Foto. Saksi M. Hartono selaku Kepala Sub Bagian (Kasubag) Hukum Kementerian Pendidikan Kebudayaan RI |
Foto. Saksi Ninik Suparti dan Suharto |
Kebobrokan-kebobrokan yang tarjadi di dunia pendidikan sejak TK (Taman Kanak-kanak) hingga perguruan tinggi sudah berlangsung sejak puluhan tahun silam dan bukan rahasia lagi, diantaranya penarikan uang pungutan liar dari orang tua siswa atau calon siswa/i dengan istilah formulir pendaftaran baru sebanyak 2 hingga 3 lembar ditambah 1 Sto Map dengan harga mencapai ratusan ribu rupiah tergantung dari status dan fasilitas sekolah.
Penarikan uang pungutan liar dari orang tua siswa atau calon siswa/i oleh pihak sekolah dengan istilah uang sumbangan gedung dan sumbangan program pendidikan (SPP), yang jumlahnya mencapai ratusan hingga jutaan rupiah, juga tergantung dari elit tidaknya sekolah tersebut.
Biaya jalan-jalan keluar kota dengan istilah KTS (Kegiatan Tengah Semester) yang nilainya ratusan ribu rupiah hingga jutaan tergantung kota tujuan, serta biaya-biaya lainnya yang semuanya tanpa ada laporan pertanggung jawaban (LPJ) dari pihak sekolah ke setiap orang tua siswa/i.
Uang sumbangan berarti kerelaan dari si pemberi kepada si penerima. Sementara fakta yang terjadi adalah, pemberian uang oleh orang tua siswa/i atau calon siswa/i yang nilainya ditentukan oleh pihak sekolah sendiri dengan istilah, formulir pendaftaran siswa/i baru, uang sumbangan gedung, SPP, KTS, daftar ulang dan lain sebagainya.
Hal ini berlaku bagi semua orang tua siswa/i yang menyekolahkan anaknya, tak perduli itu pemulung sampah, petani “lumpur”, buruh pabrik, Jaksa, Polisi dan Hakim serta pejabat-pejabat lainya. Tak mampu membayar pungutan sekolah, bisa jadi tak sekloah. Sistim pendididikan seperti ini yang harusnya ditindak lanjuti dan dirubah oleh pemerintah pusat dengan membuat suatu aturan yang jelas dan pengawasan yang nyata sebagai bentuk revolusi mental.
Belum lagi maslah siswa/i yang diterima oleh sekolah karena adanya rekomondasi para pejabat. Di sisi lain, saat terjadi kasus seperti di SMPN 2 Tulungagung yang menerima siswa/i melebihi kuota diantaranya karena adanya titipan atau rekomondasi.
Ironisya, penerimaan siswa/i SMPN 2 Tulungagung yang melebihi kuota, tetap dibebankan ke punggung pihak sekolah, tak ada pihak lain yang terlibat untuk turut bertanggung jawab. Hukum dijalankan, tapi perbuatan pelanggaran hukum sepertinya dipeliahara dan hanya berlaku bagi rakyat kecil
Di sisi lain, pemerintah membuat Undang-undang tantang Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional;
Pasal 5 ayat (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Ayat (5), Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Pasal 6 ayat (1) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikandasar.
Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah
Pasal 10 ayat (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Pemerintah dan Pemerintah Daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 11 ayat (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudaayaan Kab. Tulungagung (foto depan, kanan) dan Kepala SMPN 2 Tulungagung (foto kiri, depan) saat menjadi saksi pada minggu lalu |
Anehnya, pihak sekolah pun melakukan berbagai cara untuk menarik sejumlah dana dari orang tua siswa/i ibarat “tanaman yang selalu siap dipanen kapan saja” untuk mendukung program belajar mengajar. Masalah pendidikan sepertinya tak ada akhirnya.
Kasus Dua pahlawan tanpa jasa alias guru di SMPN 2 Tulungagung yang diringkus Tim Saber Pungli Polres Tulungagung pada tanggal 16 Juni 2017 lalu, dengan barang bukti berupa uang sebesar Rp 35.500.000, dari hasil pungutan liar terhadap orang tua calon siswa/i yang mendaftar dan mengikuti jalur tes kompetensi.
Selain itu, Tim Saber Pungli juga menyita barang bukti lainnya, berupa 1 bendel daftar hadir orang tua bersama calon siswa/i, 1 bendel daftar rekapan peserta uji kompetensi, 1 buku PPDB jalur tes uji kompetensi, tujuh berkas siswa yang mendaftar PPDB SMPN 2 Tulungagung, 1 bendel amplop kosong berkop SMPN 2 Tulungagung dan 1 tas warna hitam.
Uang itu terkumpul dari beberapa orang tua calon sisa/i SMPN 2 Tulungagung yang mendaftar dan sedang mengikuti tes jalur kompetensi yang diadakan oleh panitia PPDB. Uang itu akan dipergunakan untuk membeli meja dan bangku di 4 kelas tambahan baru. Pungutan liar yang dilakukan oleh panitia PPDB terhadap orang tua calon siswa/i tak ada aturan yang memperbolehkannya.
Selain melakukan pungutan liar bagi orang tua calon siswa/i, Panita PPDB menerima jumlah siswa/i TA 2017/208 jauh melebihi kuota dari 320 menjadi 406 orang.
Besaran uang yang ditarik dari setiap orang tua calon siswa/i sebesar Rp 600 ribu ditentukan oleh Kepala Sekolah SMPN 2 Tulungagung, dan penerimaan jumlah siswa/i yang melebihi kuota untuk memenuhi 4 tambahan ruang Kelas baru, adalah semuanya hasil keputusan rapat bersama antara pihak Sekolah dan Komte Sekolah. Penerimaan siswa/i yang melebihi kuota juga terjadi pada TA 2016/2017 yakni sebesar 417 orang siswa/i.
Uang pungutan liar yang dilakukan oleh pihak sekolah melalui panitia PPDB untuk membeli Meubelair berupa meja dan bangku di 4 ruang kelas tambahan baru, dengan jumlah siswa per kelas maksimal sebanyak 32 orang.
Pemesanan Meubelair dengan uang muka (DP) sebesar Rp 5 juta yang dilakukan oleh guru disebuah toko Mebel juga atas perintah Kepala Sekolah sendiri.
Anehnya, Kepala Sekolah SMN 2 Tulungagung hanya melaporkan 1 dari 4 tambahan ruang kelas baru yang direncanakannya ke Dinas Pendidikan. Lalu bagaimana sasib siswa/i lainnya yang tidak dilaporkan ke Dinas Pendidikan ? Atau ada persekongkolan antara pihak sekolah dan Dinas namun tak mau berterus terang dalam persidangan dihadapan Majelis Hakim ?
Yang lebih anehnya lagi, sebahagian siswa/i yang diterima oleh panitia PPDB, karena adanya rekomondasi atau titipan dari Kepala Dinas P dan K Kabupaten Tulungangung sebanyak 32 orang, dan sisanya dari Kejaksaan Tulungangung dan pejabat lainnya yang ada di Kabupaten Tulungagung, yang tidak mengikuti aturan yang dibuat oleh Pemerintah melainkan karena jabatannya, seperti yang terungkap dalm persidangan, pada Jumat, 19 Januari 2018.
Atas pertanyaan Ketua Majelis Hakim dalam persidangan, terkait boleh tidaknya sekolah menerima siswa titipan atau karena rekomondasi dari pejabat, tak dapat dijelaskan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI melalui Kepala Sub Bagian (Kasubag) Hukum, M. Hartono, pada Jumat, 26 Januari 2018.
Pada Jumat, 26 Januari 2018, Sidang perkara kasus Korupsi dengan terdakwa Rudy Bastomi dan Supratiningsih, kembali digelar dengan 2 session dalam agenda yang sama yakni mendengarkan keterangan 3 orang saksi yang dihadirkan JPU Anik.
Ketiga saksi tersebut adalah M. Hartono selaku Kepala Sub Bagian (Kasubag) Hukum Kementerian Pendidikan Kebudayaan RI, dan 2 saksi selaku guru dari SMPN 2 Tulungagung yaitu, Suharto dan Ninik Suparti.
Dalam persidangan, anggota Majelis Hakim M. Mahin menanyakkan pejabat Kementerian RI ini terkait perbedaan antara uang pungutan dan sumbangan. Menurut M. Hartono, bahwa sumbangan adalah pemberian dengan keiklasan dari si pemberi, sementara pungutan menurutnya adalah yang ditentukan oleh pihak sekolah.
“Kalau sumbangan, itu merupakan pemberian tanpa melibatkan sekolah, sementara kalau yang ditentukan oleh Sekolah itu adalah pungutan,” kata Kasubag Kemendikbud RI, M. Hartono
Selain itu, Kabag Hukum Kemendikbud ini menjelaskan, bahwa sekolah tidak boleh melakukan pungutan. Penarikan uang harus ada proposal dari pihak sekolah maupun Komite Sekolah, dan itu boleh kesiapa saja.
Ketua Majelis Hakim Rochmat pun curhat atas pengalamannya menyekolahkan anaknya yang dimintai uang sumbangan gedung sebesar Rp Rp 5 juta. Walau Hakim Rochmat tahu bahwa itu salah karena tidak ada aturannya, namun tetap dituruti. Hakim Rochmat pun menanyakkan, apakah itu sumbangan atau pungutan. Namun menurut pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini, bahwa itu adalah pungutan.
“Kalau itu pungutan,” jawabnya.
Ketua Majelis Hakim Rochmat dan anggota Majelis M. Mahin, sepertinya tak puas atas penjelasan pejabat Kementerian Kemendikbud yang dihadirkan JPU Kejari Tulungagung ini. M. Hartono pun dicerca dengan beberapa pertanyaan oleh Majelis Hakim, diantaranya kewenagan Komite Sekolah untuk menarik dana dari orang tua siswa/i, pertaggung jawaban Komite sekolah.
Pada hal sebelum sidang dimulai, JPU Anik sudah terlebih dahulu memberikan arahan kepada pejabat pusat ini tentang apa saja kira-kira yang akan dipertanyakkan. Bahkan JPU Anik mengatakan diperbolehkan untuk membuka buku dan itu sudah biasa.
Dari pengamatan wartawan media ini, beberapa orang ahli yang di hadirkan JPU maupun Penasehat Hukum terdakwa, tak kesulitan memang menjawab pertanyaan. Yang sering membuat keringat dingin seorang ahli dalam persidangan adalah saat Majelis Hakim mengajukan pertanyaan.
Terkait kewenangan untuk penarikan uang dari orang tua siswa atau calon siswa/i mapun dari pihak lain yang dilakukan oleh Komite Sekolah, M. Hartono menjelasakan kepada Majelis Hakim, bahwa Komite sekolah berhak menarik dana untuk kebutuhan sekolah tanpa harus diketahui oleh pihak sekolah. Selain itu, Kasubag Hukum di Kementerian Pendidikan ini mengatakan, bahwa Komite Sekolah bertanggung jawab kepada masyarakat, tapi Ia mengakui bahwa adanya Komite Sekolah berdasarkan rekomdasi dari Kepala Sekolah.
Namun keterangan yang dijelaskan pejabat Jakarta ini, sepertinya tak membuat para Hakim yang sudah berpengalaman dalam menyidangkan perkara Korupsi puas. Sebab, M. Hartono menjelaskan, bahwa pembentukan Komite Sekolah berdasarkan Rekomondasi dari Kepala Sekolah. Di sisi lain M. Hartono mengatakan bahwa Komite Sekolah bertanggung jawab kepada masyarakat.
Selain itu, bagaimana mungkin Komite Sekolah yang berfungsi sebagai mewakili orang tua siswa/i yang dibentuk berdasarkan rekomdasi Kepala Sekolah, namun bertanggung jawab kepada masyarakat ? Bagaimana mungkin Komite Sekolah mengetahui tentang kekurangan yang ada di sekolah, kalau pihak sekolah tidak memberitahukannya ?
Sementara kasus yang menjerat Dua guru SMPN 2 Tulungagung yang juga sebagai panitia PPDB ini, ditangkap Tim Saber Pungli Polres Tulungagung karena menarik uang pungutan sebesar Rp 600 ribu per orang tua calon siswa, yang ditentukan oleh Kepala Sekolah. Adanya pungutan liar itu juga atas hasil rapat bersama pihak sekolah dan Komite Sekolah yang harusnya turut bertanggung jawab dihadapan Majelis Hakim.
“Saudara kan pejabat di Kementerian sana, pelajari aturan itu,” perintah Ketua Majelis Hakim kemudian.
Fakta lain yang terungkap dalam persidangan yaitu, saat mendengarkan keterangan saksi Suharto dan Ninik Suparti selaku guru di SMPN 2 Tulungangung. Dalam persidangan dihadapan Majelis Hakim, saksi Nini dan Suhartolah yang memesan meubelair ke salah satu toko mebel di Tulungagung atas perintah Kepala Sekolah. Namun kemudian, meja dan bangku yang dibeli dengan menggunkan uang pungutan itu belum dibayar lunas kecuali hanya uang muka (DP) sebesar Rp 5 juta, kasus penarikan uang pungutan inipun membuat kaget pihak sekolah SMPN 2 tulungagung dan Komite Sekolah setelah terjati OTT.
Kepada Majelis Hakim, Ninik menjelaskan, bahwa kemudian biaya pembelian meja dan bangku telah dilunasi oleh Dinas Pendidikan. Hal itu diketahuinya setelah pihak toko mebel mengembalikan uang muka yang dibayarkannya.
“Saya memesan ke toko mebel dengan membayar uang muka sebesar Rp 5 juta. Yang di Ia kan oleh saksi Suharto
Lalu dari mana anggaran Dinas Pendidikan unatuk pengadaan meubelair di SMPN 2 Tulungagung ? Bagaimana proses pengajuan APBD Perubahan untuk anggaran pengadaan meubelair yang secara tiba-tiba setelah terjadi OTT ? Menagapa Dinas secepat kilat dapat mengajukan anggaran APBD Perubahan ke Bupati dan Dewan ? Apakah anggaran APBD Perubahan untuk pengadaan meubelair di SMPN 2 ulungagung akan menajadi masalah Baru ?
Kasus ini bermula pada tanggal 16 Juni 2017, saat Tim Saber Pungli Polres Tulungagung melakukan OTT (Operasi Tangkap Tangan) terhadap 2 orang guru di SMPN 2 Tulungagung. Saat penangkapan, Tim Saber Pungli mengamankan barang bukti (BB) berupa uang sekitar Rp 35.500.000, yang terbungkus dalam beberapa amlop berlogo SMPN 2 Tulungagung daftar orang tua calon siswa/i.
Selain itu, Tim Saber Pungli juga menyita barang bukti lainnya, berupa satu bendel daftar hadir orang tua, satu bendel daftar hadir siswa, satu bendel daftar rekapan peserta uji kompetensi, satu buku PPDB jalur tes uji kompetensi 2017/2018, tujuh berkas siswa yang mendaftar PPDB SMPN 2 Tulungagung, satu bendel amplop kosong berkop SMPN 2 Tulungagung dan satu tas warna hitam.
Dari hasil penyidikan dan fakta persidangan, bahwa uang yang terkumpul dari beberapa orang tua calon sisa/i SMPN 2 Tulungagung yang mendaftar dan sedang mengikuti tes jalur kompetensi yang diadakan oleh panitia PPDB, untuk dipergunakan membeli meja dan bangku di 4 kelas tambahan baru. Pemungutan uang dari orang tua calon siswa ini pun tak ada aturan yang memperbolehkannya.
Selain itu, penerimaan siswa/i di SMPN 2 Tulungagung tahun ajaran 2017/2018 juga menyalahi aturan. Sebab jumlah sisawa/i yang harusnya diterima sesuai kuota sebanyak 360 namun faktanya menjadi 406 siswa. Anehnya, yang dilaporkan ke Dinas pendidiakan hanya penambahan 1 kelas baru. Penerimaan siswa/i diluar kuota juga pernah terjadi pada tahun ajaran 2016/2017 sebanyak 417 siswa. Ada dugaan, bahwa pemungutan dana “siluman” dari orang tua siswa/i bisa jadi dilakukan, hanya saja tak terungkap.
Terjadinya penerimaan siswa/i “siluman” diluar kuota karena adanya rekomondasi dari beberapa pejabat di Kabupaten Tulungagung, diantaranya dari Kepala Dinas Pendidikan Tulungagung sebanyak 32 orang siswa dan sisanya dari Kejaksaan dan pejabat lainnya.
Sebab, pada April 2017, petugas Inspektorak Kabupaten Tulungagung melakukan Sidak (Inpfeksi mendadak), namun saat itu petugas Inspektorat tak menemukan adanya “kenakalan” guru.
Sebelum terjadi OTT, pada 19 Mei 2017 diadakan rapat antara pihak sekolah dengan Komite sekolah yang dipimpin oleh Eko selaku Kepala Sekolah. Dalam rapat itu dibahas mengenai pemungutan dana dari orang tua calon siswa yang besarnya 600 ribu per siswa (orang tua).
Pada tanggal 16 Juni 2017, Kedua guru SMPN 2 Tulungagung yang terjaring OTT terkait “pungutan liar” saat pelaksanaan ujian kompetensi bagi calon siswa/i SMPN 2 Tulungagung. Pada saat tes uji kompetensi bagi calon siswa/i juga didampingi orang tua masing-masing dan diadakan di ruang Ketua PPDB Rudy Bastomi yang satu ruangan dengan tim penguji, yang juga guru di SMPN 2 Tulungagung.
Setiap orang tua calon siswa/i menyerahkan amplop berisi uang kepada Rudy Bastomi dan ada juga yang langsung melalui Eko, Kepala Sekolah lalu dikumpulkan ke Rudy Bastomi, yang nantinya setelah terkumpul seluruhnya, uang tersebut akan diserahkan ke Kepala Sekolah.
Orang tua calon siswa/i yang menyerahkan sejumlah uang, sudah dipastikan akan diterima sekalipun gagal dalam tes kompetensi. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :