberikan oleh Firdiat Firman untuk kepentingan pribadi. Namun Ketua Majelis Hakim Maxi Sigerlaki menyatakan, bahwa  perbuatan tersebut bukanlah perbuatan pidana atau onslagh.

"Oleh karenanya, terdakwa Mieke Yolanda Fransiska alias Nonik dilepaskan dari dakwaan Jaksa," ucap Hakim Maxi.

Sebelumnya, dalam tuntutan JPU, terddajwa Djarwo dituntut pidana penjara selama 3 Tahun, denda sebesar Rp 500 juta, subsider 6 bulan kurungan. Sedangkan Mieke Yolanda dituntut 1 tahun penjara, dengan denda yang sama.

Perbuatan Djarwo dan Mieke Yolanda dianggap tidak mendukung progam pemerintah dalam percepatan dweling time.

Atas putusan tersebut, Jaksa Didik Yudha dari Kejari Tanjung Perak, langsung menyatakan sikap upaya hukum. "Kami kasasi Majelis Hakim," ujar Jaksa Didik Yudha.

Sementara kedua terdakwa melalui tim Penasehat Hukumnya masih menyatakan pikir-pikir.

Usai persidangan, Djarwo Suryanto mengaku lega dengan putusan bebasnya. "Dari awal saya dan istri saya tidak pernah terlibat dan sekarang sudah terbukti kalau saya dan istri tidak terlibat,"ujar Djarwo pada sejumlah awak media usai dinyatakan bebas oleh majelis hakim.

Dr. Sudiman Sidabuke, salah seorang dari tim PH kedua terdakwa mengatakan justru menyesalkan putusan Hakim Maxi Sigerlaki, yang memutus perkara terdakwa Mieke Yolanda Fransiska alias Nonik dengan dinyatakan Onslagh.

"Semestinya kalau dakwaan pertama dibebaskan, maka dakwaan ke dua juga ikut dibebaskan, Ini yang membuat kami bingung dengan pertimbangan Majelis Hakim. Karena secara hukum, bahasa Onslagh itu tidak baik, karena dinyatakan terbukti tapi bukan pidana. Untuk itu kami akan tanyakan dulu ke klien kami, apakah putusan itu akan dikasasi atau tidak," kata Sudiman

Seperti diketahui, kasus ini berawal pada Nopember 2016 lalu, saat Tim Saber Pungli Mabes Polri dibantu Polres Tanjung Perak melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Augusto Hutapea. Augusto selaku Direktur PT Akara Multi Jaya yang merupakan rekanan PT Pelindo III itu terjaring OTT saat mengambil uang hasil “pungli” dari Importir.

Setelah Tim Saber Pungli Mabes Polri menangkap dan memeriksa Augusto, kemudian Tim Saber Pungli Mabes Polri pun mengamankan  beberapa pejabat Pelindo III Surabaya, yakni Rahmat Satria selaku Direktur Operasional PT Pelindo III Surabaya dan Djarwo Surjanto selaku Direktur Utama Pelindo III bersama istrinya, Mieke Yolanda.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top