#KPK “Tidak” Berani menghadirkan Penerima Dana Komando
dan Bos PT Perusa Sejati, Kirana Kotama serta Ashanty Sales
Incoperation#
beritakorupsi.co – Sidang perkara kasus Korupsi Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK terhadap 3 Direksi PT PAL Indonesia (Persero) pada Maret lalu, telah berakhir dengan dibacanya surat putusan (Vonis) oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, pada Senin, 18 Desember 2017.
Ke- 3 Direksi perusahaan milik BUMN yang menjadi terdakwa itu adalah Arif Cahyana (Kepala Perbendaharaan atau GM Keuangan PT PAL), Saiful Anwar ((Direktur Desain dan Teknologi yang merangkap sebagai Direktur Keuangan PT PAL) dan M. Firmansyah Arifin (Direktur Utama PT PAL) dengan masing-masing perkara terpisah).
Ke- 3 Direksi perusahaan stategis negara ini terseret ke Meja Hijau Pengadilan Tipikor Surabaya, setelah KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Agus Nugroho (Direktur PT Perusa Sejati) dan Arif Cahyana, pada Kamis, 30 Maret 2017 lalu.
Penangkapan yang dilakukan oleh KPK terhadap Agus Nugroho (sudah divonis 2 tahun penajara pada Juli 2017) terkait penyerahan uang Cash Back sebesar USD25.000 atau setara dengan nilai rupiah sebesar Rp 325 juta dari Ashanty Sales Inc melaui Kirana Kotama pemilik PT Perusa Sejati, dan dari Kirana Kotama ke Agus Nugroho. selanjutnya, Agus Nugroho menyerahkan ke PT PAL melalui Arif Cahyana, pada tanggal 30 Maret 2017.
Ashanty Sales Inc. adalah salah satu perusahaan di Fhilipina yang menjadi agen PT PAL untuk mendapatkan proyek pembangunan 2 kapal perang jenis SSV (Strategic Sealift Vessel)vmilik pemerintah Fhilipina. Sementara PT Perusa Sejati sebagai perwakilan Ashanty Sales di Indonesia. PT Perusa Sejati sebelumnya bergerak dibidang penyediaan alat-alat pesawat terbang.
Dalam persidangan dengan agenda pembacaan surat putusan oleh Majelis Hakim yang diketuai Hakim H. Tahsin dengan dibantu 2 Hakim Ad Hock Dr. Andriano dan Dr. Lufsiana menyatakan dalam amar putusannya, bahwa terdakwa (Arif Cahyana, Saiful Anwar dan M. Firmansyah Arifin) terbukti secara sah dan meyakinkan, bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama, sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 12 huruf b dan pasal 12 huruf B ayat (1) jo pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Para terdakwa pun dijatuhi hukuman pidana penjara masing-masing 4 tahun.
“Mengadili; Mengukum terdakwa dengan pidana penjara selama 4 tahun dan pidana tambahan berupa membayar uang denda sebesar Dua ratus juta rupiah. Mengenai uang denda, apabila terdakwa tidak membayar maka diganti kurungan selama Dua bulan,” ucap Ketua Majelis Hakim.
Hukuman yang dijatuhkan Majelis Hakim terhadap terdakwa Arif Cahyana, Saiful Anwar dan M. Firmansyah Arifin lebih ringan 1 tahun dari tuntutan JPU KPK Ronald Ferdinand Worotikan, Mungki Hadpratikto, Budi Sarumpaet dan Irman Yudiandri yakni dengan tuntutan pidana penjara masing-masing selama 5 tahun, denda sebesar Rp 250 juta atau kurungan selama 6 bulan.
Dalam putusan Majelis Hakim ini tidak seperti saat pemeriksaan saksi-saksi, dimana Majelis Hakim terlihat tegas mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada puluhan saksi yang dihadirkan JPU KPK dalam persidangan. Bahkan Majelis Hakim memerintahkan JPU KPK dalam persidangan dengn terdakwa Agus Nugroho untuk mengajukan bukti-bukti ke Presiden, agar dapat menyita dana PT PAL di BRI Cabang Cilangkap sebesar Rp 5 milliar yang diblokir oleh Mabes TNI AL karena PT PAL belum melunasi Dana Komando.
Tidak hanya disitu. Majelis Hakim juga sempat memrintahkan JPU KPK untuk memeriksa rekanan yang menjadi Subkontrak di PT PAL terkait pengerjaan HARKAN (perbaikan dan pemiliharaan) kapal milik TNI AL. Namun entah mengapa, dalam putusan Majelis Hakim tidak menyebutkan siapapun yang turut bertanggung jawab terkait penerimaan uang Cash Back sebesar 1,25 persen dari total nilai anggaran pembangunan 2 kapal SSV milik negara Fhilipina itu dan pembayaran Dana Komando yang tidak ada aturan hukumnya alias “Korupsi”
Memang, dalam surat tuntutan JPU KPK juga tidak menyebutkan keterlibatan pihak lain dalam penentuan jumlah fee agen kepada Ashanty Sales dari 3,5 persen menjadi 4,75 persen, dimana 1,25 persen sebagai dana Cash Back untuk PT PAL. Pada hal, penentuan besaran fee agen dan dana Cash Back adalah hasil rapat BOD (Board Of Directors) atau seluruh Direksi PT PAL.
Anehnya, JPU KPK justru menghadirkan ahli hukum pidana dari pada menghadirkan saksi fakta yakni Sahanty Sales selaku agen PT PAL di Philipina dalam pembangunan 2 kapal perang milik pemerintah Philipina, dan Kirana Kotama pemilik perusahaan PT Perusa Sejati selaku perwakilan Ashanty Sales di Indonesia, yang saat ini berada di Amerika Serikat.
Pada hal, menurut JPU KPK, Kirana Kotama sudah ditetpakan sebagai tersangka. Namun diakui, sulit untuk menghadirkan pengusaha yang dulu bergerak dibidang penyidiaan spare part (alat-alat) pesawat terbang itu.
Pada hal, kasus suap OTT yang menjerat 3 terdakwa dari perusahaan pelat merah ini, adalah terkait penerimaan uang sebesar USD25.000 atau setara dengan nilai rupiah Rp 13.000 per Dollar (RP 325 juta) sebagai termin kedua dari fee agen 4,75 persen dari nilai kontrak 2 kapal perang milik pemerintah Philipina sebesar USD86 juta lebih, antara PT PAL dengan Ashanty Sales, dimana 1,25 persen adalah sebagai chas back untuk PT PAL atas keputusan rapat Direksi atau BOD (Board Of Directors)
Dari fakta persidanagan, chas back 1,25 persen tersebut adalah uang PT PAL sendiri yang dititipkan dalam perjanjian fee angen antara PT PAL dengan Ashanty Sales. Kemudian, Shanty Sales mengembalikannya setelah dilakukan pembayaran pembangunan kapal tersebut. Dan tidak hanya itu, dalam dokumen pembangunan kapal perang Philipina, juga terdapat Dana Komando yang besarnya USD 250 ribu Dollar.
Uang chas back itulah yang dikembalikan oleh Ashanty Sales melalui Kirana Kotama, dan Kirana Kotama ke ke Agus Nugroho selaku Direktur Umum PT Perusa Sejati (sudah divonis 2 tahun penjara dari 2,6 tahun tuntutan JPU KPK ). Atas perintah Kirana Kotama, kemudian Agus Nugroho menyerahkannya ke PT PAL melalui Arif Cahyana, sekaligus menghantarkan mereka ke balik jeruji besi alias penjara setelah terlebih dahulu ditangkap tim KPK dalam Operasi Tangkap Tangan, pada akhir Maret lalu.
Mengapa keputusan Direksi yang dianggap tidak sesuai dengan aturan terkait fee agen dari 3,5 persen menjadi menajdi 4,75 persen dan 1,25 persen dari itu adalah sebagai cash back untuk Direksi PT PAL hanya menjadi tanggung jawab terdakwa?
Mengapa JPU KPK maupun Majelis Hakim tidak menyebutkan penerima Dana Komando turut bertanggung jawab, karena pembayaran dan penerimaan Dana Komando tidak ada aturannya apalagi tidak ada bukti pembayaran serta bukti penerimaan ?
Terkait putusan Majelis Hakim, JPU KPK mapun Penasehat Hukum (PH) terdakwa yang juga mantan PH terpidana Patrialis Akbar (Ketua Mahkamah Konsitusi yang terjaring OTT) sama-sama menyatakan pikir-pikir.
Usai persidangan, saat wartawan media ini menayakkan terkait pihak-pihak yang turut bertanggung jawab dalam kasus yang menyeret 3 Direksi PT PAL, JPU KPK Mungki Hadpratikto mengatakan tidak ada.
“Untuk sementara waktu yang tercatat dalam penganan kami tidak ada untuk sementara waktu,” jawab JPU KPK Mungki.
“Untuk sementara waktu, ada kemungkinan ?,” tanya wartawan beritakorupsi.co.
“Kami tentunya tidak dapat menyampaikan apa yang belum pasti,” jawab JPU KPK Mungki.
Saat ditanya lebih lanjut terkait fee agen dari 3,5 persen menjadi 4,75 persen atas hasil rapat BOD hanya menjadi tanggung jawab ke- 3 terdakwa ?. Menurut JPU KPK Mungki mengatakan perlu mencari bukti.
“Fakta bahwa disampaikan dibahas BOD yang disampaikan oleh beberapa orang disini (persidangan) dan mereka para terdakwa, hal tersebut merupakan yang mungkin nanti dipertimbangkan. Tentunya apa yang disampaikan para terdakwa, hal tersebut perlu dicari fakta lain yang dapat mendukung fakta yang disampaikan para terdakwa. Jadi tidak sertamerta semua fakta yang terungkap dalam hal ini harus kita sampaikan adalah benar. Setiap fakta tersebut mempunyai nilai pembuktian seberapa jauh nilai pembuktiannya,” kata JPU KPK Mungki.
Sementara terkait cash back 1,25 persen dari nilai kontrak 2 kapal milik Fhilipina yang diputuskan rapat BOD maupun Dana Komando, JPU KPK ini mengatakan, fakta tersebut mempunyai nilai pembuktian seberapa jauh nilai pembuktiannya berdasarkan bukti.
Memang, sulit untuk JPU KPK menyeret sipenerima Dana Komando karena tidak ada bukti setor maupun bukti terima. Kecuali keternagan semua saksi dari Direksi PT PAL yang mengatakan bahwa fee agen dan uang cash back adalah hasil rapat Direksi. Hal itu terungkap dalam surat dakwaan JPU KPK.
Tetapi, saat KPK menangani kasus OTT Ketua Komisi B DPRD Jatim, tidak ada bukti setor dari Dinas Peternakan ke Ketua Komis B DPRD Jatim. Namun Rohayati selaku Plt. Kepala Dinas Peternakan itu “diseret” ke Pengadilan untuk diadili setelah ter;ebih dahulu KPK melakjukan OTT terhadap M. Basuki, Ka’bil Mubarok bersama 2 Staf Komis B serta Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Pemrov Jatim bersama ajudannya.
Diantara Surat Dakwaan JPU KPK dengan Fakta Persidangan
Heri Suanto (mantan Direktur Utama PT PAL), Edi Widarto (mantan Direktur Produksi PT PAL yang saat ini menjabat Dirut PT IKI), Turitan (Direktur Pembangunan) dan Cornelius Asmono (bagian Akutansi) |
Sekitar pukul 12.00 siang (30 Maret 2017), Agus Nugroho kembali menerima pesan Melalui WhatsApp dari Arif Cahyana, yang memberitahukan akan menemui Agus Nugroho di kantor PT Perusaha Sejati. Agus Nugroho pun kemudian memberikan alamat kantor PT Perusa Sejati, di Jalan MT Haryono, Kavling X, Jakarta Timur.
Setelah Keduanya bertemu di ruang rapat lantai 2 kantor PT Perusa Sejati, Agus Nugroho menyerahkan amplop berwarna Coklat yang berisi uang sebesar US25.000 Dolar kepada Arif Cahyana. Dan beberapa menit kemudian, Kedaunya pun ditangkap oleh Tim KPK.
Dari fakta persidangan, berdasarkan keterangan saksi Saiful Anwar, Imam S, Arif Cahyana dan M. Firmansyah Arifin, dengan terdakwa Agus Nugroho, dihadapan Majelis Hakim terungkap, bahwa uang sebesar US25.000 Dollar adalah sebagai Chas Back yang diteriam PT PAL dari Ashanty Sales Inc.
Selain itu, Saiful Anwar juga mengungkapkan dalam persidangan, adanya Dana Komando (KD) sebesar 8 persen dari nilai kontrak, apa bila ada proyek kerja sama antara PT PAL dengan TNI AL. Atas pertanyaan Majelis Hakim, Imam Sulistyanto, Arif Cahyana dan M. Firmansyah Arifin menjelaskan bahwa, uang sebesar US163 Dollar, sudah diserahkan kepada Pekas TNI AL di Mabes TNI AL Cilangkap pada Januari 2015 lalu.
Sebelumnya, pada tanggal 30 Agustus 2012 lalu, M. Firmansyah Arifin selaku Dirut PT PAL, memperbaharui perjanjian kerjasama Agency Agreement No. SPER/38/10000/VIII/2012, yang ditandatangani bersama Liliosa L. Saavedra selaku CEO Ashanti Sales Inc. Dalam Agency Agreement tersebut dinyatakan bahwa Ashanty Sales ditunjuk menjadi agen yang akan membantu PT PAL dalam mendapatkan proyek pembangunan kapal SSV, untuk memenuhi kebutuhan kapal DND Filipina dengan besaran fee agen akan ditetapkan sebelum harga penawaran dimasukkan ke DND Filipina, dan Agen Agreement tersebut, akan berakhir pada tanggal 31 Agustus 2015.
Kemudian, pada awal 2013, Eko Prastianto dan Agus Budianto, selaku Kepala Divisi Bisnis dan Pemasaran PT PAL, mendapat informasi dari Kirana Kotama, selaku perwakilan Ashanty Sales di Indonesia, bahwa DND Filipina akan memulai pengadaan proyek kapal SSV. Atas informasi tersebut, Agus Budianto bersama Jumarma, selaku Kadep (Kepala Departemen) proposal proyek Kapal PT PAL dan Tim pemasaran PT PAL, segera mempersiapkan dokumen-dokumen teknis serta perhitungan Cost Stucture kapal SSV sebagai dasar harga penawaran kepada DND Fhilipina.
Setelah perhitungan Cost Structure oleh Agus Budianto dan Jumarma selesai, harga kapal yang tercantum dalam Price Estimation SSV Fhilppines Navy adalah sebesar USD43.262.558, dengan perhitungan fee sebesar 2,5 persen. Besaran fee agen tersebut ditentukan berdasarkan pada proyek-proyek pembangunan kapal yang pernah dilakukan oleh PT PAL sebelumnya.
Pada tanggal 5 Agustus 2015, rapat Direksi yang dihadiri M. Firmansyah Arifin, Saiful Anwar, Eko Prasetyanto dan Agus Budianto menyetujui perhitungan Cost Structure tersebut. Dan pada tanggal 29 Agustus 2015, Agus Budianto mengajukan dokumen penawaran 2 unit kapal SSV kepada DND Filipina dengan harga penawaran per kapal sebesar USD43.262.556.
Selanjutnya, pada sekitar bulan Oktober 2013, Tim pengadaan DND Filipina melakukan asesmen ke PT PAL di Surabaya, dalam rangka melaksanakan tahapan Post Qualification, untuk menilai fasilitas dan kemampuan PT PAL sesuai dokumen penawaran yang dihadiri oleh Liliosa L. Saavedra dan Kirama Kotama sekaligus menemui Joko Sutejo, selaku Staf Ahli Direktur PT PAL dan Eko Prastianto di kantor PT PAL di Surabaya.
Dalam pertemuan tersebut, ternyata Liliosa L. Saavdra mau minta fee untuk Ashanty Sales sebesar 4% dari nilai kontrak pembangunan 2 kapal SSV oleh PT PAL, dan meminta agar segera dituangkan dalam perjanjian. Namun oleh Joko Sutejo dan Eko Prastianto merasa keberatan karena terlalu besar, dan akhirnya turun menjadi 3,5 persen. Hal itu pun disampaikan oleh Joko Sutejo dan Eko Prastianto pada rapar Direksi PT PAL.
Dari keterangan beberapa saksi yang dihadirkan JPU KPK dalam persidangan terungkap, fee agen untuk Ashanty Sales yang semula disepakati 3,5 persen menjadi 4,75 persen, dimana 1,25 persen adalah sebagai Cas Back untuk PT PAL atas hasil rapat Direksi PT PAL.
Dan menurut M. Firmansyah Arifin, Saiful Anwar dan Arif Cahyana saat saat menjadi saksi untuk terdakwa Agus Nugroho (Direktur Umum PT PErusa Sejati) maupun saat Ke- 3 nya diperiksa sebagai terdakwa menjelaskan, bahwa uang Cash Back yang diterima PT PAL adalah untuk membayar Dana Komando
Pada tanggal 7 Agustus 2014, kontrak pembangunan 2 unit kapal SSV senilai USD86.987.832,5, ditandatangani oleh M. Firmansyah Arifin, selaku Dirut PT PAL dan Hon Vol Taire T. Gasmin, selaku sekretaris DND Fhilipina, setelah dinyatakan sebagai pemenang.
Selanjutnya, Pada tanggal 18 Januari 2014, PT PAL mengajukan permintaan pembayaran uang muka pekerjaan 2 unit kapal SSV sebesar 15 persen, melalui surat Nomor. 972/64000/VI/ 2014 yang ditandatangani oleh, Arif Cahyana. Kemudian pembayaran uang muka tersebut direalisasikan oleh DND Filipina pada tanggal 16 Juli 2014, dalam 2 tahap masing-masing sebesar USD65.228.888,7 ke rekening BRI Cabang Rajawali Surabaya, Nomor 0172.0 2.00000055.3.5 atas nama PT PAL Indonesia Persero.
Dalam persidangan terungkap, bahwa Dana Komando juga terdapat dalam dokumen pembangunan kapal SSV Fhilipina sebesar USD250.000 atau setara dengan nilai kusr rupiah dikali @Rp 13 ribu per Dollar AS sama dengan sekitar Rp 3,250 M.
Dan menurut terdakwa M. Firmansyah Arifin, bahwa uang tersebut diambil dari uang muka pembangunan 2 kapal SSV Fhilipina dan sudah disetorkan ke Mabes TNI AL.
Keterangan beberapa saksi yang dihadirkan JPU KPK dari Direksi PT PAL dihadapan Majelis Hakim dalam persidangan mengatakan, bahwa Dana Komando untuk biaya tagihan dari Angkatan Laut (AL). Yang menurut saksi maupun terdakwa sendiri, bahwa Dana Komando tidak dibayar, maka tagihan dari TNI AL tidak akan dicairkan. Hal ini terungkap dalam amar putusan Majelis Hakim.
Didik Subiantoro, Taufik, Sri Utami dan Muspiadi (mantan Direktur Pengembangan Usaha PT PAL). |
“Dana Komando pernah dibahas. Saya pernah dipanggil Pak Saiful Anwar sama Bu Etty Soewardani di ruang rapat, untuk menagih masalah Dana Komando. Yang dibahas pertama adalah masalah untuk penagihan kapal-kapal. Katakan di situ tertera proyeknya berapa, angkanya berapa, yang sudah ditagihkan berapa, permasalahannya apa, di situ tertera sehingga saya rasa, semua yang hadir di situ tahu. Permasalahannya adalah ada di Dana Komando,” ungkap saksi M. Arifin terus terang kepada Majelis Hakim.
Hal senada juga diungkapkan saksi Heri Susanto pada sidang tanggal 29 September 2017. “Saya jelaskan. Saat saya mengerjakan kapal KCR, saat mengerjakan progress 50 persen, saya terkendala karena belum dibayar, alasannya belum lunas (karena belum lunas Dana Komando ?, tanya JPU KPK). Itu saya tau dari keuangan, Direktur Keuangannya Pak Imam. Pak Imam pasti tau itu. Proyek saya terkendala karena itu,” kata saksi. “Tahun 2010, itu sudah ada. 1,25 persen tidak dicatat dalam pembukuan perusahaan. Itu dipergunakan untuk operasional perusahaan dan Dana Komando,” kata saksi Heri Suanto saat itu.
Sementara menurut Edi Widarto dan Firmansyah Arifin, bahwa Dana Komando sudah dibahas oleh Dirut sebelumnya. Namun Ia mengakui menjadi “korban” untuk membayar. Selain Dana Komando, Firmansyah Arifin juga membeberkan beberapa masalah yang ditinggakan Harsusanto saat menjabat Dirut PT PAL, diantaranya kasus tenggelamnya kapal PLN, kontrak Pertamina 2 tahun namun baru selesai 4 tahun, kasus hukum Arbitrase 7 kapal kontrak internasional, hutang PT PAL tahun 2012 ke Bank sebesar 1,4 Rp Trilun dan masalah Kapal LDP (landing platform Dock) pesanan TNI AL.
Arifin melanjutkan, “Kapal tenggelam milik PLN, kapal Pertamina kontrak 2 tahun yang baru bisa selesai 4 tahun kemudian, saya yang beresin. Selama periode 5 tahun, saya tidak bisa menyelesaikan kontrak yang 7 kapal yan hingga saat ini masih dalam proses hukum Arbitrase Internasional. Kalau kapal tenggelam, kapal Pertamina, hutang ke Bank, saya selesaikan. Ketika saya masuk taun 2012, saya tau dari hasil audit Kantor Akuntan Publik, bahwa hutang PT PAL ada 4 T ke Bank, dan status eksibilitasnya 5. Jangankan bayar bunga, bayar modalnya aja nggak sanggup,” beber Arifin.
“MPN itu ngurusnya dijamannya Pak Harsusanto tapi cairnya dijaman saya. Alasan untuk mencairkan itu katanya tadi kan, karena Pak Sby (mantan Presiden RI DR. Susilo Bambang Yudoyono) bukan itu, tapi karena sudah nyungsep makanya dikasihlah waktu itu. Peruntukannya adalah modal kerja, karena sudah nggak mungkin bisa pinjam ke Bank. Yang Kedua, untuk faslitas. Fasilitas itu sudah nggak bisa. Kalau ke PT PAL, ada tertulis disitu 300 ton tertulis gede’ (besar) tapi kapasitasnya hanya bisa 100 ton. Kalau Dana Komando sudah dibahas dijamannya tetapi saya yang bayar walaupun saya nggak lunas,” bebernya.
“Mengenai Arbitrase kapal yang 7, ada kapal LDP pesanan TNI AL, ini nggak karu-karuan, warisannya ke saya, itu jamannya beliau. Kalau LDP kan, masalah kita jadi nggak sampai ke Arbitrase Internasional, tetapi yang namanya hukum, hancurnya perusahaan karena Angkatan Laut harus jadi itu kapal. Dengan berbagai cara, nggak tau dari mana Pak Harsuanto, kapal itu dijadikan. Tapi kapal yang 7 tadi nggak jadi. Jadi saya mau blak-blakan aja (buka-bukaan), karena Arbitrase ini ada asset PT PAL mau di sita. Ini kan perusahaan strategis negara, jadi kita disuntik denga dana PMN, peruntukannya ada 3, yaitu modal kerja. Saya mendanai untuk KCR (Kapal Cepat Rudal), Fasilitasnya diperbaiki, naik ia dari PMN, SDM nya saya rekrut, ia PMN. Karena yang 3 ini diperbaiki, kita ikut tender di Philipina lulus, kalau nggak diperbaiki dari mana lulus. Kan ada pos qualification (tim penilai) dari Philipina datang kesini, diperiksa,” bebernya lagi.
Dan untuk Dana Komando, PT PAL juga menitipkan dana kepada beberapa rekanan yang mengerjakan Harkan (perawatan dan perbaikan) kapal. Dan uang tersebut akan dikembalikan para rekanan setelah pengerjaan selesai dan pembayaran dilakukan oleh PT PAL. Cara itu dilakukan oleh PT PAL agar pengeluaran uang dari PT PAL seakan-akan tidak ada masalah saat dilakukan audit oleh BPK, keran pembayaran Dana Komandi tidak ada bukti terimanya.
Dari keterangan saksi Purnama, Wage Surdjiman, Indro Soeprayitno, Triyono Widodo, Idam Sulaksono, Miftahul Huda, I Ketut Suhadi dan Kasan selaku Direktur perusahaan yang menjadi Subkontrak di PT PAL yang mengerjakan HARKAN (Perbaikan dan pemeliharaan) Kapal TNI AL diantaranya LDP (landing platform Dock), KCR (Kapal Cepat Rudal), KRI dan kapal lainnya terunhkap, bahwa penanda tangan dokumen kontrak pekerjaan HARKAN ternyata tidak sesuai dengan prosedur. Kesepakatan harga dibahas terlebih dahulu sebelum penandatangan dokumen, untuk kapal-kapal tertentu. Selain itu, ada juga pemberian uang diluar nilai anggaran yang disepakati.
Hal itu diakui saksi para saksi dihadapan Majelis, atas pertanyaan JPU KPK. Namun, pemberian uang itu diakuinya sebagai pinjaman oleh pihak PT PAL sendiri, yang nilainya berfariasi antara puluhan juta hingga ratusa juta.
“PT PAL pijam sebesar Rp 50 juta. Yang pinjam Dani. Saya nggak tau jabatannya Dani itu apa, tapi setau saya dia dibagian keuangan. Sudah dicicil dengan mendapat pekerjaan,” kata Idam Sulaksono dari CV Barindo
Lain lagi dengan keterangan Triyono. Saksi ini menjelaskan, dirinya memberikan uang sebesar Rp 30 juta untuk pekerjaan kapal KRI.
“Saya ngasih tigapuluh juta, pekerjaan kapal KRI. Kalau yang 200 juta tunai dipinjam, saya lupa kapan. Katanya 1 minggu lunas, tapi ngga lunas, nilai kontrak 180 juta, 6 juta untuk DK. Kapal itu milik TNI AL,” kata saksi Triyono kepada Majelis Hakim, pada Jumat, 14 Oktober 2017.
Untuk mendapatkan pekerjaan di PT PAL, para rekanan ini terlebih dahulu melakukan negoisasi harga. Dan penyetoran uang dilakukan oleh Dani.
Purnama, Wage Surdjiman, Indro Soeprayitno, Triyono Widodo, Idam Sulaksono, Miftahul Huda, I Ketut Suhadi dan Kasan. |
Pada sekitar Januari 2015, M. Firmansyah Arifin, meminta Imam Sulistyanto menemui Kirana Kotama di Jakarta, untuk mengambil uang Cash Back yang sudah dibayarkan oleh PT PAL kepada Ashanty Sales sesuai kesepkatan.
Kemudian, Imam Sulistyanto menemui Kirana Kotama di lobby Eka Hospital BSD Central Business District lot IX BSD City Serpong Kota Tangerang Selatan. Selanjutnya Kirana Kotama menyerahkan bingkisan Goody Bag berisi uang sebesar USD163.102,19 kepada Imam Sulistyanto. Uang tersebut lalu diserahkan Imam Sulistiyanto kepada Eko Prasetyanto untuk diserahkan kepada M. Arifin Firmansyah.
Terkait uang sebesar USD163.102,19 atau setara dengan nilai kurs rupiah Rp 2,1 milliar lebih, dalam fakta persidangan terungkap, bahwa uang tersebut sudah dietorkan oleh Imam dan Arif Cahyana ke Pekas (Pemegang Kas) Mabes TNI AL di Cilangkap pada Januari 2015. Sehingga Dana Komando yang sudah disetorkan ke Mabes TNI AL di Cilangkap sejumlah Rp 5,3 milliar dari Rp 18,12 M yang harus diabayar oleh PT PAL, agar anggaran pembangunan kapal TNI AL dapat dicairkan oleh Mabes TNI AL.
Pada tanggal 13 Mei 2016, pekerjaan pembangunan 1 unit kapal CCV selesai, dan kapal tersebut telah diserahkan oleh PT PAL kepada DND Filipina. Pada tanggal 16 mei 2016, PT PAL mengajukan permintaan pembayaran 85 persen, atas pekerjaan pembangunan 1 unit kapal SSV sebesar USD36.029.392,85 kepada DND Filipina melalui invoice nomor. 113 m16001, yang ditandatangani oleh M. Firmansyah Arifin.
Pada tanggal 12 Agustus 2016, DND Fhilipina merealisasikan pembayaran 85% dengan mentransfer uang sebesar USD36.029.392,85. Atas pembayaran agen kepada Ashanti Sales tersebut, M. Firmansyah Arifin, mengingatkan Arif Cahyana dan Saiful Anwar, mengenai adanya Cash Back sebesar 1,25% harus diserahkan oleh Ashanty Sales.
Atas arahan M. Firmansyah Arifin, pada sekitar awal Maret 2017, Arif Cahyana menemui Kirama Kotama di gedung BRI Tower Jakarta dan menanyakan Cash Back sebesar 1,25 persen. Kemudian Kirana kotama memberitahukan bahwa Ashanty Sales di Fhilipina akan menarik uang tunai sebesar USD25.000 dari fee agen yang telah di diterimanya dari PT PAL.
Kemudian Ashanty Sales, akan menyerahkan uang tersebut kepada Kirama Kotama untuk diserahkan secara tunai kepada Direksi PT PAL melalui Arif Cahyana, dan Arif Cahyana melaporkan hasil pertemuan dengan Kirama Kotama kepada Saiful Anwar.
Pada tanggal 8 Maret 2017, Kirana Kotama, meminta Gatot Suratno (staf bagian umum PT Perusak Sejati) untuk mengambil dua buah amplop berwarna coklat yang berisi uang masing-masing sebesar USD25.000 dan USD13.000 di Rumahnya, di Kompleks Tosiga Blok IX D No 7 Kebon Jeruk Jakarta Barat, untuk diserahkan kepada Elvi Gusliana alias Dede (staf Bagian Keungan PT Perusa Sejati) sesuai permintaan Kirama Kotama.
Sehari kemudian, yakni pada tanggal 9 Maret 2017, Kirana Kotama menghubungi Agus Nugroho melalui telepon, meminta agar Agus Nugroho menyerahkan uang sebesar USD25.000 kepada Elfi Gusliana, dan uang tersebut akan diserahkan kepada Arif Cahyana.
Untuk penyerahan uang Cash Back tersebut, pada tanggal 16 Maret 2017, Agus Nugroho meminta Elfi Gusliana membuat tanda terima tanggal 17 Maret 2017. Namun ternyata, pada tanggal 17 Maret 2017 Agus Nugroho batal bertemu dengan Arif Cahyana. Pada tanggal 27 Maret 2017, Kirana Kotama menghubungi Agus Nugroho dan memberitahukan, bahwa Arif Cahyana akan datang menemui Agus Nugroho di Jakarta untuk mengambil uang.
Dan uang sebesar USD25.000 inilah sekaligus sebagai “Jembatan” menghantarakan Agus Nugroho (Direktur Umum PT Perusa Sejati), Arif Cahyana (Kepala Perbendaharaan PT PAL), Saiful Anwar (Direktur Desain sekaligus Diretur Keuangan PT PAL) dan M. Firmansyah Arifin (Dirut PT PAL) masuk ke jeruji besi alias penjara, setelah tim KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Kamis, 30 Maret 2017. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :