1
beritakorupsi.co – Andai saja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak melakukan OTT (Operai Tangkap Tangan) terhadap para pejabat Khusunya di Jawa Timur selama tahun 2017, bisa jadi perilaku “kotor” para pejabat itu pun tidak akan terkuak.

Dari kasus OTT itu pun, ternyata tidak hanya perbuatan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang terkuak melainkan kata istilah atau kata sandi yang biasa dipergunakan para pejabat dan pengusaha untuk menggorogoti uang rakyat melalui APBN atapun APBD juga terbongkar.

Kata istilah atau sandi yang dipakai para pejabat “nakal” terkuak dipersidangan, diantaranya Dana Komando (DK)  dan Chas Beck dalam kasus OTT PT PAL Indonesia (Persero), Komitmen fee, Triwulan dan uang lelah tujuh sumur dalam kasus suap OTT Ketua dan 2 Wakil Ketua DPRD bersama Kepala Dinas PUPR Mojokerto serat Wali Kota Mojokerto.

Sementara dalam kasus suap OTT Ketua Komis B DPRD Tk I Jawa Timur dengan 10 Kepala SKPK (Satuan Kerja Perangkat Daerah) atau OPD (Organisasi Perangkat Daerah) Pemrov. Jatim menggunakan istilah Komitmen fee, Triwulan serat undangan.

Berbeda dengan kasus suap OTT Wali Kota Batu Eddy Rumpoko bersama Filipus Djab (pengusaha) dan Edi Setiyawan selaku Pejabat Kepala Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kota Batu dengan istilah si Hitam, untuk sebutan mobil mewah merek Alphard yang harganya sekitar Rp 1,6 M.

Sementara kata istilah uang syukuran dan Satu setengah meter, digunakan para pejabat yang terjaring kasus suap OTT  Bupati Nganjuk Taufiqurrahman, bersama 4 pejabat bawahannya yakni M. Bisri Kepala Bagian (Kabag) Umum RSUD Kertosono Nganjuk, Harjanto selaku Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kab. Nganjuk, Ibnu Hajar, yang menjabat Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Nganjuk, dan Suwandi yang menjabat sebagai Kepala Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 3 Ngronggot, Kabupaten Nganjuk.

Dan mungkin masih banyak lagi kata sandi atau istilah yang dipakai pejabat “nakal” lainnya, namun belum terungkap karena belum terjaring OTT oleh lembaga anti rasuah itu.

Istilah setengah meter yang digunakan sebagai kata sandi dalam kasus suap OTT Bupati NganjukTaufiqurrahman, terungkap dari keterangan saksi yang dihadirkan JPU KPK dalam persidangan, pada Senin, 22 Januari 2018.

JPU KPK Fitroh Rohcahyanto,  Ahmad Burhanudin, Hery BS Ratna Putra,  Arif Suhermanto, Joko Hermawan, Andhi Kurniawan dan NN Gina Saraswati menghadirkan 3 saksi, diantaranya  Tien Firdayani selaku Dirut RSUD Kertosono  Nganjuk, Nur Rozid Hidayat dan Joni keduanya merupakan ajudan Bupati, untuk terdakwa M. Bisri dan Harjanto yang digelar dalam  2 session.

Kepada Majelis Hakim yang di ketuai Hakim I Wayan Sosisawan, saksi Tien  Firdayani selaku Dirut RSUD Kertosono  Mganjuk ini mangakui, bahwa dirinya pernah menyerahkan sejumlah uang Ke Bupati melalui Cholis sebesar Rp 100 juta, dan yang kedua ke- 2 sebesar Rp 30 juta. Tien  Firdayani mengungkapkan, bahwa dirinya sebenayan keberatan untuk menyerahkan uang sebesar 100 juta rupiah, tetapi rela untuk menyerahkan yang 30 juta.
.
“Saya keberatan yang 100 juta, kalau yang 30 juta saya rela. Uang itu saya sisihkan sebagai jasa pelayanan, tergantung dari pendapatan Rumah Sakit. Penghasilan saya sebagai Kepala Puskemas jauh lebih besar sebagai Direktur. Rumah sakit itu kan milik Bupati, ya saya sisihkan dari jasa itu. Saya mengikuti yang dilakukan sebelumnya,” kata orang nomor satu di RSUD Nganjuk ini, yang sempat turut diamnankan KPK pada saat OTT.

“Saya pernah dipanggil oleh beliau, dan saya diminta komitmen fee. Saya tanya, saya ambil uang dari mana. Kata beliau, ada anggaran sebesar 2 milliar, sisihkan 5 persen dari situ,” lanjut doter Tien.

Saat Majelis Hakim menanyakkan, siapa yang mempromosikannya menjadi Dirut RS dan apakah diminta uang ?. Tien mengatakan tidak ada yang mempromosikannya, dan bahkan menurutnya tidak pernah memberiakn uang sejak menjadi Kepala Puskesmas hingga diangkat menjadi Direktur.

“Pas Pelantikan, secara langsung tidak pernah minta uang, tapi minta komitmen kepada saya. Saya bilang, saya komitmen untuk membangung rumah sakit. Setelah Dua minggu, saya ketemu Pak Sudrajat. Saya ditanya, apakah ada titipan uang komitmen. Saya katakan, komitmen saya membangun rumah sakit. Saya merasa seperyi ditagih hutang,” kaya dokter ini agak berbelit-belit

JPU KPK juga menanyakkan, terkait Hand Phon yang diberikan Bupati terhadap Direktur RSUD ini melalui orang kepercayaan Taufiqurrahman. Menurutnya, HP itu tidak boleh dipergunakan untuk menelepon atau SMS, cukup miscoll nantinya akan dihubungi balik.

“Katanya HP itu tidak boleh digunakan telepon atau SMS cukup miscoll, nanti akan ditelepon balik,” jawab saksi Tien.

selain itu. ada juga aliran uang sebayak Rp 200 juta untuk pejabat lainnya di Kabupaten Nganjuk atas perintah Buati Nganjuk Taufiqurrahman. Uang Rp 200 juta itu dari Tien Firdayani selaku Direktur RSUD melalui Sekpri Bupati Taufiqurrahaman. Namun hal itu dibantah Aspri selaku orang dekat Bupati. Menurutnya, uang dalam amplop itu sebesar Rp 100 juta.

Kasus ini bermula pada bulan Mei 2017 sampai dengan Oktober 2017, bertempat di Jalan Semeru Gang I RT 30 RW 01 Desa Tanjungrejo, Kecamatan Loceret Kabupaten Nganjuk, di Hotel Luminor Surabaya di Jalan Jemursari Nomor 206 Kota Surabaya dan di RSUD Nganjuk Jalan Dr Soetomo 62 Kabupaten Nganjuk, melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sebagai perbuatan berlanjut, memberikan sesuatu berupa uang sebesar Rp 400 juta kepada Taufiqurrahman selaku Bupati Nganjuk periode 2013-2018, melalui Joni Tri Wahyudi dan Suwandi, yang bertentangan dengan jabatannya.

JPU KPK mengungkapkan, pemebrian uang itu berhubungan dengan promosi dan mutasi jabatan eselon III dan IV di lingkungan RSUD Nganjuk, yang bertentangan dengan kewajiban Taufiqurrahman selaku  Bupati Nganjuk, sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang RI Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme, pasal 4 angka 8 Peraturan Pemerintah RI Nomor 53 Tahun 2010 tentang disiplin pegawai negeri sipil yang dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut.

Pada awal bulan Mei 2017, saat Bupati Nganjuk Taufiqurrahman memutasi terdakwa M. Bisri yang menjabat sebagai Kepala Bidang (Kabid) perencanaan Dinas Pendidikan Kabupaten Nganjuk, menjadi Kepala Bagian (Kabag) Umum RSUD Nganjuk, sekaligus mau minta terdakwa untuk mengkoordinir para pegawai yang berkeinginan menduduki jabatan Eselon III dan IV, baik pada RSUD Nganjuk dan RSUD Kertosono, dengan syarat bersedia memberikan sejumlah uang sebagai imbalannya yang diistilahkan sebagai uang syukuran dimana terdakwah menyanggupinya.

Beberapa hari setelah pertemuan itu, terdakwa M. Bisri mengkoordinir beberapa pegawai untuk dipromosikan maupun mutasi di RSUD Nganjuk dan RSUD Kertosono. Lalu terdakwa M. Bisri membuat daftar nama dan promosi jabatan yang diinginkan. Daftar nama tersebut kemudian diserahkan terdakwa kepada Taufiqurrahman sambil menyampaikan, bahwa para pegawai sanggup untuk memberikan uang syukuran.

Daftar nama yang dibuat terdakwa M. Bisri untuk promosi jabatan maupun untuk mutasi adalah, diantaranya Hardi Jono, Waskito Rini, Sofianti Wahyu Setyaningsih, Sri Mumpuni, Yuliana, Anang Agus Susilo, Sri Nuryati, Agustin Rahmawati, Muhammad Yudi Arifin dan Lilik supriyadi.

Kemudian pada tanggal 24 Mei 2017, lanjut JPU KPK, Bupati Nganjuk menerbitkan surat keputusan (SK) Nomor 82/86/411.404/2017 tentang pengangkatan dalam jabatan struktural yang mengangkat terdakwa dari jabatan Kepala Bidang Perencanaan Dinas Pendidikan Kabupaten Nganjuk Eselon III/B menjadi Kepala Bagian Umum RSUD Nganjuk Eselon III/B, serta mengangkat para pegawai sebagaimana informasi yang diajukan terdakwa.

Setelah pengangkatan terdakwa sebagai Kepala Bagian Umum RSUD Nganjuk dan pengangkatan para pegawai dimaksud, maka untuk merealisasikan uang syukuran yang akan diberikan kepada Taufiqurrahman, terdakwa M. Bisri kemudian menyiapkan uang sebesar Rp 400 juta, yang terdiri dari  100 juta rupiah merupakan uang pribadi terdakwa dan Rp 300 juta uang yang dikumpulkan oleh terdakwa dari para pegawai yang telah berhasil dipromosikan dan dimutasikan. Uang tersebut diterima terdakwa secara bertahap baik secara langsung maupun melalui Tien Farida Yani.

Masih menurut JPU KPK dalam surat dakwaannya, sebagai kompensasi atas pelantikan diri terdakwa sebagai Kepala Bagian Umum RSUD Nganjuk dan para pegawai yang diusulkan oleh terdakwa, kemudian memberikan uang yang terkumpul itu kepada Taufiqurrahman melalui Joni Tri Wahyudi, Kepala SMP Negeri 3 Ngeronggot, yakni pada sekitar bulan Juli - Agustus 2017,  bertempat di rumah terdakwa di Jalan Semeru Gang I Rt 03 Rw 01 Desa Tanjungrejo, Kabupaten Loceret Kabupaten Nganjuk, diserahkan kepada Taufiqurrahman melalui Wahyudi sebesar Rp 200 juta. Kemudian oleh Joni Tri Wahyudi, diserahkan kepada Taufiqurrahman di Pendopo Kantor Bupati Nganjuk.

“Pada tanggal 12 Oktober 2017, bertempat di Hotel Luminor Surabaya di Jalan Jemursari Nomor 206 Kota Surabaya, diarahkan kepada Taufiqurrahman melalui Suwandi sebesar Rp 100 juta. Pada tanggal 15 Oktober 2017, bertempat di rumah terdakwa diserahkan kepada Taufiqurrahman melalui Suandi sebesar 50 juta.

Dan pada tanggal 17 Oktober 2017 bertempat di RSUD Nganjuk diserahkan kepada kepada Taufiqurrahman senilai Rp 50 juta. Bahwa uang sebesar Rp 200 juta yang diterima Suwandi, kemudian diserahkan kepada Taufiqurrahman melalui Rosid Husein Hidayat selaku ajudan Bupati Nganjuk di sebuah rumah makan di Surabaya,” beber JPU KPK Fitroh dalam surat dakwaannya.

Pemberian uang sebesar Rp 400 juta kepada Taufiqurrahman selaku Bupati Nganjuk melalui Joni Tri Wahyudi dan Suandi, karena Taufiqurrahman telah mengangkat dirinya sebagai Kepala Bagian Umum RSUD Nganjuk, dan para pegawai lainnya sesuai usulan terdakwa atau pemberian itu berhubungan dengan promosi dan mutasi jabatan di lingkungan RSUD Nganjuk yang bertentangan dengan kewajiban Taufiqurrahman selaku Bupati Nganjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan pasal 4 angka 8 Peraturan Pemerintah RI Nomor 53 Tahun 2010.

Sementara Harjanto, memberikan uang sebesar Rp 500 juta terhadap Buapti Nganjuk, terkait pengankatannya sebagai Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Nganjuk. Pemberian uang tersebut oleh terdakwa diberikan dalam beberapa tahap.

Pada sekitar bulan April 2017, terdakwa dihubungi Ibnu Hajar Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Nganjuk yang merupakan orang kepercayaan Taufiqurrahman, agar menyiapkan uang sebesar Rp 100 juta untuk keperluan Taufiqurrahman yang sedang ada acara di Yogyakarta. Atas permintaan itu, terdakwa meminta Wisnu Anang Wibowo agar menyiapkan uang sebesar Rp 100 juta, tetapi yang sanggup disediakan Wisnu Anak Wibowo hanya sebesar Rp 80 juta.

Setelah terdakwa menerima uang sebesar 80 juta itu, terdakwa kemudian menghubungi Ibnu Hajar dan menyampaikan bahwa uang sudah dapat diambil di rumahnya tetapi hanya Rp 80 juta. Ibnu Hajar Kemudian datang ke rumah terdakwa terletak di Desa Kwagean, Kecamatan Loceret Kabupaten Nganjuk, lalu terdakwa menyerahkan uang sebesar 80 juta tersebut kepada Ibnu Hajar. Kemudian Ibnu Hajar menyerahkan uang tersebut kepada Taufiqurrahman yang masih berada di Yogyakarta.

Atas perbuatannya, M. Bisri pun dijerat dengan pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi junto pasal 64 ayat 1 KUHAP.  (Redaksi)

Posting Komentar

  1. Mohon info penjelasannya, apakah orang yang memberi suap dan orang yang menjembatani pemberian suap tidak dikenakan sanksi. Seperti berita diatas kan ada yang memberikan suap dan ada bertugas menjembatani. Kira kira kena pasal 55 atau 56 ndak yaa. Mohon info dan jawaban.

    BalasHapus

Tulias alamat email :

 
Top