Masyarakat pun, khsusunya di Kabupaten Kediri yang hendak menjadi relawan dalam suatau kegiatan yang di danai dari duit negara, akan lebih berhati-hati bila tidak ingin masuk penjara karena dianggap sebagai pejabat yang lebih bertanggung jawab dalam penggunaan anggaran kegiatan tersebut.
Seperti kasus dugaan Korupsi dana Simpan Pinjam Perempuan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (SPP PNPM) di Desa Tanjung, Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri pada tahun 2015 lalu, sebesar Rp 224 juta yang merugikan keuangan negara senilai Rp 131 juta.
Dalam kasus ini, penyidik dan JPU Kejaksaan Negeri (Kejari) Ngasem Kabupaten Kediri, meyeret 2 (Dua) Ibu rumah tangga yang menjadi relawan verifikator ke Pengadilan Tipikor untuk diadili dihadapan Majelis Hakim.
Ke- 2 ibu rumah tangga yang menjadi relawan itu adalah Sriani dan Binti Yatimatul Sholichah. Sebagai relawan yang bertugas untuk mencocokkan proposal yang sudah ditandatangani oleh Kepala Desa Tanjung dengan dilengkapi fotokopi KTP dan tanda tangan peminjam dana SPP PNPM, tidak diberi surat tugas apa lagi SK (Surat Keputusan) pengangkatan sebagai relawan dari Kepala Desa, Camat maupun dari Bupati Kediri.
Jangankan surat tugas atau SK, gaji pun tidak diperoleh kedua terdakwa sebagai relawan verifikator, kecuali trannportasi sebesar Rp 25 ribu.
Oleh Jaksa, Kedua tersangka dituduh telah bekerja sama dengan Mufidatul Khusna alias Pipit selaku koordinator Desa dana SSP PNPM Kecamatan Pagu yang membawahi 10 kelompok (sudah divonis 3 tahun penjara dari tuntutan JPU 5 tahun dan mengembalikan uang negara sebesar Rp 128 juta, pada Kamis, 14 Desember 2017), membuat proposal fiktif untuk mencairkan dana SPP PNPM untuk 10 kelompok yang beranggotakan paling sedikit 10 orang, dengan total pinjaman sebesar Rp 224 juta.
Ke- 10 kelompok tersebut diantaranya kelompok Mawar sebesar Rp 38 juta, kelompok Kenanga Rp 30 juta, Tulip Rp 19 juta, kelompok Cempaka Rp 15 juta, Lala Rp 50 juta, Tanjung Rp 34 juta, dan Melati Rp 38 juta. Kasus ini mencuat saat pembayaran mulai bermasalah.
Anehnya, penyidik maupun Jaksa Penuntut Umum (JPU) Dedi dari Kejari Ngasem, “menganggap” bahwa Sriani dan Binti Yatimatul Sholichah adalah pejabat yang berewenang serta bertanggung jawab dalam pencairan dana SPP PNPM di Desa Tanjung, Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri pada tahun 2015 lalu.
Ke- 2 terdakwa (Sriani dan Binti Yatimatul Sholichah) ini pun dijerat dengan pasal 3 juncto pasal 18 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Pasal 3; Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Terdawka Sriani dan terdakwa Binti Yatimatul Sholichah pun dituntut pidana penjara masing-masing selama 2 tahun, denda sebesar Rp 50 juta atau dikurung selama 2 bulan bila terdakwa tidak membayarnya.
Yang lebih anehnya lagi, Ketua Unit Pengelola Kegiatan (UPK) Kecamatan Pagu Herdanandoyo dan Bendahara UPK Charirotunafisah, S.Sos., binti Alm. Nurali di “lindungi” Kejari Ngasem karena kedua pejabat itu dianggap tidak bertanggung jawab dalam pencairan dana SPP PNPM.
Tidak hanya itu. JPU “tidak” menghadirkan Camat Pagu, sebagai pejabat yang menandatangani surat penetapan pendanaan, dan Mohamad Faisol Budiharsono selaku fasilitator sekaligus sebagai pendamping PNPM Mandiri Pedesaan UPK Kec. Pagu serta Sutadji Syamsudin selaku Badan Pengawas UPK sebagai saksi ke Persidangan. JPU hanya membacakan keterangan Ke- 3 pejabat tersebut.
Akibat ketidak hadiran pejabat tersebut, Penasehat Hukum (PH) terdakwa, Budiharjo Setiawan, M. Yusron Marzuki dan Sayu Indah Samawati terlebih Majelis Hakim yang diketuai Hakim Judi, tak dapat mengajukan pertanyaan terkait tanggung jawab dan kewenangannya.
Hal inilah yang dibeberkan PH Ke- 2 terdakwa, Budiharjo Setiawan, M. Yusron Marzuki dan Sayu Indah Samawati di Persidangan dihadapan Majelis Hakim yang digelar di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Suarabaya dengan agenda pembacaan Pledoi (Pembelaan), pada Kamis, 14 Desember 2017.
Dalam Pledoi yang dibacakan Budiharjo Setiawan dkk, juga memberkan kembali keterangan saksi-saksi dalam persidangan dari anggota kelompok penerima dana SPP PNPM yang dihadirkan JPU Dedi diantaranya, Mujianik binti Swanto, Siti Muyassaroh binti Imam Muslim, Solekah binti Ridwan, Wina Sugiarti binti Sumarno , Lilik Utami binti Sukarno, Siti Juwariyah binti Jaswadi, Tukin binti Poniran dan Ika Andiana binti Andik Budiono.
”Dari keterangan para saksi tersebut diatas, tidak mengetahui proses verifikasi yang dilakukan oleh terdakwa dan tidak menandatangani proposal simpan pinjam perempuan,” ucap Budi
Tidak hanya keterangan saksi dari anggota kelompok yang di beberkan PH terdakwa, melainkan keterangan saksi dari KMPD (Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa) diantaranya, Sutrisno bin Supardi (Koordinator SPP Desa Menang Kec. Pagu), Miftachul Janah binti Poniman (Koordinator SPP Desa Jagung Kec. Pagu). Dari keterangan saksi ini dalam persidangan beberapa waktu lalu mengatakan, bahwa saksi tidak mengerahui proses verifikasi. Saksi ditunjuk sebagai Identifikasi tahun 2016 setelah adanya pemeriksaan dari Kejari.
“Saksi tidak mengetahui proses verifikasi yang dilakukan terdakwa, dan sebagai tim identifikasi baru ditunjuk pada tahun 2016, setelah adanya pemeriksaan dari kejaksaan, dan hanya bertugas mengidentifikasi tunggakan kelompok SPP dan membuat laporan hasil identifikasi kepada ketua UPK kec. Pagu,” ucap Budi membacakan kembali keterangan para saksi.
PH terdakwa juga membacakan kembali keterangan saksi Ketua UPK Herdanandoyo yang intinya, bahwa Ketua UPK mengetahui proses verifikasi, bahkan mendampingi setiap proses verifikasi yang dilakukan oleh terdakwa. Herdanandoyo juga mengetahui ada kelompok fiktif yang diverifikasi oleh terdakwa, namun Ketua UPK itu tidak berusaha untuk melarang atau mencegah terdakwa agar tidak memberikan rekomendasi layak pada proposal tersebut, karena saksi beranggapan bahwa dia tidak berwenang mencegah atau melarang terdakwa karena itu menjadi tanggung jawab BKAD.
Sementara ketarangan Bendahara UPK Charirotunafisah, S.Sos., binti Alm. Nurali mengatakan, bahwa Ia tidak mengetahui proses verifikasi yang dilakukan terdakwa. Charirotunafisah mengaku mencairkan dana yang diduga menggunakan dokumen/proposal fiktif langsung kepada Mufidatul Khusna alias Pipit (Koordinator Kelompok), bukan kepada anggota kelompok pemohon dalam proposal sebagaimana diisyaratkan dalam SOP, karena sudah biasa dilakukan seperti itu. Charirotunafisah selaku bendahara UPK mencairkan dana yang diduga menggunakan dokumen/proposal fiktif tanpa dilampiri surat penetapan pendanaan yang ditanda tangani oleh ketua BKAD, dan Camat sesuai dengan SOP, karena sudah biasa dilakukan seperti itu. Charirotunafisah melakukan atas sepengetahuan Ketua UPK. Charirotunafisah memerintahkan terdakwa Sriani binti Muryadi untuk mengisi form lembaran verifikasi, setelah adanya prosess pemeriksaan dari kejaksaan, karena form verifikasi yang lama (tahun 2015) sudah hilang.
Selain itu, PH terdakwa juga membacakan keterangan saksi dari Ketua BKAD (Badan Kordasi Antar Desa) Ahmad Murtaki. “Keterangan saksi dibawah sumpah sebagai berikut, saksi tidak mengetahui proses verifikasi. Saksi tidak memproses hasil verifikasi terdakwa dalam rapat MAD. Saksi menandatangani surat penetapan pendanaan setelah proses pencairan keuangan di UPK. Saksi mengaku tidak pernah dilibatkan dalam proses SPP perguliran pedesaan di kec. Pagu oleh UPK. Saksi mengaku bersalah karena tidak menjalankan tupoksi saksi sebagai ketua BKAD,” kata PH terdakwa mengutip keterangan saksi.
Usai persidangan, Budiharjo maupun suami terdakwa Sriyani mengatakan bahwa terdakwa hanya diminta untuk membantu memverikasi proposal tanpa ada surat tugas ataupun SK. ”Terdakwa ini hanya relawan yang tidak memiliki SK dan surat tugas. Gaji aja nggak ada, Cuma transportasi Dua puluh Lima ribu yang diterima. Jadi terdakwa ini tidak mengetahui bagaiamana pencairan dana SPP PNP,” ucap Budiharjo.
”Ada SK terdakwa sebagai Badan Pengawas tahun 2010 yang ditandatangani oleh Camat, dan Camatnya sudah pensiun,” lanjut Budi menambahkan yang di Ia kan suami terdakwa.
Sebelumnya, JPU Dedi sempat melontarkan ucapan kepada PH terdakwa di ruang sidang yang mengatakan bahwa Ketua UPK akan naik. ”Paling yang naik ia Ketau UPK nya, mau tak mau ia Ketua UPKnya,” ucap JPU Dedi. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :