beritakorupsi.co – Sepanjang tahun 2017, jumlah kasus perkara Korupsi yang masuk ke Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya sebanyak 288 perkara, sementara tahun 2016 sejumlah 298 atau menurun 3,4%. Dari 288 ditambah 174 sisa perkara tahun 2016 lalu, 248 diantaranya telah diputus (Vonis) oleh Majelis Hakim. Sehingga sisa perkara yang belum diputus yang saat ini masih dalam proses persidangan sebanyak 214 perkara.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Sujatmiko, saat ditemui beritaakorupsi.co diruang kerjanya, Jumat 29 Desember 2017.
“Perkara Korupsi yang masuk ke Pengadilan Tipikor untuk tahun 2017 menurun, yaitu sebanyak 288 perkara. Tahun 2016 sebanyak 298, tetapi ada sisa perkara tahun lalu yang belum diputus karena msih proses persidangan. Jadi jumlah seluruhnya 462 perkara. Dari jumlah perkara tersebut, 248 sudah di putus. Jadi sisa perkara tahun ini yang masih dalam proses persidangan sebanyak 214,” kata Sujatmiko.
Menurunnya jumlah perkara Korupsi yang masuk atau yang disidangkan di Pengadilan Tipikor Surabaya adalah untuk yang Keduakalinya, yaitu pada tahun 2012 sebanyak 129 perkara dari 179 pada tahun 2011. Dari tahun 2013 hingga 2016, perkara Korupis selalu meningkat.
Sujatmiko menambahkan, prioritas baru yang akan dilaksanakan untuk tahun 2018 adalah percepatan penyelesaian perkara dan peningkatan pelayanan publik dengan pemanfaatan IT (Information and Technology), serta peningkatan SDM (Sumber Daya Manusia) di Pengadilan Negeri Kelas I-A Khusus Surabaya, yang membawahi Peradilan Umum meliputi Pidana Umum, pidana anak dan HAM. Kemudian Pengadilan Niaga, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dan Pengadilan Tipikor.
“Prioritas baru tahun 2018 adalah percepatan penyelesaian perkara dan pelayanan publik dengan cara peningkatan dalam pemanfaatan IT serta peningkatan SDM,” ucapnya.
Catatan Akhir Tahun Redaksi beritakorupsi.co
Jumlah perkara Korupsi yang dilimpahkan JPU (Jaksa Penuntut Umum) ke Pengadilan Tipikor Surabaya sejak berdiri pada tanggal 17 Desember 2010 hingga akhir tahun 2017 sebanyak 1458 dengan rincian, tahun 2011 sebanyak 179 perkara, tahun 2012 sebanyak 129 perkara, tahun 2013 sebanyak 141, tahun 2014 sebanyak 214 dan tahun 2015 sebanyak 215. di tahun 2016 semakin meningkat tajam yakni 298 perkara dan tahun 2017 ini mengalami penurunan (lihat grafik)
Dari jumlah perkara Korupsi yang masuk ke Pengadilan Tipikor Surabaya selama tahun 2017 dibandingkan dengan jumlah perkara Korupsi tahun 2016, ibarat berganti musim.
Sebab perkara Korupsi yang merugikan keuangan negara alias anggaran yang disidangkan di Pengadilan Tipikor Surabaya selama tahun 2017 memang menurun. Namun kasus suap Operasi Tangkap (OTT) justru bertambah pesat.
Dari catatan beritakorupsi.co, kasus OTT di tahun 2016 sebanyak 3 kasus, yaitu kasus suap OTT mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin yang ditangkap oleh KPK dan kasus suap OTT Jaksa penyidik di Kejaksaan Tinggi – Jawa Timur (Kejati Jatim) Ahmad Fauzi yang ditangkap oleh Tim Saber Pungli Kejati Jatim sendiri serta kasus suap OTT Pejabat Pelindo III Surabaya yang dilakukan oleh Tim Saber Pungli Mabes Polri bersama Polda Jatim dan Polres Tanjung Perak Surabaya.
Dari ke- 3 kasus suap OTT ini, salah satunya mengundang pertanyaan publik yakni OTT terhadap pejabat Pelindo III Surabaya, yang perkaranya disidangkan di Pengadilan Negeri Surabaya dengan tuduhan melakukan pemersan, bukan diadili di Pengadilan Tipikor seperti 2 kasus OTT lainnya. Hasilnya, pejabat Pelindo III Surabaya itu pun divonis bebas. Bebasnya terdakwa bisa jadi, karena tidak terbukti melakukan peras memeras.
Sementara kasus suap OTT tahun 2017 justru bertambah pesat menjadi 27 pekara dengan jumlah terdakwa sebanyak 29 orang yang semuanya dilakukan oleh KPK terhadap para pejabat mulai dari Kepala Dinas, Direktur Utama Perusahaan Negara, Bupati, Wali Kota hingga Ketua DPRD.
Dan yang paling memamlukan untuk yang keduakalinya adalah, tertangkapnya Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Pamekasan Rudi Indra Prasetya, dengan barang bukti berupa uang sebesar Rp 250 juta untuk penghentian penanganan kasus dugaan penyalahgunaan Dana Desa dan Alokasi Dana Desa tahun 2016 di Desa Dasok Kabupaten Pamekasan. Sebelumnya, Ahmad Fauzi Jaksa penyidik di Kejati Jatim terjaring OTT dengan barang bukti berupa uang sebesar Rp 1,5 M. Nilai yang sangat fantastis untuk seorang pegawai Golongan III/B. Hanya saja si Jaksa nakal itu ditangkap rekan-rekan sekantornya yang tergabung dalam Tim Saber Pungli. Andai saja ditangkap KPK, certia kasus OTT si Jaksa akan lebih menarik.
Selain kasus OTT yang dilakukan oleh KPK terhadap para pejabat di Jawa Timur, ada dua kasus penyidikan perkara Korupsi yang juga ditangani KPK, yakni kasus Korupsi gratifikasi dan TPPU yang menyeret Wali Kota Madiun Bambang Irianto (Sudah divonis 6 tahun penjara) dan Kasus Korupsi “anggaran” APBD Kota Malang dengan tersangka Ketua DPRD.
Sehingga jumlah perkara yang ditangani KPK di Provinsi yang dipimpin Gubernur Sukarwo yang sukses meraih barbagai penghargaan dari pemerintah pusat maupun luar adalah sebanyak 11,2% atau 29 perkara dari total prkara masuk ke Pengadilan Tipikor sebanyak 288 atau 11,2%.
Dari 27 kasus OTT ditambah 2 hasil penyidikan yang dilakukan KPK di Jawa Timur selama tahun 2017 adalah, diantaranya;
1. Kasus suap OTT PT PAL (BUMN) pada akhir Maret 2017 dengan tersangka/terdakwa/terpidana Agus Nugroho (Direktur Umum PT Perusa Sejati), Arif Cahyana (Kepala Perbendaharaan PT PAL), Saiful Anwar (Direktur Keuangan PT PAL) dan Direktur Utama PT PAL.
2. Setelah itu, KPK kembali melakukan OTT PT terhadap Ketua dan Wakil Ketua Komis B DPRD Jatim, M. Basuki dan Ka’bil Mubarok bersama 2 staf Komisi B Rahman Agung dan Santoso termasuk Kepala Dinas Pertani Pertanian dan Ketahanan Pangan bersama Ajudannya Anang Basuki Rahmat serta Plt. Kepala Dinas Peternakan Rohayati (3 sudah divonis dan 4 terdakwa masih proses persidangan), ditangkap pada Juni 2017.
.
3. Masih dibulan Juni 2017, KPK kembali melakukan OTT terhadap 4 pejabat di Mojokerto, antara lain Purnomo (Ketua DPRD), Fanani dan Umar Faruq (Keduanya Wakil Ketua DPRD) bersama Kepala Dinas PUPR Kota Mojokerto Wiwiet Febriyanto (para terdakwa ini sudah divonis bersalah).
4. Pejabat di Jawa Timur sepertinya “menantang” KPK. Kali ini justru Aparat Penegak Hukum (APH) yang terjaring OTT yaitu Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Pamekasan Rudi Indra Prasetya bersama Kepala Inspektorat Kab. Pamekasan Sutjipto Utomo dan anak buahnya Noer Solahuddin selaku Kepala Kepagawaian Inspektorat Kab. Pamesan dirumah dinas Kajari dengan barang bukti (BB) berupa uang sebesar Rp 250 juta. Selain Ketinganya, Bupati Pamekasan Achmad Syafi’i dan sahabat karibnya Agus Mulyadi selaku Kepala Desa Dasok Kabupaten Pamekasan turut diamankan (semuanya sudah di Vonis bersalah), pada tanggal 2 Agustus 2017.
5. Dua minggu kemudian tepatnya tanggal 16 September 2017, KPK kembali melakukan OTT terhadap Wali Kota Batu, Malang Jawa – Timur Eddy Rumpoko, Edi Setiawan (Kabag Unit Layanan Pengadaan Kota Batu) dan Filipus Djab, seorang pengusaha di Kota Batu (masih proses hukum).
Sebelumnya, nama Eddy Rumpoko bersama Kepala Inspektorat disebut dalam putusan Majelis Hakim turut bertanggung jawab dalam kasus Korupso Pariwisata Kota Batu ke Kalimantan. Namun Kejari Batu maupun Kejati Jatim “tak” berani “menyeretnya.
6. Masih dibulan September tepatnya tanggal 29 September 2017, KPK lagi-lagi melakukan aksi OTT terhadap Bupati Nganjuk Taufikurrahman bersama 4 tersangka lainnya. Sebelumnya, pada Desember 2016, Taufikurrahman ditetapkan menjadi tersangka kasus Korupsi oleh KPK. Namun KPK kalah disidang Praperadilan.
Selain itu, ada 2 perkara Korupsi yang ditangani KPK di Jatim, yakni Wali Kota Madiun Bambang Irianto (sudah Vonis 6 tahun) dan kasus Korupsi “suap” dengan tersangka Ketua DPRD Kota Malang.
Kemudian ditetapkannya Wali Kota Mojokerto sebagai tersangka yang masih berkaitan dengan kasus OTT Ketua dan 2 Wakil Ketua DPRD serta Kepala Dinas PUPR Kota Mojokerto.
“Hitam Putihnya” penegakan hukum dalam pembertasan Korupsi di Jawa Timur 2017.
Dari kasus Korupis yang ditangani KPK di Jawa Timur selama tahun 2017 terkesan meninggalkan “noda”, khususnya dalam kasus OTT PT PAL Indonesia (Persero). Sebab dalam kasus ini, JPU KPK tak dapat menghadirikan saksi fakta yakni Kirana Kotama, pemilik PT Perusa Sejati dan Liliosa AA Savedra dari Ashanty Sales Incoporation di Fhilipina.
Sebab, tertangkapnya Arif Cahyana (Kepala Perbendaharaan PT PAL) pada tanggal 30 Maret 2017, setelah menerima uang dari Agus Nugroho (Direktur Umum PT Perusa Sejati) sebesar USD $ 25.000 atau setara dengan 325 juta rupiah. Uang tersebut diterima Agus Nugroho dari Kirana Kotama (Pemilik PT Perusa Sejati) melaui Elvi Gusliana alias Dede yang juga pegawai PT Perusa Sejati.
Uang sebesar USD $25.000 yang diterima Arif Cahyana dari Agus Nugroho pada tanggal 30 Maret 2017, adalah termin ke 2 dari total uang Cash Back 1,25 persen dari nilai kontrak 2 kapal SSV milik pemerintah Filipina sebesar USD $86.987.832,5. Sementara termin pertama sudah diterima sebelumnya oleh pihak PT PAL pada tahun 2015 sebesar USD $163.000 atau setara dengan nilai rupiah Rp 2.119.000.000.
Andai saja Arif Cahyana tidak tertangkap oleh KPK, uang sebesar USD $ 25.000 itu akan dibayarkan PT PAL ke Mabes TNI AL di Cilangkap sebagai Dana Komando. Yang sebelumnya, PT PAL sudanh menyetorkan Dana Komando sejumlah USD $ 250.000 dan USD $ 163.000 atau setara dengan 5,3 milliar rupiah.
Dana Komando tak bedanya dengan komitmen fee yang diterima Ketua Komis B DPRD Jatim dari 10 Kepala Dinas ditingkat Provinsi dan juga yang diterima Ketua DPRD Kota Mojokerto dari Kepala Dinas PUPR Kota Mojokerto, sekaligus menghantarkannya ke penjara.
Sementara Lilioasa AA Savedra adalah sebagai agen PT PAL di Fhilipina untuk membantu PT PAL memperoleh proyek pembangunan 2 kapal perang jenis SSV milil pemerintah Fhilipina. Sebagai agen, Ashanty Sales meminta fee agen 3,5 persen daari nilai kontra 2 kapal tersebut.
Faktanya, fee agen dari 3,5 persen menjadi 4,75 persen sesuai perjanjian PT PAL dengan Ashanty Sales. Dimana 1,25 persen menjadi chas back PT PAL atas hasil rapat BOD (Board Of Directors) atau seluruh Direksi PT PAL. Uang chas back tersebut akan dibayarkan Ashanty Sales ke PT PAL setelah pembayaran termin pembangunan 2 kapal perang milik pemerintah Fhilipina itu.
Selain itu, JPU KPK juga tak menghadirkan pihak sipenerima Dana Komando. Dimana Dana Komando itu juga diketahui oleh Komisiaris PT PAL dan pejabat kementerian BUMN. Komisiaris Utama (Komut) PT PAL adalah Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL). Anehnya, JPU KPK justru menghadirkan ahli hukum pidana ke persidangan.
Selain kasus OTT PAL, kasus OTT Ketua dan 2 Wakil Ketua DPRD serta Kepala Dinas PUPR Kota Mojokerto juga tak kalah. Sebab dalam kasus OTT ini, ada wartawan yang mengaku sebagai pegawai KPK atau ICW yakni Rudi alias Musabib.
Rudi ini, selalu mendampingi 2 penyidik KPK saat melakukan Pulbaket dan Puldata di Mojokerto. Ada beberapa rekanan atau Kontraktor dilingkungan Dinas PUPR yang dipanggil ke Hotel Alana yang terletak di Jalan Ketintang Surabaya untuk diperiksa.
Rudi lalu melakukan aksinya dengan meminta sejumlah unag dari para rekanan diantaranya adalah Ipang, dengan alasan sebagai biaya apabila para rekanan yang dipanggil itu diperiksa di Surabaya. Jika diperiksa di Jakarta biaya gratis namun tak akan kembali ke “pangkuan sang istri” alias langsung ditahan sebagai tersangka Korupsi.
Karena takut dengan kata-kata Rudi itu, Ipang pun menyerahkan uang sebesar Rp 900 juta kepada Rudi di Sutos Surabaya saat keduanya mengadakan pertemuan. Satu bulan kemudian, KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan.
Fakta yang terungkap dalam persidangan, uang sebesar Rp 900 juta itu berada di KPK setelah Rudi menitipkannya. KPK “tak mau” menyerahkan uang itu terhadap Ipang tanpa melalui prosedur yakni, Ipang membuat laporan Kepolisian.
Anehnya, JPU KPK “tak dapat” menghadirkan Rudi sabagaiu saksi dipersidangan, walau JPU KPK beralasan kepada Majelis Hakim sudah melakukan pemanggilan sebanyak 2 kali. Adakah yang berani menolak panggilan lembaga anti rasuah itu bahkan sekelas Ketua DPR RI ? atau saat Budiono sebagai Wakil Presiden RI dihadirkan juga ke persidangan sebagai saksi. Lalu mengapa Rudi tak dapat dihadirkan ?
Selain itu, kasus Korupsi yang menyeret Bupati (non aktif) Siburajua NTT tak kalah juga. Sebab saat ini, Mabes Polri sedang melakukan penyelidian/penyidikan kasus dugaan “pemerasan” yang dilakukan 2 pengacara asal Surabaya yang kaitannya dengan penyidikan yang dilakukan KPK terhadap terdakwa.
Selain kasus OTT yang ditangani KPK di Jatim, kasus OTT yang ditangani Tim Saber Pungli Kepolisian pun pengundang pertanyaan. Sebab para tersangka yang terjaring OTT hanyalah sipenerima yang berstatus pegawai negeri spil (PNS) dan dijerat dengan pasal 11 UU Korupsi. Lalu apakah sipemberi uang suap itu tak terjerat dalam UU Korupsi ? Bila dikatakan si penyelenggara negara/PNS memaksa masyarakat untuk memberikan uang, mengapa dijerat dengan pasal 11 UU Korupsi ?
Tak salah memang, bila kasus OTT Tim Saber Pungli Mabes Polri bersama Polda Jatim dan Polres Tanjung Perak Surabaya terhadap mantan Direktur Utama Pelindo III Surabaya Djarwo Surjanto dkk pada Nopember 2016 lalu, dijerat dengan tuduhan melakukan pemerasan, yakni pasal 368 KUHP ayat (1) Juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana, yang akhirnya Djarwo Surjanto divonis bebas oleh Hakim PN Surabaya pada tanggal 4 Nopember 2014.
Pandangan miringpun dilontarkan kepihak Pengadilan atas Vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim terhadap para pelaku yang diduga melakukan Koruspi maupun yang tertangkap tangan karena dugaan menerima suap. Para penggiat anti Korupsi berharap, semua tersangka dihukum “mati” sesuai dengan tuntutan Jaksa “tanpa melihat fakta persidangan”.
Disisi lain, JPU dari lembaga Adhyaksa maupun JPU dari KPK tak berani menuntut dengan hukuman paling berat yakni 20 tahun penjara terhadap Jaksa yang terjaring OTT.
Namun masyarakat penggiat anti Korupsi maupun “media” tak ada pula yang “berteriak” atas tuntutan ringan JPU terhadap Jaksa yang terjaring OTT itu seakan “terhipnotis”.
Problem dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK) diantaranya kelambagaan, perbuatan kewenangan antar APH, Dispartisan kewenangan anggaran antar APH, Akselerasi dan kepedulian APH atau lembaga lainnya terhadap pencegahan Vs Pendidikan termasuk yang harus diexplore Pemberdayaan Inspektorat agar mampu menjadi garda terdepan pencegahan TPK dimasning-masing K/L/D/I.
Hal itu disampaikan Dr. Herry Sinurat, ST.MMT,SH,MH, Pengamat Hukum Konstruksi serta Dosen yang juga sebagai Ketua Litbang DPD IAPI (Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia), SekretAris Ikatan Ahli Manajemen Proyek Indonesia (IAMPI), Ketua Bidang Advokasi Persatuan Insinyiur Indonesai (PII), Sekretaris Himpunan Ahli Kontrak Konstruksi Indonesia (HAKKI) Prov Jawa Timur, peraih penghargaan dari Lembaga Prestasi Indonesia Dunia (Leprid) sebagai Peraih Diversifikasi Ilmu Teknik Sipil dan Hukum dengan Jenjang Pendidikan Sebidang ini kepada beritakorupsi.co, Sabtu, 30 Desember 2017. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :