Sebab JPU dari Kejari Tanjung Perak telah membacakan surat tuntutannya terhadap terdakwa Sujarwo, manatan Kepala Kantor Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Bambang Hartono selaku PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dan Keduanya pun dituntut pidana penjara selama 7 tahun bagi terdakwa Sujarwa dan 6 tahun dan 6 bulan bagi terdakwa Bambang Hartono, serta uang pengganti sebesar Rp 250 juta lebih ditanggung renteng.
Dalam surat dakwaan JPU mengatakan, bahwa pembangunan gedung PLP tahun 2012 didanai dari kementerian perhubungan sebesar Rp 3.950.000.000 miliar diduga menyimpang dari spesifikasi yang ada, hingga menimbulkan kerugian keuangan negara.
JPU menyatakan di persidangan dihadapan Majelis Hakim yang diketuai Hakim H. Tahsin, bahwa perbuatan Kedua terdakwa ini diancam dalam pasal 2 ayat (1) junct pasa 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
“Menuntut; meminta kepada Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Surabaya yang mengadili perkara ini, untuk menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 7 tahun dan denda sebesar Rp 200 juta subside 6 bulan kurungan. Menghukum terdakwa dengan membayar uang pengganti sebesar Rp 250 juta. Apabila terdakwa tidak membayar, maka harta bendanya akan disita oleh jaksan untuk menutupi kerugian negara. Apabila harta benda terdakwa tidak mencukupi, maka digangi penjara selama 1 tahun,” ucap JPU.
Atas tuntutan JPU tersebut, Majelis Hakim memberikan kesempatan terhadap terdakwa maupun melalui Penasehat Hukum (PH)-nya Marzuki untuk menyampaikan Pledoi (Pembelaannya).
Dari tuntutan JPU Kejari Tanjung Perak ini mengundang pertanyaan. Sebab uang pengganti yang dibebankan JPU terhadap terdakwaa, ditanggung renteng. Sementara dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi terkait uang pengganti yang dibebankan terhadap terdakwa, adalah sejumlah uang negara yang dikmatinya.
Selain itu, bila dikatakan pembangunan gedung kantor PLP yang sempat mangkrak itu menimpang dari spesifikasi yang ada, mengapa pihak kontraktornya selaku penyedia barang/jasa tidak “diseret” sebagai orang yang turut bertanggung jawab ?.
Hal ini mengingatkan kembali, kasus Korupsi dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah dan Bantuan Operasional Daerah (Bopda) tahun 2014 yang totalnya sebesar Rp 1,5 milliar. Dengan rincian; pada tahun 2013, Yayasan Al – Hidayah menerima dan BOS dan BOPDA sebesar Rp 511 juta dan 2014 Rp 535 juta. Selain dana BOS dan BOPDA, ada juga bantuan untuk siswa miskin dari Kementerian Agama melalui Departemen Agama Provinsi Jawa Timur, sebesar Rp 284 juta, dengan kerugian negara sejumlah Rp 718.649.000.
Dalam kasus ini, Kejari Tanjung perak “menyeret” 2 tersangka (saat ini terpidana) yakni H. Syamsi, Ketua Yayasan MI (Madrasah Ibtidaiyah) Al-Hidayah, dan Masykuri, selaku Kepala Sekolah. Sementara Bendahara yang membuat laporan terkait penggunaan uang negara itu tidak “terseret” bersama kedua pimpinannya itu. Selain itu, Uang negara itu pun dinikmantinya.
Marzuki, selaku Penasehat Hukum terdakwa Sujarwa dan Bambang Hartono pun mempertanyakkan tuntutan JPU yang begitu tinggi dan uang pengganti yang ditanggung renteng. Selain itu, Marzuki juga mempertanyakkan tentang pihak kontraktor yang tidak turut bertanggung jawab dalam pembangunan gedung yang didanai uang rakyat itu.
“Tuntutannya begitu tinggi, uang pengganti ditanggung renteng, ini kan bukan perdata. Kontraktornya bagaimana ?,” kata Marjuki. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :