0
beritakorupsi.co – Berakhir sudah sidang perkara kasus Korupsi suap Ketua DPRD Kota Mojokerto periode 2014-2019 yang “diringkus” KPK dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada 16 Juni lalu, setelah Majelis Hakim membacakan surat putusan yang menghukum 3 terdakwa masing-masing selama 4 thn penjara, pada Selasa, 4 Desember 2017

Ke- 3 terdakwa yang didampingi masing-masing Penasehat Hukum (PH)-nya, yaitu Purnomo (Ketua DPRD), Abdullah Fanani dan Umar Faruq masing-masing sebagai Wakil Ketua, yang menerima uang suap dari terpidana 2 tahun penjara yakni Wiwiet Febriyanto selaku Kepala Dinas PUPR Kota Mojokerto.

Dalam persidangan dengan agenda pembacaan surat putusan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor yang diketuai H.R Unggul Warso Mukti memutuskan, bahwa Ketiga pimpinan Dewan yang terhormat di Kota Mojokerto itu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi secara berkelanjutan, sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 12 hutuf a jo pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) KUHPidana jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana

Dalam pertimbangannya Majelis Hakim menyatakan, bahwa terdakwa selaku Ketua dan Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto telah menerima sebesar uang Rp 450 juta, yang diperuntukkan bagi para Pimpinan dan anggota DPRD kota Mojokerto periode 2014-2019, dari Mas’ud Yunus selaku Wali Kota Mojokerto dan Wiwid Febrianto,  Kepala Dinas PUPR Kota Mojokerto, agar tidak mempersulit pembahasan perubahan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) tahun 2017 maupun RAPBD Tahun Anggaran 2018.

Perbuatan para terdakwa, lanjut Majelis Hakim, bertentangan dengan kewajibannya sebagaimana diatur dalam UU RI Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, sebagamaina telah diubah dengan UU RI Nomor 42 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang RI Nomor 17 tahun 2014 dan UU RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta Peraturan DPRD Kota Mojokerto Nomor 1 Tahun 2014 tentang tata tertib Dewan.

Atas perbuatan terdakwa (Purnomo, Abdullah Fanani dan Umar Faruq), Majelis Hakim tidak sependapat dengan pembelaan Penesehat Hukum para terdakwa. Sehinga terdakwa haruslah dihukum pidana penjara badan dan membayar denda.

“Mengadili; Menghukum terdakwa (Purnomo, Abdullah Fanani dan Umar Faruq) dengan pidana penjara selama Empat tahun, denda sebesar sebesar Rp 200 juta. Apabila terdakwa tidak membayar maka diganti kurungan selama Tiga bulan,” ucap Hakim Unggul.

Hukuman yang diberikan Majelis Hakim terhadap pimpinan lembaga Legislatif Kota Mojokerto ini lebih ringan dari tuntutan JPU KPK Lie Putra Setiawan, Heradian Salipi, Iskandar Marwanto, Subari Kurniawan dan Tri Anggoro Mukti. Sebab dalam sidangan pada 21 Nopember 2017, Pimpinan Dewan yang terhormat sipenerima uang suap itu, dituntut pidana penjara masing-masing selama 5 tahun dan denda Rp 250 juta subsidair 6 bulan kurungan

Tuntutan JPU KPK maupun Vonis Majelis Hakim terhadap Ke- 3 terdakwa tergolong ringan, mengingat jabatan terdakwa selaku pimpinan lembaga legislatif Kota Mojokerto, bila dibandingankan dengan hukuman yang dijatuhi terhadap terdakwa kasus Korupsi selaku pegawai biasa atau dari Kelompok Tani (Poktan)

Atas putusan Majelis Hakim tersebut, JPU KPK maupun PH para terdakwa menyatakan pikir-pikir.

Usai persidangan, Setiyono dari LBH Trisakti Jakarta selaku PH terdakwa Purnomo mengatakan, menerima putusan Majelis.  “Kita menerimalah,” ucapnya singkat.

Wali Kota Mojokerto Mas'ud Yunus
Kasus suap OTT Ketua DPRD Kota Mojokerto tidak berhenti sampai disini. Memang diawal, KPK hanya menangkap 4 pejabat Kota Mojokerto yaitu Kepala Dinas PU dan 3 Pimpinan DPRD Kota Mojokerto. Namun dalam persidangan, ternyata berbuntut, dengan ditetpakannya Wali Kota Mojokerto Mas’ud Yunus sebagai tersangka beberapa hari lalu oleh penyidik KPK.

Walau ditetpakan sebagai tersangka, KPK tidak langsung menginapkan Mas’ud Yunus ke “Hotel Prodeo” alias penjara. Sehingga orang nomor Satu di Kota Mojokerto itu masih bisa tidur nyanyak bersama keluarganya serta menjalankan aktifitasnya sebagai Wali Kota, dan belum merasakan pengapnya uadara di kamar  “Hotel Prodoe” yang bertarif gratis itu.

Selain itu, dalam persidangan sebelumnya terungkap, adanya oknum yang berama Rudi atau Mustabib (tidak hadir sebagai saksi dalam persidangan), yang mencatut lembaga antirasuah dan ICW untuk meminta sejumlah uang Rp 900 juta dari Ipang, salah satu dari beberapa orang yang dipanggil penyidik KPK saat melakukan Pulbaket dan Puldata di Mojokerto, satu bulan sebelum KPK melakukan OTT terhadap Kepala Dinas PU, Ketua DPRD dan 2 Wakil Ketua DPRD.

Karena merasa takut akan ucapan Rudi yang mengatakan, bila diperiksa di Jakarta akan langsung ditahan oleh KPK. Sehingga Ipang pun menyerahkan uang sebesar Rp 900 juta kepada Rudi di Sutos Surabaya.

Sementara pemeriksaan terhadap beberapa orang rekanan (kontraktor) yang dilakukan oleh 2 orang peyidik KPK dilakukan di Hotel Alana Jalan Ketintang, Surabaya. Saat 2 orang penyidik KPK melakukan Pulbaket dan Puldata, Rudi selalu bersama

Setelah KPK melakukan OTT terhadap Wiwiet Febriyanto (Kepala Dinas PU), Purnomo (Ketua DPRD) dan Abdulah Fanani serta Umar Faruq (Wakil Ketua DPRD), Rudi justru menyerahkan uang yang dimintanya dari Ipang ke penyidik KPK.

Uang yang diserahkan Rudi ke KPK yang tidak ada kaitannya dengan kasus OTT, hingga saat ini belum jelas apakah KPK akan menyerahkannya ke Ipang atau ke kas negara ?. Bila ke kas negara, uang yang berasal dari mana dan kasus apa ? Sementara dalam persidangan, Majelis Hakim sempat mempertanyakan ketidak hadiran Rudi sebagai saksi dan juga mempertanyakan bentuk fisik uang yang dimaksud ke JPU KPK.

Terkait nama Rudi, kepada wartawan beritakorupsi.co, Koordinator ICW Adnan membantah dengan keras, bahwa nama Rudi tidak ada di ICW. Begitu juga dengan JPU KPK yang membantah, bahwa Rudi bukan pewagai KPK.

Belakangan diketahui atas pengakuan Ipang, ternyata Rudi adalah mantan Wartawan Harian di Surabaya dan saat ini sebagai pendiri dan Pemimpin Redaksi Media Online “G.co”. Dan hal ini bisa jadi membuat Rudi tidak hadir sebagai saksi di Pengadilan Tipikor sesuai dengan BAP (Berita Acara Pemeriksaan).

 sebesar Rp 900 juta, agar tidak diperiksa di Jakrta.
beberapa orang, saat 2 orang penyidik KPK melakukan Pulbaket dan Puldata di Mojokerto sebagai biaya, agar tidak diperiksa di Jakarta. (yang berprofesi sebagai Wartawan serta adalah pendiri dan Pimpinan Redaksi Media Online 

Pada Selasa, 21 Nopember 2017, JPU KPK mengatakan, bahwa uang tersebut sudah ditipkan oleh Rudi kepada KPK. Untuk mengemabilannya, menurut JPU KPK harus melalui proses hukum yakni agar Rudi melapor ke Kepolisian. Selain itu, JPU KPK dengan tegas membantah, bahwa Rudi bukan pegawai KPK.

“Uang itu sekarang sudah ditiipkan oleh Rudi ke KPK. Rudi bukan pegawai KPK. Kalau untuk mengembalikannya, harus melaui proses hukum,” katanya kemudian.

Lalu mengapa Rudi selalu mendampingi 2 orang penyidik KPK saat memanggil Ipang dan beberapa orang rakanan (Kontraktor) lainnya ke Hotel Alana ?. Apakah Rudi “SP” KPK di Jawa Timur ?


Sementara menurut Ipang saat menceritakan ke wartawan media ini di Pengadilan Tipikor beberapa waktu lalu mengatakan, bahwa Rudi alias Musabib yang tinggal di Wiyung Surabaya adalah mantan Wartawan harian di Surabaya. Menurut Ipang, Rudi bersama 2 penyidik KPK memanggilnya bersama beberapa rekanan yang berasal dari Gersek, Lamongan dan Mojokerto ke Hotel Alana didaerah Ketintang  Surabaya. Saat penyerahan sejumlah uang dari Ipang ke Rudi, dilakukan di Sutos Surabaya tanpa 2 orang peyidik KPK.

“Uang itu saya serahkan di Sutos, hanya berdua, 1 bulan sebelum OTT. Kalau yang dipanggil ke Hotel Alana itu ada 5 orang kalau nggak salah. Dari Gersik, Lamongan, Mojokerto 2, saya dan Pak Darsono. Rudi itu namanya Musabib, dulunya Wartawan Surabaya Pagi. Datanya lengkap di KPK,” kata Ipang.

Kasus Operasi Tangkap Tangan ini berawal Pada sekitar akhir tahun 2016, seperti yang tertuang dalam surat dakwaan JPU KPK, yakni  adanya kesepakatan antara Mas’ud Yunus dengan pimpinan DPRD Kota Mojokerto, dimana Mas’ud Yunus akan memberikan komitmen kepada para Pimpinan dan anggota DPRD Kota Mojokerto, yang bersumber dari persentase atas pelaksanaan anggaran di Dinas PUPR pada program pembangunan infrastruktur pedesaan dengan nama kegiatan penataan lingkungan pemukiman penduduk pedesaan atau Penling, atau yang dikenal dengan istilah program jaring aspirasi masyarakat atau (Jasmas) sejumlah Rp 26 millyar, serta tambahan fee sebesar Rp 65 juta pertahun untuk masing-masing anggota DPRD kota Mojokerto, sebagai uang lelah dalam membahas anggaran yang rencananya diberikan per triwulan di tahun 2017. Pada sekitar bulan Februari 2017, bertempat di ruang kerja Ketua DPRD Kota Mojokerto, terdakwa Purnoma, Umar Farooq dan Abdullah Fanani serta beberapa Ketua Fraksi mengadakan pertemuan dengan Wiwid Febrianto membahas pekerjaan terkait Jasmas, serta tidak lanjut komitmen fee.

Terpidana Wiwiet Febriyanto
Ternyata, hingga bulan Mei 2017, komitmen fee kepada para Pimpinan dan anggota DPRD belum dilakukan. Pada hal ada permasalahan, terkait pelaksanaan anggaran Dinas PUPR pada APBD Tahun Anggaran 2017, yang mungkin akan dipermasalahkan oleh DPRD yang bisa jadi akan berpengaruh terhadap pengajuan perubahan APBD tahun 2017 dan APBD tahun 2018, diantaranya Dinas PUPR Kota Mojokerto tahun 2016, dengan persetujuan Mas’ud Yunus telah menggunakan dana talangan yang bersumber dari Kas Daerah (Kasda) untuk membiayai kekurangan pembayaran atas pekerjaan yang bersumber dari DAK fisik bidang transportasi daerah sejumlah Rp 13.284.905.600 dan fisik bidang infrastruktur perumahan air minum dan sanitasi sejumlah Rp 67.359.000, yang total keseluruhan sejumlah Rp 13.352.264.600 sebagai akibat tidak terealisasinya transfer DAK tahun 2016 dari Kementerian Keuangan Kepada Pemerintah Kota Mojokerto, karena keterlambatan pelaporan pekerjaan DAK fisik oleh dinas PUPR.

JPU KPK mengungkapkan, pada Selasa, 5 Juni 2017, terdakwa Purnomo, Umar Faruq dan Abdullah Fanani menemui Mas’ud Yunus di rumah dinasnya, guna menanyakan tindak lanjut pemberian komitmen fee. Menindaklanjuti pertemuan tersebut, Mas’ud Yunus kemudian meminta Wiwid Febrianto untuk merealisasikan komitmen fee dan menyampaikan kepada para pimpinan DPRD, agar tidak mempersulit pembahasan APBD perubahan tahun 2017 maupun APBD tahun 2018.

Setelah pertemuan di rumah dinas Wali Kota, kemudian dilanjutkan pertemuan di Kantor DPRD Kota Mojokerto keesokan harinya. Terdakwa Purnomo dan Abdullah Fanani, meminta Wiwid Febrianto agar segera merealisasikan komitmen fee sejumlah Rp 395 juta per triwulan, dan tahap pertama dari 8% dana program Jasmas sebesar Rp 500 juta, dan Wiwid Febrianto pun menyanggupinya.

Untuk memenuhi permintaan Dewan itu, pada tanggal 6 Juni 2017, terdakwa Wiwiet Febriyanto bertemu dengan 2 rekanan (Kontraktor) PUPR yakni, Direktur CV Benteng Persaada, Irfan Dwi Cahyono alias Ipang dan Direktur Operasional PT Agrindo Jaya Sejahtera, Dodi Setiawan, di Restoran Bon Cafe Pakuwon Trade Center Surabaya. Dalam pertemuan tersebut, terdakwa Wiwiet Febriyanto meminta uang sejumlah Rp 930 juta, dengan imbalan, pekerjaan yang akan dianggarkan pada APBD perubahan tahun 2017.

Permintaan itu pun langsung disanggupi kedua kontraktor itu. Dari Irfan Dwi Cahyanto alias Ipank sebesar Rp 200 juta dan Dodi Setiawan Rp 730 juta, yang akan diberikan dalam 2 tahap yakni, tahap pertama Rp 430 juta dan tahap kedua sejumlah Rp 500.000.000.

Pada tanggal 10 Juni 2017 dini hari, terdakwa Wiwiet Febriyanto menerima uang sebesar Rp 380 juta, yang berasal dari Ipang 150 juta rupiah dan dari Dodi sebesar Rp 230 juta, diserahkan di parkiran KFC Jalan Adityawarman depan Surabaya Town Square. Kemudian, sekitar pukul 10.00 WIB, terdakwa menyerahkan uang sebesar Rp 150 juta kepada Purnomo, di parkiran Restoran Mc Donald, Jalan Sepanjang Geluran Sidoarjo. Uang tersebut sebagai realisasi komitmen fee dan mengatakan bahwa, sisanya sejumlah Rp 350.000.000 akan diserahkan pada pertengahan bulan Juni 2017.

Kemudan, Purnomo pun membagi-bagikan uang tersebut kepada 22 anggota DPRD Kota Mojokerto yang masing-masing sejumlah Rp 5 juta, Umar Faruq dan Abdulah Fanani masing-masing Rp 12.500.000, Purnomo kebagian Rp 15 juta.

JPU KPK dalam surat dakwaannya merinci, pada tanggal 10 Juni 2017, sekitar pukul 12.00, di alun-alun Kota Mojokerto, Purnomo memberikan uang Rp 57.500.000 kepada Umar faroq, selanjutnya Umar Faruq menyerahkan uang tersebut kepada Gunawan sejumlah Rp 30 juta untuk dibagikan kepada 6 anggota Fraksi gabungan masing-masing Rp 5 juta yakni, Dedi Novianto (Partai Demokrat), Uji Pramono (Partai Demokrat), Kholid Firdaus Waji (Partai Keadilan Sejahtera), Edy Prayitno (PKS), Raihan Mustafa (PPP) dan Gunawan (PPP).

Selain itu, Umar Faruq juga memberitahukan kepada masing-masing anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) yakni, Yuli Veronica, Maschur, Suryono dan Aris Satrio Budi, bahwa masing-masing mendapat bagian uang Rp 5 juta, yang disepakati dipergunakan untuk membeli parcel.

Sekitar pukul 1730 WIB, Purnomo menemui Abdulah Fanani  di  rumahnya di Jalan Surodinawan Mojokerto dan menyerahkan uang sebesar Rp 37.500.000. Kemudian, Abdullah Fanani menyerahkan uang Rp 10 juta kepada Junaidi Malik (Ketua Fraksi PKB) dan Choiroiyah, sebagai bagiannya. Dan Rp 15 juta untuk Sony Basuki Rahardjo (Ketua Fraksi Golkar), Hardi Ashanty dan Anang Wahyudi.

Sedangkan sisanya, dibagikan kepada anggota Fraksi PDIP masing-masing  Rp 5 juta yakni, Darwanto, Yunus Suprayitno, Febriana Meldiyawati, Suliat dan Gusti Fatmawati. Selain itu, Purnomo juga menyerahkan uang sejumlah Rp 15 juta kepada Dwi Edwin Indrapraja (Ketua Fraksi Gerindra), Moh. Harun dan Ita Primaria Lestari, masing-masing Rp 5 juta.

Sementara sisa uang sebesar Rp 280 juta yang diterima terdakwa Wiwiet Febriyanto dari Irfan Dwi Cahyanto alias Ipank, pada hari Selasa tanggal 12 Juni 2017 di Komplek Ruko Citra Harmoni Sidoarjo, dipergunakan untuk keperluan pribadi terdakwa sendiri sebesar Rp 180 juta, dan yang Rp 100 juta, sebagai cicilan pertama atas temuan audit BPK RI dalam proyek Graha Mojokerto Service City (GMSC).

Pada tanggal 16 juni 2017 sekitar 15.00 14.00 WIB, terdakwa Wiiwet Febriyanto menghubungi Umar Faruq, membicarakan rencana penyerahan uang komitmen tahap kedua sejumlah Rp 300 juta, yang kemudian disepakati uang tersebut akan diserahkan melalui Hanif Mashudi, selaku orang kepercayaan Umar Faruq.

Sekita pkl 15.40 WIB, terdakwa bertemu dengan Hanif Mashudi di kantor PUPR dan mengatakan, agar nanti malam, Hanif Mashudi menemui Taufik Fajar guna menerima uang komitmen tahap kedua sebesar Rp 300 juta dari terdakwa, untuk diserahkan kepada anggota DPRD kota Mojokerto melalui Umar Faruq.

Sekitar pukul 23.00 pagi, terdakwa Wiwiet Febriyanto bertemu dengan Irfan Dwi Cahyanto alias Ipang dan Dodi Setiawan, di kantor Dinas PUPR Mojokerto, yang akan menyerahkan uang sebesar Rp 500.000.000. Uang tersebut adalah kekurangan dari kesepakatan sebesar Rp 930 juta, yang berasal dari patungan Irfan Dwi Cahyanto alias Ipang Rp 100 juta dan Dodi Setiawan Rp 400.000.000.

Namun terdakwa meminta, agar uang tersebut diserahkan melalui Taufik Fajar alias Kaji. Kemudian Irfan Dwi Cahyanto alias Ipang, memerintahkan Agung Hariyanto untuk mengantarkan uang tersebut kepada terdakwa melalui Taufik Fajar alias Kaji.

Kemudian terdakwa menghubungi Taufik Fajar untuk menerima penyerahan uang dari Agung Hariyanto dan melaporkan kepada terdakwa, dan terdakwa meminta Taufik Fajar alias Kaji, agar menyisihkan uang sejumlah Rp 300 juta, untuk diserahkan kepada Hanif Mashudi, dan Rp 30 juta diminta untuk disimpan. Sisa sebsar Rp 170 juta, diminta untuk diserahkan kepada terdakwa.

Sekitar pukul 21.00 WIB, Taufik Fajar menyerahkan uang sebesar Rp 300 juta kepada Hanif Mashudi di depan ruahnya. Sementara terdakwa Wiwiet Febriyanto, sekitar pukul 20.00 WIb,  menghadiri rapat dengar pendapat (RDP) sebagai permulaan, dilakukannya pembahasan rencana perubahan APBD tahun 2017, terkait permasalahan penganggaran PENS yang sekaligus tindak lanjut atas hasil konsolidasi dengan Kementerian Dalam Negeri. RDP tersebut, juga dihadiri oleh Purnomo, Umar Faruq dan Abdullah Fanani beserta anggota Komisi III DPRD Kota Mojokerto serta dihadiri juga oleh Kepala Dinas Pendidikan, Novi Raharjo, Subektiarso (Kepala Bidang Anggaran BPPKA), Ani Wijaya (Kepala Bidang Aset DPPKA) juga Helmi (Kepala Bidang Perencanaan Infrastruktur, SDA dan Ekonomi BAPEKO).

Pada saat berlangsungnya RDP, Umar Faruq menerima telepon dari Hanif Mashudi, yang menyampaikan bahwa, telah menerima uang Rp 300 juta dari terdakwa Wiwiet Febriyanto melalui Taufik Fajar alais Kaji. Dari telepon tersebut, Umar Faruq menemui Hanif Mashudi di kantornya di Jalan Surodinawan Mojokerto, untuk memastikan uang yang diberikan oleh terdakwa yang diterima Hanif Masudi. 

Sekitar pukul 23.00 WIB setelah selesai RDP, terdakwa menemui Purnomo diruang kerjanya, dan menyampaikan bahwa uang komitmen tahap pertama program Jasmas yang dapat direalisasikan oleh terdakwa adalah sejumlah Rp 300.000.000 dan telah diserahkan melalui Umar Faruq. Sedangkan sisanya, akan direalisasikan kemudian hari. Terdakwa Wiwiet Febriyanto lalu mengambil uang Rp 170 juta dari Taufik Fajar untuk dipergunakan membayar cicilan rumah sejumlah Rp 30 juta, dan sisanya Rp 140 juta sebahai tambahan uang triwulan anggota DPRD Kota Mojokerto.

Pada dini hari, 16 Juni 2017, setelah selesai RDP, Purnomo menemui Umar Faruq di rumah PAN. Tidak lama kemudian, Umar Faruq menghubungi Hanif Mshudi, supaya datang ke rumah PAN membawa uang Rp 300 juta dari terdakwa, yang disimpan dalam tas ransel berwarna hitam merk ECCE. Tak lama kemudian, merekapun di tangkap KPK.  (Redaksi)

Posting Komentar

Tulias alamat email :

 
Top