Foto atas, saksi Turkan dari BPN, Nanang (Dispenda), R. Widodo dan Sugiono (dari PT PWU) |
Sementara dalam Jilid I dengan terdakwa Dahlan Iskan, mantan Direktur Utama PT PWU dan Wishnu Wardhana selaku Ketua Tim penjualan aseet, dinyatakan telah terbukti bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi dalam penjualan Dua aseet perusahaan daerah (Perusda) Pemerintah Provinsi Jawa Timur di Tulungagung dan Kediri pada tahun 2003 lalu, yang dikelola oeh PT PWU hingga merugikan keuangan negara sebesar Rp 11.071.914.000.
Walau kemudian Dahlan Iskan dinyatakan bebas dan Wishnu Wardhana dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Tinggi Jawa Timur, namun tidak behenti begitu saja. Sebab JPU Kejati Jatim yang menangani kasus raibnya uang negara dari hasil penjualan asset perusda ini masih melakukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung (MA) RI.
Lalu dalam jilid II ini, penyidik Kejati Jatim menetapkan 2 tersangka selaku pembeli Dua asset tersebut, yakni Oepoyo Sarjono dan Sam Santoso. Penetapan tersangka terhadap kedua sahabat ini sesuai dengan putusan Majelis Hakim dalam perkara dengan terdakwa Dahlan Iskan dan Wishnu Wardhana. Dalam Putusan Majelis Hakim saat itu menyatakan, bahwa dalam penjualan asset PT PWU di Tulungagung dan Kediri, yang diuntungkan adalah Oepoyo Sarjono dan Sam Santoso selaku pribadi, karena PT Sempulur Abdi Mandiri belum mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM RI.
Sementara sidang kali ini adalah masih seputar mendengarkan keterangan saksi yang dihadirkan JPU Lily Lindawati dkk dari Kejati Jatim dan Kejari Surabaya. Saksi yang dihadirkan JPU kali ini dalam persidangan yang diketuai Majelis Hakim H.R Unggul Warso Mukti, diantaranya Turkan dari BPN, Nanang (Dispenda), R. Widodo dan Sugiono (dari PT PWU) untuk terdakwa Oepoyo Sarjono yang didampingi Penasehat Hukum (PH)-nya Syamsul Huda Yudha, Yudi Rhisnandi, Hawit Guritno dan Gatra Yanda.
Kepada Majelis Hakim saksi membacakan surat Ketua DPRD Jatim yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Timur terkait pelepasan asset daerah. Surat Ketua DPRD Jatim itu berupa dokumen yang ada di Dinas Pendapatan Daerah Jawa Timur.
Dalam Surat Ketua DPRD Jatim yang dibacakansaksi berbunyi, penjualan asset, seharusnya melalui RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) dan konsultasi dengan DPRD Jatim.
Isi surat Ketua DPRD Jatim yang dibacakan saksi dihadapan Majelis Hakim tak jauh beda dengan keterangan saksi pada sidang perkara Jilid I, maupun dalam putusan Majelis Hakim.
Selin belum mendapatkan persetujuan DPRD, penjualan asset PT PWU sudah ada pembayaran yang dilakukan oleh Sam Santo kepada Dahlan Iskan, sebelum dilakukan lelang dan RUPS.
Selain itu, dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 1999 tentang penggabungan Lima perusahaan Daerah, pasal 14 yang berbunyi; penjualan asset dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan DPRD.
Sementara saat PH terdakwa mengajukan beberapa pertanyaan terhadap para saksi, lebih banyak menjawab tidak tahu. Apakah memang benar-benar tidak tahu keran kasus ini sudah lama, atau hanya pura-pura tidak tahu ?
Anehnya, kasus ini pun tidak terang benderang. Sebab Sam Santoso, sejak perkara jilid I hingga saat ini tidak bisa dihadirkan ke persidangan sebagai saksi apalagi sebagai tersangka. Sam Santos dikabarkan “tak bisa bergerak” sejak perkara ini disidangakn di Pengadilan Tipikor tahun lalu hingga saat ini karena terbaring di Rumah Sakit.
Kejaksaan Tinggi Jawa Timur sepertinya tak serius dan tak punya anggaran menghadirkan dokter lain untuk memeriksa kondisi kesehatan pengusaha keramik terbesar di Indonesia ini. Atau JPU tak punya usaha untuk menghadairkan dokter pribadi terangka Sam Santoso ke persidangan untuk didengar keterangannya.
Lebih anehnya lagi, semangat Kejaksaan Tinggi Jawa Timur untuk mengusut kasus Korupsi penjualan asset PT PWU yang merugikan keuangan negaran puluhan milliaran, terkesan hanya sebatas menyeret Dahlan Iskan dan Wishnu Wardhana ke persidangan.
Saksi adalah sebagai panitia lelang pelepasan aset PT PWU |
Selasa 17 Januari 2017, Lima orang saksi selaku panitia lelang pelepasan asset dihadirkan JPU, diantaranya, M Sulkhan, staf PT PWU; Budi Raharjo, mantan staf keuangan PT PWU dan Emilia Aziz, mantan staf personalia PT PWU yang menjadi Sekretaris Panitia lelang, Johanes Dasikan dan Suhadi.
Dalam fakta persidangan saat itu terungkap. Ternyata sudah ada pembayaran sebelum penjualan asset di Tulungangung. Pembayaran pada tanggal 3 Juni 2003, sementara pembukaan dokumen lelang baru pada tanggal 18 Juni 2003. Empat perusahaan sebagai peserta lelang, salah satu diantanya adalah PT Sempulur sekaligus sebagai pemenang lelang dengan nilai penawaran sebesar Rp 8 milliar. Untuk operasional panitia lelang sebesar Rp 510 juta. Setiap panitia memperoleh honor antara 1 hingga 1,5 juta rupiah, kecuali Emilia Aziz, selaku Sekretaris Panitia lelang memperoleh honor sebesar Rp 5 juta.
Emilia Aziz menjelaskan kepada Majelis saat itu, bahwa dirinya menerima dokumen dari terdakwa Wisnu. Sementara menurut terdakwa Wisnu Wardhana, saat ditemui media ini dari balik jeruji besi ruang tahanan Pengadilan Tipikor menjelaskan, tidak pernah memberikan dokumen apapun kepada Emilia. “Nanti pada saatnya, saya akan minta di kroscek dipersidangan. Ke Notaris saya juga tidak tahu, pembayarannya pun sya tidak tahu,” kata Wisnu dari balik jeruji besi.
Pada Jumat, 20 Januari 2017, JPU menghadirikan 6 orang saksi ke Persidangan namun yang hadir hanya 4 saksi, diataranya Suhardi, mantan Direktur Keuangan PT PWU; Sustri Handayani, Kasir PT PWU; Supratiwi; dan Sugeng Hinarjo (sidang terpisah), bagian administrasi keuangan PT Kuda Laut Emas. Sementara saksi Ir. Sofian Lesmanto termasuk Dr. Sam Santoso, tak tampak di gedung pengadil orang-orang yang diduga merugikan keuangan negara alias Koruptor.
Dari keterangan saksi ini hampir sama dengan keterangan sebelumnya, yakni adanya pembayaran sebelum penjualan. Dihadapan Majelis Hakim terungkap, bahwa Direktur Keuangan telah menerima pembayaran berupa BG sebesar Rp 8 milliar pada tanggal 30 Agustus 2003. Pada hal, RUPS tentang persetujuan pelepasan asset baru pada tanggal 3 Sepetember 2003.
Saat JPU maupun Majelis Hakim melontarkan pertanyaan kepada Suhardi, yang sudah 10 tahun menjabat sebagai Direktur Keuangan ini, “penyakit” lupa tak luput dari ingatannya, karena memang belum ada ahli kesehatan yang menemukannya. Sehingga saksi pun tak bisa menjelaskan Perda No 5 tahun 1999 tentang penggabungan Lima perusahaan Daerah, pasal 14 yang berbunyi; penjualan asset dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan DPRD.
pada persidangan saat itu ada terungkap, pada saat anggota Majelis Hakim Dr. Andriano, menanyakkan saksi Suhardi, terkait pembayaran senilai 8 milliar rupiah berupa BG, namun dalam dokumen tercantum sebesar Rp 8,250 M. sehingga ada selisih senilai 250 juta.
Inilah yang dipertanyakkan anggota Majelis Hakim kepada saksi. “ Bagaimana pertanggungjawabannya dan bagaimana hasil audit yang dilakukan oleh angkutan publik. Kalau ini yang audit BPK, inilah temuan,” tanya Hakim Dr. Andriano. “Bagaimana, apakah angkutan publiknya dijadikan saksi ?,” Tanya Hakim angota ini pada JPU saat itu.
Tidak hanya itu. JPU juga menanyakkan terkait pengeluarana dana dari PT PWU sebesar 8 juta rupiah untuk pembayaran pajak PBB, pada hal pajak PBB dibayar oleh pembeli. Suhardi hanya menjelaskan seputar adanya hasil RUPS.
“Ini kan sudah PT jadi UU PT. Kalau sudah ada persetujuan RUPS, sudah sah. unsur kehati-hatian kita sudah minta persetujuan DPRD, tapi nggak berani, lalu melempar ke Gubernur. Kalau asset itu membebani supaya dijual. DPRD dan Gubernur tidak masuk ke PT. Proses kita lakukan kalau ada RUPS bukan dari Gubernur,” kata Suhardi kepada Majelis.
Anehnya, mantan anak buah terdakwa Dahlan Iskan ini semasa di PT PWU, tidak tau SOP penjualan kecuali hanya mendengar. Jawaban lupa sering terucap dari saksi Suhadi. Yang lebih anehnya lagi, saat Ketua Majelis Hakim menanyakkan tentang pengertian disetuji terkait hasil RUPS sesudah ada pembayaran.
“Apa pengertian saksi tentang disetuji. Apakah disetuji setelah di jual atau disetujui sebelum penjualan ?,” Tanya Ketua Majelis. “Kalau dijual baru disetujui, itu salah,” kata saksi Suhardi tegas.
Selasa, 24 Januari 2017, JPU kembali menghadirkan 4 (Empat) orang saksi diantaranya, M. Mahfud, Kepala Biro Hukum; Emi Risnawati, Kasubag Penghapusan Aset Biro Perlengkapan; Samsudin selaku Kasubag BUMD Biro Perekonomian (Ketiganya dari Pemrov. Jatim) dan Yantiningsih, selaku Appraisal dari PT Satya Tama Graha selaku Kapala Cabang.
Ketiga saksi dari Pemrov ini adalah sebagai Tim Restrukturisasi asset sesuai SK yang dibuat oleh PT PWU. Namun dihadapan Majelis Hakim, Ketiga saksi tidak pernah menerima SK yang dimaksud. Ketiga saksi selaku pejabat Pemrov. Jatim ini lebih “diserang penyakit” lupa pula. Apakah lupa benaran atau memang pura-pura lupa karena ada “tekanan” ?
Yang anehnya, M. Mahfud, selaku Kepala Biro Hukum Pemprov Jatim, tidak mengetahui luas asset yang dijual oleh PT PWU. M. Mahfud lebih banyak menjawab tidak tahu. Namun Ia (Mahfud) menjelaskan, bahwa PT PWU adalah penggabungan dari Lima perusahaan daerah berdasarkan Perda Nomor 5 tahun 1999.
“PT PWU adalah penggabungan dari Lima perusahaan daerah berdasarkan Perda Nomor 5 Tahun 1999,” kata Mahfud.
Sementara Yantiningsih, selaku Appraisal dari PT Satya Tama Graha selaku Kapala Cabang menjelaskan dihadapan Majelis Hakim, bahwa dokumen yang dikeluarkan oleh PT Satya Tama Graha untuk kepentingan Managemen. Dan apa bila dipergunakan oleh pihak lain, harus mendapat persetujuan perusahaan yang dipimpinnya.
“Itu hanya untuk Managemen PT PWU,” kata saksi kepada Majelis.
Sementara...........
Dalam BAP Sam Santoso, yang dibacakan JPU dalam persidangan saat itu menjelaskan, bahwa dirinya bertemu dengan Dahlan Iskan di Graha Pena, Jalan A. Yani Surabaya, kantor Jawa Pos untuk menanyakkan terkait informasi penjulan sebidang tanah dan bangunan yang terletak di Kabupaten Kediri dan Tulungagung.
Beberapa hari kemudian, Sam Santoso menemui Dahlan Iskan di Graha Pena, menyampaikan penawarannya untuk asset di Kediri senilai Rp 17 milliar, dan Tulungagung senilai Rp 8,750 milliar. Dari penawaran Sam Santoso, Dahlan Iskan tidak langsung menyetuji saat itu juga, melainkan menunggu beberapa hari.
Pertemuan antara Sam Santoso, Dahlan Iskan dan Wishnu Wardhana menghasilkan kesepakatan nilai asset PT PWU di Kediri dan Tulangagung, diperkirakan sekitar awal Mei 2003, yang merujuk pada pembayaran aset di Kediri senilai Rp 17 miliar pada 3 Juni 2003.
Sementara itu, Sam Santoso baru melakukan pembayaran asset di Tulungagung senilai Rp 8,75 miliar pada tanggal 30 Agustus 2003, sedangkan penawaran untuk aset di Tulungagung baru dibuka sekitar taggal 8 September 2003. Dari keterangan Sam Santoso di BAP, bahwa kesepakatan jual-beli asset telah dilakukan jauh sebelum proses lelang atau penawaran dibuka.
Selain keterangan Sam Santoso yang dibacakan, JPU juga membacakan keterangan saksi Imam Utomo mantan Gubernur Jawa Timur, karena tidak bisa hadir dalam persidangan dengan alasan sakit.
Imam Utomo mengakui dalam BAP-nya, ada surat dari DPRD Jatim yang ditujukan ke Dirut PT PWU. Dan Dia (Imam Utomo) menjelaskan dalam BPA-nya, tidak pernah mengeluarkan Surat Keputusan tentang persetujuan pelepasan asset PT PWU Jatim. Surat yang pernah dikeluarkan Imam Utomo, menindaklanjuti surat dari Ketua DPRD Jatim.
Kasus ini pun masih menggelitik. Apakah penyidik Kejati Jatim hanya menyeret 4 tersangka/terdakwa (Wishnu Wardana, Dahlan Iskan, Oepojo Sarjono dan Sam Santoso) dalam pelepasan asset milik Pemprov Jatim ini ? Lalu bagaimana dengan panitia lelang yang menerima honor dan menandatangani dokumen namun tidak melaksanakan tugasnya ? Apakah panitia lepas tanggung jawab hukum karena kasus ini sudag diadili ?
Dalam Putusan Majelis Hakim Tanggal 21 April 2017
Majelis Hakim menyatakan, bahwa benar pada bulan Agustus 2003, terdapat 5 penawar yang memasukkan surat penawarannya, seolah-olah proses lelang sudah berlangsung. Sebelum dibuka penawaran lelang, pada tanggal 30 Agustus 2003, sudah dilakukan pembayaran oleh Sam Santoso berupa BG yang jatuh tempo pada tanggal 23 September 2003. Semua uang tersebut masuk ke PT PWU tanggal 25 September 2003.
Sehingga Majelis Hakim menyatakan, adanya rekayasa lelang mulai dari kesepakatan harga, dan pembayaran pada tanggal 30 Agustus 2003. Pada hal, persetujuan RUPS baru dilakukan pada tanggal 3 September 2003, dan taksiran harga dari lembaga terkait baru dilakukan sekitar pertengahan Oktober 2003, setelah dilakukan transaksi dan pembayaran atas asset yang terletak di Kediri dan Tulungagug. Dan negoisasi kedua, harga penjualan asset yang oleh Wishnu Wardana selaku penjual, dengan calon pembeli yang diwakili oleh Sam Santoso, baru dilakukan pada tanggal 16 Oktober 2003.
Pada hal, pembayaran sudah dilakukan pada tanggal 30 Agustus 2003. Penanda tanganan Akte No 39 tentang pembatalan atas Akte No 5 dan 6 tentang Akte jual beli, yang ditanda tangani oleh terdakwa Dahlan Iskan selaku penjual asset milik PT PWU Jatim dengan Oepoyo Sarjono dan Sam Santoso selaku pembeli setelah dilakukannya pembayaran.
Menurut Majelis Hakim bahwa, pelepasan aseet di dua tempat tesebut seluas ribuan meter persegi berupa bangunan dan tanah, tidak sesuai dengan prosedur diantaranya, harga penjualan dibawah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), tidak melibatkan tim penilai hara tanah (Appraisal), tidak melalui proses lelang, tidak membuat pengumuman di media nasional berbahasa Indonesia, sudah ada pembayaran sebelum jadwal pembukaan lelang dan pelaksanaan RUPS (rapat umum pemegang saham) serta penandatanganan Akte jual beli antara Dahlan Iskan dengan Sam Santoso, Direktur PT Sempulur Adi Mandiri (PT SAM) dan kemudian Akte tersebut dibatalkan setelah adanya pembayaran. Penanda tanganan Akte tersebut di kantor Dahlan Iskan di Graha Pena, Jalan Ahmat Yani Surabaya bukan di kantor Notaris.
Sehingga, 5 Majelis Hakim diataranya, Hakim Tahsin, selaku Ketua Majelis dengan dibantu 4 Hakim anggota antara lain, H.R. Unggul Warsomukti. S.H., M.H; DR. Andriano., S.H., M.H; Samhadi. S.H., M.H dan Sanghadi. S.H, sepakat menyatakan bahwa, terdakwa Dahlan Iskan selaku Dirut PT PWU, bersama-sama dengan Wishnu Wardana selaku Ketua Tim Pelepasan asset, adalah perbuatan yang sewenang-wenang, karena jabatan yang melekat pada dirinya.
“Mengadili; Menyatakan terdakwa Dahlan Iskan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan subsidair. Menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 2 tahun denda sebesar Rp 100 juta. Bilamana terdakwa tidak membayar, maka diganti dengan kurungan selama 2 bulan. Memerintahkan agar terdakwa tetap dalam tahanan kota,” ucap Ketua Majelis. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :