Namun aneh, bila putusan yang sudah bekekuatan hukum tetap karena Jaksa Penuntut Umum (JPU), mapun pihak terdakwa/terpidana tidak melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Timggi mapun kasasi ke Mahkamah Agung RI, namun pelaksanaan putusan itu belum juga dilaksanakan.
Seperti kasus Korupsi Prona (Proyek Operasional Nasional Agraria) dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) Sertifikat gratis untuk sebanyak 800 KK (Kepala Keluarga atau pemohomo Prona) di Desa Ploso, Kecamatan Krembung, Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur , yang menyeret 8 tersangka/terdakwa/terpidana yang terjaring OTT oleh Polresta Sidoarjo, pada September 2017 lalu.
Ke- 8 terdakwa/terpidana itu adalah Saiful Efendi selaku Kepala Desa Ploso, Kecamatan Krembung, Abdul Rofiq (Sekdes Ploso) dan 6 perangkat Desa yang menjadi panitia Prona PTSL adalah Moch Ali Imron, Basuki, Muhammad Fuadz Rosyadi, Mochammad Ja’far, Samsul, sera Siti Rosyidah.
Pada tanggal 24 Nopember 2017, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Surabaya, yang diketuai Hakim I Wayan Soesiawan dan dibantu 2 Hakim Ad Hock yakni Hakim Moch. Mahin dan Hakim Sudariwanto,
Dari putusan itu, Majelis Hakim menyatakan, bahwa para terdakwa terbukti bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi dan menjatuhkan hukuman pidana penjara masing-masing selama 1 tahun.
Anehnya, hingga saat ini Ke- 8 terpidana itu belum juga dieksekusi oleh Kejari Sidoarjo. Nasib hukum terhadap para terpidana/terdakwa selaku mantan pejabat Desa Ploso yang terjaring OTT itu pun tak jelas. Apakah dipenjara, kurungan, tahanan kota, tahanan rumah atau “bebas”.
Selain 8 terpidana kasus Korupsi Prona yang belum di ekeskusi, ternyata masih ada 4 terpidana yang sudah inchrah dan belum dieksekusi. Dan ke- 4 terpidana itu sudah divonis beberapa bulan sebalum kasus ke – 8 terpidana ini disidangkan.
Ke- 4 terpidana itu adalah Amir dan Andriyani (kasus Korupsi PDAM Sidoarjo di Vonis awal 2017), Sudarmi terjerat dalam kasus penggelapan dana Kompensasi tukar guling dan kasus korupsi TKD dan Sri Utama. Kedau wanita ini saat ini berstatus DPO (Daftar Pencaharian Orang)
Sementara menurut Humas Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Surabaya Dr. Lufsaina mengatakan, bahwa pengadilan tidak berwenang untuk melakukan eksekusi karena itu adalah kewenangan Jaksa mewakili negara.
Menur Dr. Lufsiana, Jaksa dapat melaksanakan eksekusi terhadap terpidana kalau putusan itu sudah berkekuatan hukum tetap, dan itu tergantung Jaksa. Dan Jaksa dapat meminta salinan putusan kapan saja tanpa harus mengirim surat permohonan untuk memperoleh salinan putusan Majelis Hakim, serta pengadilan tidak ada kewajiban untuk mengirim putusan itu ke Kejaksaan.
“Itu kewenangan Jaksa yang mewakili negara, kita hanya menyidangkan. Pengadilan tidak ada kewajiban untuk mengirim salinan putusan ditingkat pertama. Jaksa dapat kapan saja mengambil salinan putusan itu. Begeitu selesai sidang pembacaan putusan, Jaksa sudah dapat mengambilnya,” kata Dr. Lufsaiana, Selasa, 23 Januari 2018.
Saat ditanya, apakah Pengadilan Tipikor pernah menerima surat yang berkaitan dengan salinan putusan terhadap 8 terdakwa/terpidana kasus OTT Prona ?. Dr. Lufsiana mengatakan tidak pernah menerima suarat dari Kejari Sidoarjo yang kaitannya dengan putusan itu.
Lebih lanjut Dr. Lufsiana menjelaskan, terkait Majelis Hakin yang tidak mengeluarkan surat penetapan penahanan terhadap terdakwa pada saat sidang putusan, dilihat dari koopratifnya terdakwa dan tidak dilakukan penahanan sejak penyidikan.
Dr. Lufsiana mejelaskan, bila terdakwa beretikad baik dan koopratif apalagi tidak dilakukan penahanan sejak penyidikan, Majelis Hakimboleh tidak mengeluarkan surat penetapan.
“Kalau sejak awal penyidikan tidak ditahan dan terdakwa selalu koopratif tetapi Majelis mengeluarkan surat penahanan, ini akan menjadi pertanyaan banyak pihak. Hakim akan dituding macem-macem,” lanjut Dr. Lufsiana.
Sementara menurut JPU Wahid saat ditemui di Pengadilan Tipikor mengatakan, bahwa dirinya sudah mengajukan surat pemanggilan terhadap terdakwa. Namun JPU Wahid menjelaskan, apakah surat itu sudah ditanda tangani atau belum, menurutnya bukan lagi kewenangannya melainkan atasannya.
“Sebenarnya ini bukan kewenangan saya, tapi Kasi Intel atau Kasi Pidsus. Saya sudah megajukan surat, tapi apakah sudah ditanda tangani atau belum bukan kewenangan saya karena jabatan struktural. Tapi saya sudah berkordinasi dengan pengacaranya. Kalau surat itu sudah dikirim, kita tunggu selama Tiga hari sesuai aturan, dan kalau tidak datang langsung kita ekesekusi.,” kata JPU Wahid.
JPU Wahid menjelaskan menjelaskan terkait 4 terpidana kasus Korupsi yang masih “berkeliaran”, menjelaskan, bahwa ada dua yang berstatus DPO.
“Amir dan Andriyani kasus Korupsi PDAM, Sudarmi dalam dua kasus yaitu penggelapan dana kompensasi tukar guling dan TKD, kemudian Sri Utama. Kalau Sri Utama saya kurang tahu karena bukan saya,: ungkap JPU Wahid
Saat wartawan menghubungi Kasi Pidsus Kejari Sidoarjo melalui pesan WhastApp, terkait belum dieksekusinya 14 terpidana kasus Korupsi hingga saat ini, Hadi Harsanto tak mau menanggapi. Apakah karena nasib hukum ke- 14 terpidana itu dianggap tak penting ?
Kasus ini berawal, pada saat Desa Ploso, Kecamatan Krembung, Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur, mendapat kucuran dana dari APBN melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Sidoarjo untuk memberikan sertifikat gratis bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah melalui program Prona PTSL (Proyek Operasional Nasional Agraria dalam Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) tahun 2017.
Untuk program Prona PTSL tersebut, sebanyak 800 KK di Desa Ploso terdaftar sebagai peserta atau pemohon untuk mendapatkan sertifikat gratis melalui panitia yang sudah dibentuk, antara lain Moch Ali Imron, Basuki, Muhammad Fuadz Rosyadi, Mochammad Ja’far, Samsul, serta Siti Rosyidah
Memang proses sertifikat tidak seluruhnya grais, sebab ada beberapa aitem yang ditanggung oleh pemohon, antara lain Materai, pembelian Patok batas tanah dan biaya foto kopy dokumen termasuk biaya pemisahan satu pidang tanah yang dimiliki oleh 2 orang.
Namun ternyata dalam pelaksanaan program Prona di Desa Ploso, para pejabat Desa Ploso memanfaatkan pelaksanaan program Prona untuk menambah “pundi-pundi” pribadinya dari 800 KK tersebut, dengan cara menarik biaya sebesar Rp 500 ribu per KK.
Penarikan biaya oleh pejabat Desa dan panitia Prona itu tak ada aturannya, sehingga bertentangan peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk sumpah jabatan, apalabgi melanggar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 5, pasal 11, pasal 13 (bagi si pemberi janji atau hadiah) dan pasal 12.
Pada hal, sebagai pejabat pemerintah, mereka sudah digaji dari APBD dan juga ada biaya bagi panitia dalam pelaksanaan Prona, yang sudah tentu anggaran tersebut berasal dari masyarakat pula. Sebab APBD/APBN juga berasal dari masyarakat.
Akibat dari “ulah nakal” para pejabat Desa Ploso ini, masyarakat yang tidak mengerti hukum apalagi peraturan mengenai pelaksanaan Prona karena kurangnya informasi dari pejabat terkait, akhirnya menajdi korban. Yang mereka pikirkan adalah, memperoleh sertifikat dengan biaya yang sangat murah bila dibandingkan mengurus sendiri.
Duit yang terkumpul dari 800 pemohon Prona sekitar 500 juta rupiah, dan sebahagian sudah dipergunakan oleh pejabat “nakal” itu untuk biaya jalan-jalan ke luar kota. Dan setelah Polres Sidoarjo memperoleh informasi adanya penarikan biaya diluar kentuan, kemudian penyidik Polresta Sidaorjo melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada September 2017.
Agar pelayanan masyarakat di kantor Desa Ploso tidak “lumpuh” karena seluruh pejabatnya ditetapkan menjadi tersangka, Polresta Sidoarjo maupun Kejaksaan Negeri Sidaorjo tidak melakukan penahanan Rutan (rumah tahanan negara) alias penjara.
Tindakan penyidik Polresta Sidoarjo dan JPU Kejari Sidaorjo yang tidak melakukan panahanan terhadap para tersangka/terdakwa/terpidana, menjadi pertanyaan kalangan pemerhati anti Korupsi. (Redaksi)
Posting Komentar
Tulias alamat email :